Malam itu menjelang tidur, aku gundah. Aku menggaruk-garuk sebelah lengan kiriku ke bawah. Rasanya gatal sekali. Gatal yang bikin gemas. Kalau tidak digaruk, gatalnya semakin menjadi, sedangkan kalau digaruk terus, lama-lama pasti akan perih karena lecet.

Aku mengira-ngira, apa penyebab gatalku ini. Baju tidur, bersih. Sprei, bedcover, sarung bantal, bersih. Kamar hotel ini juga sejuk, ada AC nya. Faktor gatal karena panas tentu bisa dieliminasi. Aku galau di Maumere, Nusa Tenggara Timur.

Rasa gatal tanpa sebab yang jelas ini juga pernah aku alami sewaktu bepergian ke Jepara, Jawa Tengah, sekitar 1 atau 2 tahun lalu. Malam hari, tanganku gatal-gatal. Dan sedikit menjalar ke kaki.

Keputusan mbakku dan suaminya untuk memilih bersalin di sebuah Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) di Jakarta Selatan adalah karena mendapatkan beberapa referensi yang terpercaya dari teman-temannya yang sudah pernah melahirkan di sana juga. Dari bertukar kabar dengan ibuk dan aku selama kehamilannya, sepertinya kami juga setuju-setuju saja, dan pilihannya memang bagus.

Jarak Tangsel - Jaksel memang cukup jauh. Naik taksi sekitar 1 jam, belum lagi kalau macet. Beruntung ada tol yang menghubungkan keduanya. Keinginan mbakku untuk melahirkan di malam hari, atau paling tidak perginya ke RS di malam hari, dikabulkan Tuhan. Ketuban mbakku pecah dini. Persalinan yang direncanakan tanggal 18 September, akhirnya maju 10 hari, menjadi tanggal 8 September 2014.

Mungkin sudah puluhan pertanyaan dari orang-orang mengenai siapa itu Zafran, yang bernama lengkap Abimana Alzafran. Yang fotonya sering kupasang menjadi profil media sosial, pun aku sering menceritakannya ke teman-teman. Jujur, Hayati lelah menjawabnya, bang. Tapi karena yakin aku bukan Hayati, dengan penuh rasa rendah hati, aku akan menjelaskan.

Zafran adalah keponakanku, anak laki-laki dari mbak kandungku. Maklum, aku hanya 2 bersaudara, sehingga Zafran adalah "keponakan kandung"ku yang pertama. Sekarang mbakku, suaminya, dan Zafran tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan. Tak usah kuceritakan bagaimana aku sayang dengan Zafran. Betapa kangennya, pengen cium-ciumnya, peluk-peluknya, membaui iler dan keteknya, akhirnya hanya jaraklah yang memaksaku memendam rasa rindu ini.

“Oke, jadi pilihan pertama nanti mau kuliah dimana, dek?”
“Tentu UI, mbak! Universitas Indonesiaahh!”
“Bagus. Lalu ke dua? Ke tiga?”
Adik sepupuku yang saat itu duduk di bangku kelas 3 SMA (atau kelas XII) lalu menyebutkan beberapa jurusan dan universitas lain sebagai alternatif untuk kuliah. Sejatinya aku sudah lupa apa saja itu, saking kurang familiarnya nama jurusannya di telingaku. Biasa, tipe-tipe anak muda antimainstream.

“Ibuk, ibuk, lihat. Aku pengen dijemput sekolah sama bapak!”, gadis itu merajuk ke ibunya, menunjuk ke teman-teman TK nya yang begitu keluar gerbang sekolah, langsung disambut oleh ayah-ayah mereka dengan senyuman, lalu dinaikkan ke boncengan motornya.
“Ini kan sudah dijemput ibuk, nduk? Ibuk atau bapak kan sama saja?” balas ibunya sambil berlutut di hadapan anak gadisnya.
“Tapi buk, aku bosan naik becaknya Pak Ran! Aku mau dijemput bapak!”

Ibunya menghembuskan napas pelan. Diusapnya rambut cepak gaya Demi Moore anaknya yang lurus tipis sambil tersenyum.
“Ayo nduk, pulang. Kalau kesiangan nanti panas. Ngajinya nanti sore sudah sampai juz berapa?” si ibu berusaha mengalihkan perhatian anak gadis.
“Sepuluh!” jawab si gadis singkat dengan bibir manyun.

***

“It was getting late. Spot had finished his supper. Now he was busy playing with his train, his blocks, and his ball”, aku mulai membacakan buku cerita dengan kecepatan pelan. Di atas tempat tidur.

Kedua mata Nina, sepupuku kelas 3 naik kelas 4 SD, masih tertuju pada layar ponselku yang memainkan sebuah game yang baru saja di-download-nya sendiri, game Subway Surf. Permainan mengumpulkan koin sebanyak-banyaknya yang dilakukan oleh seorang anak yang telah mencoret-coret kereta api, kemudian dikejar oleh seorang polisi. Melintasi jalur kereta api, bilamana perlu, naik atau turun demi menghindari kereta yang melaju, dan lebih penting lagi, menghindarkan diri dari tertangkap polisi.

“Dek Nina...” panggilku meminta perhatiannya sebentar.

Sik to mbak. Iki jik main”, jawabnya singkat.

“Mbak, coba baca huruf-huruf di depan layar sana”, perintah seorang perempuan usia 30-an kepadaku.

Mbak-mbak itu memakaikanku sebuah kacamata berat yang bolong di bagian depan matanya. “Sekarang ditutup yang kiri dulu ya”, katanya.

Aku pun membaca dengan lancar, mulai awal hingga akhir. Mulai huruf terbesar, hingga hampir yang paling kecil. Sedangkan yang paling bawah, terkecil, aku kurang jelas membacanya. Wajar, pikirku. Sepertinya semua orang tidak akan mampu membaca huruf-huruf seperti itu. Terkecil. Dan aku selalu berpikir begitu dari beberapa kali tes ketajaman penglihatan atau kesehatan mata beberapa tahun ini.

“Oke, kalau saya tutup yang sebelah kanan?” tanyanya membetulkan penutup.

“Halo... assalamu’alaikum. Halo, dek Is? Dek, iki aku, Endah. Jik eling aku to? Aku biyen kancane sampeyan sekolah nek SMA 1. Trus bar kuwi aku kerja nek PLN Jakarta. Trus aku balik Kediri neh merga bojoku lara. Dadi, saiki aku nek omah ae. Wis tuwa pisan. Anakku telu, dek. Kabeh wis mentas. Sing ragil wingi kae dadi manten. Sampeyan yo rawuh to? Jenenge Regina, celukane Gina. Halo... halo dek... halo...”

“Halo bu, mmm... ngapunten, ibuk taksih sare. Kula putrinipun.”

Deziiiiiiiinngggg!

“Mbak, agak sana ya. Ini ada orangnya nanti”, kata seorang ibu yang kujumpai di shaf ke dua di sebuah mushala.

“Oh, iya bu”. Akupun duduk agak ke sebelah kiri setelah tahu bahwa sepetak shaf yang akan kutempati ternyata sudah “dipesan” oleh orang lain.

Si ibu meletakkan tangannya di atas kursi kosong di sebelah kirinya, tempat yang akan kugunakan tadi.

“Maaf bu, ini kursinya siapa?” tanyaku penasaran.

“Ada mbak pokoknya nanti. Ibu-ibu tua. Biasanya dia kemari duduk di kursi ini. Kayaknya orang belum datang”, jawabnya.

“Oh... ya ya...”, kataku mengerti.

Namun, hingga shalat tarawih selesai, tak kujumpai seorang pun yang duduk di kursi kosong tersebut, seperti yang si ibu katakan. Hal ini berulang di malam berikutnya. Kursi kosong itu tetap ada pada tempatnya, di shaf ke dua jamaah wanita. Mungkinkah si ibu sedang sakit? Sedang tidak enak badan, sehingga tidak dapat hadir di mushala? Pikirku. Entahlah.

Tawa-tawa kecil kudengar dari shaf di belakangku. Katakanlah aku belum bisa khusyuk benar, karena telingaku masih bisa menangkap suara mengganggu di sekitar. Setelah shalat isya’ selesai, khotib berceramah. Aku menengok ke arah belakang karena penasaran. Ah, ada 3 makhluk mungil lucu di sana, ganti menatapku.

Aku tahu, jika aku tidak berbuat apapun, 3 gadis itu pasti akan saling berbicara dan tertawa lagi sepanjang shalat tarawih dan witir nanti. Kucoba menoleh lebih jauh ke arah kiri, kanan, dan belakang ketiga gadis ini, mencoba mencari siapa yang bertanggung jawab atas kehadiran mereka di masjid ini. Tampaknya tidak ada satupun jamaah yang wajahnya meyakinkan yang “pantas” menjadi orangtua atau kakaknya. Karena ketika kutatap mereka satu per satu, tidak ada mimik muka yang mengatakan, “Ya, mereka anakku. Mereka tanggung jawabku.”

Okelah. Asumsi pertama, mereka datang ke masjid sendirian. Asumsi ke dua, mereka datang bersama ayah atau saudara lelaki yang berada di shaf laki-laki. Asumsi ke tiga, ibu atau saudara perempuannya berada di shaf yang jauh dari mereka. Janggal juga sih.
Gadis kecil di depanku tampak lucu menawan. Sekira 3 tahun umurnya. Pipi putihnya menyembul malu dari balik mukena bermotif Hello Kitty ungu yang sedikit tampak kelonggaran. Hidungnya tidak terlalu mancung, melainkan hanya kecil saja, tetapi juga tidak pesek. Matanya bening menatap sekitar, dengan dagu yang pas dengan wajah bulatnya.

Di sebelahnya, mungkin masih saudaranya. Tampak seumuran. Putih juga, walau tidak lebih cantik dari yang pertama. Lebih aktif bergerak sana-sini dan berteriak. Ia tampak ceria malam itu dalam balutan mukena Ella “Frozenbiru muda yang mencolok.

Satu lagi, seorang bocah lelaki, masih dalam usia yang rupanya setara, berbalut kaus panjang dan sarung instan (seperti rok span berkaret yang tinggal masuk dipakai) lengkap dengan kopyah bermotif serupa dengan sarung instannya, kota-kotak biru-kuning.

Mudah kebelet buang air kecil (BAK) atau pipis, adalah salah satu kelebihanku. Ah entahlah, kelebihan atau kekurangan. Aku bisa mudah kebelet BAK di manapun. Di mall, terminal, stasiun, bandara, tempat makan, hotel, di dalam pesawat, dan lain-lain.

Pagi itu ketika aku mengikuti sebuah acara seminar di salah satu hotel lawas dan tenar di daerah Surabaya barat, sebelum mulai pun aku sudah ingin ke toilet. Terburu-buru aku menuju deretan kamar mandi sebelum ngompol (ya keleus).

Begitu masuk, aku begitu kecewa dan sedih melihat kondisi kloset duduk yang ada. Bukan kotor atau bau atau basah dimana-mana, tapi karena..... tidak ada jet washer atau closet shower atau selang air untuk cebok paska BAK, yang biasanya ditaruh di sisi kanan kloset itu tuh. Dan ini adalah kondisi yang aku benci. Toilet kering yang saking keringnya, bahkan tidak mengizinkan penggunanya untuk menyemprotkan air untuk cebok. Hanya ada tombol flush untuk mengguyur kloset setelah digunakan.

Sore itu seseorang meneleponku. To the point, mengatakan sedang membutuhkan tambahan sedikit uang untuk keperluan tertentu. Karena kami sudah dekat, aku tanyakan berapa yang dibutuhkan. Dia bilang, dua blabla saja.

Kemudian aku menemuinya dan menyerahkan uang tersebut sambil berkata, “Benar, hanya 2 blabla yang dibutuhkan?”. “Iya”, jawabnya. Karena aku sedang membawa uang lebih, aku berikan lagi 1 blabla untuk ekstra, siapa tahu dapat digunakan untuk hal lain. Dia mengucapkan terima kasih.

***
Esok paginya, ada seseorang dari kantor konsultan yang meneleponku meminta bantuan untuk sebuah proyek pekerjaan di Pali. Karena aku tidak dengar ketika ditelepon, beliau mengirim SMS kepadaku.

Pali? P-A-L-I?

Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 4 sore. Aku mulai gelisah dan satu kali ke toilet SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) di selatan alun-alun kota Kediri.

Seharusnya tempat ini sudah sangat ramai mengingat waktu janjian kami di lokasi ini adalah jam 4 tepat. Malah si ketua rombongan share di grup Whatsapp jam 3 sore, meminta kami segera merapat, karena jika tidak, maka akan ditinggal. Aku sampai di lokasi jam 15.55. Hanya 5 menit sebelum waktu janjian yang seharusnya.

Sesampainya di SPBU, yang kulihat hanya sekitar tujuh orang yang sudah hadir. Lebih tepatnya, yang kuperkirakan hadir, yang bisa dilihat dari sepeda motor berjejer di samping mushala dan beberapa tas ransel yang cukup gendut. Aku yang dibonceng oleh temanku, Yohana Maria (biasa disebut Jojon, tapi aku lebih senang menyebut Yohana) langsung bisa melihat bahwa dua teman kami lain yang kuajak, Ria Putri Lestari (Ria) dan Ardian Setya Gunawan (namanya bagus yah, padahal panggilannya Mbendhol atau Wawan) – sudah hadir juga. Bagus, mereka nggak telat!

Beberapa menit kemudian, satu per satu peserta mulai berdatangan. Kok aku tahu? Ya... setidaknya mereka sama-sama menenteng ransel atau backpack atau ada yang menyebut sebagai daypack, seperti kami. Rata-rata, setelah mereka memarkir motornya berjejeran dengan motor yang sudah ada, mereka turun dari motor dan menghampiri kami sambil bertanya, “Dari Backpacker Kediri? Mau ke Nggerangan?” Lalu kami menjawab, “Iya.” Kami pun berjabat tangan.
Kali ini aku akan sedikit mengulas kegiatan Puri Anjali pada Ramadhan tahun lalu, 2014.

Berbekal dari keresahan ibuk terhadap kondisi adik-adik sekitar rumah yang memiliki waktu libur sekolah yang panjang menjelang akhir bulan Ramadhan tapi orangtuanya kadang kurang dapat memberikan kegiatan yang positif --iya, ibuk memegang peranan penting dalam setiap kegiatan kami-- maka kami mengadakan acara Pondok Ramadhan selama 2 hari 1 malam di rumah. Apa saja sih kegiatannya? Silakan tengok aksi keduapuluh adik-adik ini :)

PURI ANJALI. 

Nama yang diberikan ibuku untuk tempat berkumpul anak-anak di sekitar rumah kami. Rumah tempat berkumpulnya anak yang berbakti kepada orangtuanya. Begitu kata kamus bahasa Sansekerta. Anak-anak yang baik, yang haus akan ilmu pengetahuan, yang ingin belajar. Aku tak terlalu ambil pusing dengan nama itu. Selama ibuk senang, aku lega :)

Ada sekitar 20-25 anak yang biasa berkumpul di sini. Ada yang berusia TK, dan sisanya adalah usia SD, mulai kelas 1-6.

Dan kali ini, adalah acara Arisan Buku yang rutin kami adakan 2 minggu sekali, seperti yang pernah aku bahas di tulisan sebelumnya berjudul "Mungkinkah Kita Ada untuk Mereka?" 
“Bu Is...!! Bu Is...!!” seru seseorang tergopoh-gopoh datang ke rumah.

Ibuk yang kebetulan berada di ruang tamu langsung menyahut, “Hei, enek opo, Nah?”

“Bu Is, bu Is...” Seseorang yang bernama mbak Minah (bukan nama sebenarnya) ini terdengar masih mengatur nafas. “Ngaten, bu Is...”

“Enek opo? Wis lungguho sik”, sahut ibu berusaha menenangkan.

“Pak Dar wonten, bu Is?” tanya mbak Nah terburu-buru. Pak Dar adalah adik ibuk yang sering berkunjung ke rumah kami.

“Yah mene yo kerjo, no. Ngantor. Nyapo?” jawab ibuk.

Duh, bu Is. Kula badhe nyuwun tulung.

Terjemahan judul: Mengapa Aku Menjadi Dosen?

Januari 2014.

“Ndhuk, ning endi?” suara ibuk memecah keheningan melalui ponsel.
(Nak, dimana?)

“Ning nggone kancaku, buk. Perpustakaan. Enek apa?” jawabku.
(Di tempat temanku, buk. Perpustakaan. Ada apa?)

“Ngene lho. Sampeyan ditimbali ustadz Fulan. Dienteni saiki ning kampus. Isa?”. Pembicaraan khas ibuku yang to the point.
(Begini lho. Kamu dipanggil ustadz Fulan. Ditunggu sekarang di kampus. Bisa?)

Terjemahan judul: Penasaran dengan Penjual Ayam.

“Buk, ibuk sik eling enek wong dodol pitik ning njero kae, sing tak arani nggantheng?”, tanya saya pada ibuk, sesaat sebelum memasuki pintu pasar Setono Bethek Kediri.

“Sing endi to? Nggir endi?”, balas ibuk.

“Alah, sing ning jalur awake dewe biasa liwati kae. Rada pojokan. Wonge putih nggantheng, dhuwur, tegap. Eling to, buk?", jawab saya mendeskripsikan fisik sang penjual ayam.

“Oalah, kae to? Ho oh. Nyapo?”. Aku senang ibuk ingat.

Terjemahan judul: Tidak Bangga Disebut “Wanita Karir”
---

“Buk, aku kok ora bangga yo diarani dadi ‘wanita karir’?, kataku suatu ketika pada ibuku.
(Buk, aku kok tidak bangga ya disebut sebagai ‘wanita karir’?)

“Lha nyapo, Ndhuk?”
(Lha kenapa, Ndhuk?)

“Hmmm... Merga cita-citaku ket biyen pancen dudu dadi wanita karir kok. Aku luwih seneng lek wong liya mengidentifikasikan aku wanita sing lembut misale, wanita sing pangerten, setia, lan sak piturute.”
(Hmmm... Karena cita-citaku sejak dulu memang bukan menjadi wanita karir kok. Aku lebih senang jika orang lain mengidentifikasikan aku sebagai wanita yang lembut, misalnya, wanita yang pengertian, setia, dan sejenisnya.)