“Ibnu,” katanya tanpa menoleh ke arahku.

Aku memandang wajahnya di keremangan malam setengah pekat. Hanya lampu teplok yang membuat siluet tubuhnya pada pagar rumah. Ah, keterlaluan sekali. Lelaki ini bertahun-tahun melintas di depan rumah, tapi bahkan aku baru tahu namanya malam ini.

Tubuhnya mungil, jika tidak disebut kurus dan pendek. Parasnya masih sama dengan 20 tahun lalu ketika ia mengaku pertama kali menyisir kampung ini. Mungkin sekarang sudah bertambah tiga-empat kerutan di sekitar mata dan bibirnya, juga puluhan uban di rambutnya... jika saja aku bisa melihatnya di siang hari. Ditambah topi bundar, yang selalu menjadi ciri khasnya sejak dulu.