Assalamu’alaikum teman-temaaaannn...

Hai hai, jumpa lagi dengan saya di note kali ini. Hmm...kalo Pak Mario Teguh nyebut note-nya dengan Super Note, apa ya nama note-ku? Mungkin “Super-Santai-Note” aja yah (butuh masukan/ saran nama neh, hehe).

Kenapa SUPER SANTAI NOTE? Karena aku nulisnya juga dengan gaya santai aja, dari kehidupan sehari-hariku. Karena aku gak mau, atau lebih tepatnya gak bisa berbahasa yang berat-berat, yang buat nulisnya aja butuh “mikir”, apalagi buat yang baca, tambah berat kayak gajah nggendong King Kong deh. Karena juga orang kalo mau baca note, berarti orang itu selain pengen tau isinya, juga lagi pengen santai-santai sambil cari ‘ilham’ di tengah-tengah kesibukan kerjanya. So, kasian kan kalo dikasih yang berat-berat, hehe.

Anyway, ini semua sebenernya hanya tentang “gaya menulis” aja, yang tiap-tiap orang beda.
--------------------------------------------------
Okay, let’s start it.
Setujukah teman-teman, bahwa di dunia ini kita tidak mungkin mengetahui SEMUA hal? Bahwa masih banyak tersimpan rahasia? Bahwa setiap orang punya rahasia???
Kalo temen-temen pernah baca kisah (nyata) Raditya Dika di buku Cinta Brontosaurus, di bab “Di Balik Jendela” (hal 41-43), dia nulis kayak gini:
“Semua orang terlihat BIASA.
Gue duduk di terminal bus sambil nengok ke kanan dan ke kiri kayak orang linglung. Hari ini gue akan pergi ke Melbourne dari Adelaide naek bus.
.....
Gue coba untuk menahan rasa bosan di ruang tunggu dengan baca bukunya David Sedaris sambil ngeliatin orang di sekeliling. Mereka semua terlihat begitu BIASA.
Di sebelah gue duduk, ada orang Hongkong lagi berdiri buat ngelemesin pinggul.
Di belakang ada orang kulit hitam pake baju kotak-kotak.
Di barisan bangku paling belakang ada dua orang yang lagi pacaran.
Mereka semua terlihat BIASA.
Padahal, siapa tahu orang Hongkong itu tadi pagi baru dapat kabar bahwa neneknya meninggal. Si orang kulit hitam kotak-kotak itu terjangkit penyakit mematikan. Siapa tahu, dua orang yang lagi pacaran itu habis berantem. Tapi bagi gue, bagi orang yang ngeliat dari luar, mereka terlihat BIASA.
Gue juga pasti terlihat BIASA.
Padahal, seminggu kemaren gue baru putus.
Di dalam bentuk tubuh yang biasa-biasa ini, gue lagi remuk redam, hancur minah, compang-camping, kuda bunting. Tapi bagi orang lain yang ngeliat, gue terlihat BIASA. Karena apapun masalah kita, serumit dan sekompleks apapun, orang lain akan tetep jalan dengan hidupnya, seolah tidak memedulikan. Life goes on.”
----------------------------------------
Aku teringat kisah Radith (Raditya Dika) tersebut setelah beberapa waktu terakhir aku menyadari tentang kisah orang-orang di sekelilingku:

1. Seorang sobat baikku, ketika melamar kerja, mengatakan bahwa keinginan terbesarnya untuk bekerja adalah agar ayahnya bisa makan dengan enak. Yah, dengan gaji itu, ia ingin sekali membelikan gigi buatan untuk ayahnya karena saat itu ayahnya merasa sudah tidak nyaman dengan keadaan giginya yang mungkin sedang ada problem. Pertama kali ketemu dia, dia terlihat BIASA. Kadang kita tak tau.

2. Seorang sobat baikku, saat ini baru saja resign dari kantornya. Aku pikir itu keputusan yang biasa. Ternyata resign-nya dia meninggalkan beberapa “urusan” penting yang masih harus diselesaikan dengan rekan-rekan kerjanya disana. Sebelumnya, beliau juga mengalami kecelakaan sehingga untuk biaya berobat harus mengeluarkan uang yang banyak. Dan saat ini, beliau sedang menjalin hubungan dengan seorang pria yang sebelumnya telah memiliki pasangan hidup, tetapi saat ini “urusan” pria tersebut dengan pasangan hidupnya yang lalu telah “selesai”. Ini sah-sah saja menurutku. Saat beliau datang kepadaku dan menceritakan semuanya, beliau terlihat cerah ceria seperti BIASA. Kadang kita tak tau.

3. Seorang sobat baikku, ternyata memiliki adik angkat laki-laki yang telah dianggapnya sebagai adik kandungnya sendiri. Tak disangka, adiknya sejak kecil sering berbuat sangat nakal. Bergaul dengan orang-orang “nggak bener”, lari dari pondok tempat sekolahnya, mencuri uang ayahnya hingga jutaan rupiah, sampai kemarin akhirnya orang tuanya memanggil polisi untuk berpura-pura menginterogasi adiknya. Beberapa kali, ketika ayahnya memukul adiknya dengan keras, sobatku ini tak jarang menangis karena kasihan dengan adiknya. Dengan latar belakang keluarganya yang cukup berada, dan bila bertemu dia setiap hari, dia terlihat BIASA. Kadang kita tak tau.

4. Seorang sobat mbakku, teman kos kami, ada yang mengandung janin sebelum pernikahan (married by accident). Dia sangat manis wajahnya, sehingga aku rasa tiap lelaki tak ada yang bosan untuk melihat kecantikannya. Sekarang usia anaknya sudah 4 tahun-an. Aku yakin anaknya pasti cakep, seperti papa dan mamanya. Dulu, tiap hari, dia berangkat kuliah seperti biasa, berpenampilan seperti biasa, tersenyum kepada kami seperti biasa, dan main ke kamar kami untuk mendiskusikan masalah kuliah dengan mbakku seperti BIASA. Kadang kita tak tau.

5. Seorang sobat baikku, suatu hari datang kepadaku karena ada urusan. Dengan khasnya memakai pantofel ber-hak tinggi, tas jinjing bermerk, parfum mahal, rambut tertata indah, dan baju dandy. Ia terlihat seperti BIASAnya. Ternyata dia bercerita bahwa anaknya sedang sakit di rumah, sejak beberapa hari yang lalu. Anaknya terpaksa tidak masuk sekolah. Saat menemuiku, sebenarnya panas anaknya kemarin malam sudah turun, tapi mungkin karena pengaruh sup asparagus hasil membeli di sebuah restoran yang mengandung vitsin, panas anaknya naik lagi. Sakit anaknya memang ada hubungannya dengan pencernaan. Kadang kita tak tau.
---------------------------------------
Orang tiap hari melihatku BIASA aja. Seperti halnya mereka, aku pun mempunyai hal-hal tersembunyi yang mungkin orang lain tidak tau. Aha, jika temen-temen ingat, kalo digambar pake Johari Window, maka sisi itu ada di kotak “SAYA TAHU, ORANG LAIN TIDAK TAHU”.
Aku ingat, ada orang yang pernah bilang kepadaku:

“Fatma, kamu itu kok senyum terus ya, emang gak pernah punya masalah?”
Jawaban: ya pasti punya lah, setiap orang punya masalah masing-masing. Cuman Allah gak akan memberi aku masalah atas sesuatu yang gak bisa aku selesaikan, kan? Kalau di luar aku senyum terus sampe kayak orang gila, berarti aku cemberutnya kalo sudah sampai di kos/ rumah, dan sebaliknya. Percayalah, wekekekek.

“Fatma, kamu itu orangnya gak bisa marah ya? Marah gitu lo sama orang-orang yang bikin kamu sakit hati!”
Jawaban: ya, itu salah satu kelemahanku. Gak asertif dengan teman, gak bisa mengungkapkan apa yang dirasakan (khususnya perasaan negatif) kepada teman. Aku tau memendam kepedihan sendiri itu tidak baik, tapi aku terlalu takut untuk kehilangan teman. Jika ini dianggap sesuatu yang buruk, ya memang. Oh ya, aku bisa marah cuman sama mbakku, kadang ibuku, dan saudara2 dekatku saja.

“Fatma, dari tulisan-tulisan kamu, saya menduga kamu itu orangnya cerah ceria! Tulisanmu mengisahkan hidupmu yang penuh kelucuan dan orang-orang di sekitarmu yang menyenangkan juga.”
Jawaban: nggak juga sebenernya. Eh, kadang iya, kadang enggak ding. Tapi daripada nulis yang bikin orang lain sedih, mending nulis yang bisa bikin orang ketawa kan? Semoga berpahala membuat orang cemberut jadi tersenyum, hehe.
23.00 WIB – Entah note ini penting atau tidak, tapi aku rasa cukup penting untuk masa depanku. Tsaaahhh...

“Fatma, kenapa namamu jadi Pety?”
“Pety, kenapa namamu Pety? Dari mana? Kok bisa?”
“Pety, apakah namamu benar-benar Pety?”
“Pety, kamu cantik deh, minta makan donk!”
Ehm, yang terakhir itu ungkapan dari seorang teman yang sedang kelaparan.

Well, jutaan orang tanya kenapa namaku yang aslinya Fatma berubah jadi Pety. Oke ralat, bukan jutaan, tapi ratusan, mungkin. Lha dari SD, SMP, SMA, kuliah, sampai sekarang, ada aja yang menanyakan fakta itu. Memang sekilas gak nyambung sama sekali antara kata-kata F-a-t-m-a dan P-e-t-y. Nggak mirip gitu deh. Tapi aku yakin dengan penjelasan ini Anda semua akan tahu asal-muasalnya. Sehingga aku lain kali mungkin tidak perlu sampai dower menjelaskannya satu persatu kepada orang lain. Itu obsesiku! Uuoocchh!

Begini. Pada tanggal 2 Oktober 1986 dini hari, Kamis Pahing, lahirlah seorang bayi hitam manis dengan berat 3,9 kg, panjang proporsional (halah, lupa maksudnya), sehat, dan lengkap anggota badannya. Alhamdulillah.
Menjelang selamatan entah berapa hari-ku, waktu tetangga-tetangga yang diundang sudah pada datang ke rumah, ibuku baru ingat kalo aku belum diberi nama. Hadeehh... untung ibuku gak lupa waktu itu aku ditaruh dimana, apakah di kolong kasur atau di atas genteng tetangga. Ehm.

Singkat cerita, ibuku memandang lekat-lekat wajahku, mencari “ilham”, nama apa yang cocok untuk anak kedua perempuannya. Akhirnya, dengan dibantu bapakku (almarhum), ditemukanlah nama yang menurut mereka baik, yaitu “Fatma Puri Sayekti”. Apakah artinya?

- FATMA = bunga
Entah bunga seperti apa itu, aku tidak tahu. Namun menurut dosenku, Pak Prof. Dr. Suryanto, M.Si (semoga gelarnya gak salah ya, Pak), saat itu pas aku masih semester-semester awal kuliah, beliau juga mengatakan bahwa Fatma itu dari kata PADMA kalau bahasa Jawanya, yaitu bunga, bunga teratai. Wah, senangnya aku, ternyata bunga teratai toh? Iya, aku suka sekali bentuk & warna-warni bunga teratai, apalagi kalau di tengah-tengan kolam, terlihat sangat indah.
Eh, ternyata beberapa semester kemudian, Pak Sur, begitu aku biasa memanggil beliau, menjadi dosen pembimbing skripsiku. Ehm, asik juga punya dosen pembimbing seorang profesor, hehe.
 - PURI = rumah yang indah; juga merupakan gabungan nama kedua orang tuaku, yaitu Teguh PURwantoro dan ISmu Komariati. PUR dan IS itulah nama tengahku dan mbakku. Kalau mbakku nama tengahnya PURISari (digabung), kalau aku PURISayekti (dipisah).
 - SAYEKTI = yang sesungguhnya
Ini menunjukkan bahwa aku benar-benar anak kedua orang tuaku, bukan anak tetanggaku. Baiklah... Oya, jadi inget film “Sayekti dan Hanafi” yang diperankan oleh Widi AB Three sama Agus Kuncoro. Halah.
So, namaku berarti “bunga kedua orang tuaku yang sesungguhnya”. Kalo ada yang bilang “what is the meaning of the name?”, tentu saja jawabannya adalah “Name is a pray of their parents”.

Oke, lalu, kenapa namaku dari Fatma berubah jadi Pety panggilannya? Begini sodara-sodara.
Karena memanggil Fatma sepertinya kurang “enak” di lidah Jawa keluargaku, maka dibentuklah nama kecilku, nama panggilan gitu, diantara keluarga saja sebenarnya, yaitu dari FATma puri sayekTI, jadilah dipanggil Feti (diambil dari kata paling depan dan paling belakang). Belum “enak” juga dipanggil Feti, maka lama-kelamaan jadi PETI. Lagipula, kalo orang bule nanti yang denger, dikira nama yang aneh, karena Feti dikira Fatty, yang artinya gemuk, berlemak. Huhuhu. Walau aku mengakui saat ini need a healthy diet. Hehe.

Entah gimana sebenarnya tulisannya, pokoknya kedengarannya “Peti” lah namaku itu. Seiring berkembangnya intelektualitasku, hoho, aku tahu kalo “peti” itu artinya tempat penyimpanan, sering dianalogikan dengan peti mati lah, peti kemas lah, dll. Oke, lalu kemungkinan yang lain adalah tulisannya PETTY saja. Suatu hari, aku kaget ketika melihat di kamus bahasa Inggris bahwa Petty artinya kecil, sedikit, picik.

Wah, gawat ini, aku harus segera ganti tulisan. Akhirnya setelah melalui perenungan yang panjang dan puasa khusyuk dari jam 8.00-12.00 WIB, aku menemukan sebuah kata yang bunyinya tetap sama, tapi tulisannya beda, yaitu PETY.
So, saat ini, dimana-mana, aku nulisnya Pety (dengan satu “t”, bukan dua), baik di email address, FB, Blog, dll. Semoga “Pety” ini tidak mempunyai arti negatif lagi. Amin. Begitulah...

Oke, setelah nulis sedikit panjang-tangan-badan-lebar ini, semoga gak ada lagi yang tanya “Kenapa Fatma jadi Pety???”. Kalo ada yang tanya lagi, aku bisa dower sedower-dowernya menjelaskan lagi.

Aku gak bisa bayangin kalo ada kejadian seperti ini:
“Kenapa Fatma jadi Pety???”
“Oh, liat aja di FESBUK saya aja, Pak. Disana ada jawabannya.”
“Apa? Kopi tubruk?”
“Apa? Bapak tadi ditubruk truk?”
“Enggak... tadi mbak bilang apa?”
“Oh, itu loh Pak, sudah saya tulis lewat INTERNET tentang yang Bapak tanyakan tadi.”
“Apa? Babi ngepet?”
“Lho, siapa yang jadi babi ngepet Pak? Bukan saya kan?”
“Bukan sih, tapi saya, mbak. Dimana tadi nulisnya?”
“Di BLOG saya juga ada. Liat aja kalo gak keberatan Pak.”
“Lho mbak, saya ini memang punya beban hidup yang berat, tapi jangan ngolokin saya goBLOG donk!”
Fiuh... sampai disini aku yakin aku sudah seperti calon penghuni rumah sakit jiwa.
Aku gak tau apakah obsesiku untuk tidak akan pernah lagi menceritakan asal-muasal nama ini kepada siapapun akan berhasil atau tidak.

Ps: Kalau setelah Anda membaca tulisan ini masih pengen bertanya “Kenapa Fatma jadi Pety???”, mohon lewat SMS aja, biar gak ketauan orang lain. Karena saya akan melaporkan Anda ke polisi dengan dugaan percobaan pembunuhan secara perlahan-lahan atau bahasa lagunya ‘killing me softly’.
22.30 WIB
Well, finally i come back to write a simple note, here it is.. :D

Pagi yang cerah, seperti biasa aku turun dari bemo (angkutan umum) jurusan terminal Bratang, bemo S. Aku turun di bunderan kampus ITS Manyar, karena tempat kerjaku di jalan Kalibokor. Dari bunderan itu aku jalan kaki, menyeberang jalan dua kali, dan sampailah di kantorku. Tidak jauh, hanya sekitar 100 meter.

Tiba-tiba ada yang memanggil...
“Mbak..mbak..!!”
“Iya??” aku sedikit kaget tiba-tiba ada seorang bapak menghampiriku dengan naik motor.
“Saya panggil dari tadi mbaknya gak denger ya?!”
“Oh ya??”, perasaan dia manggilnya baru satu kali deh. Cukup lebay ni bapak, pikirku.
“Mbak, bareng saya yuk!”, katanya sambil menunjukkan boncengan motornya yang masih kosong.
“Hah?? Kemana Pak??” tanyaku kaget. Sok kenal banget nih orang.
“Lhah, mbaknya mau kemana?” tanyanya balik.
“Ke situ, ke gedung itu!” tunjukku ke kantorku, yang tinggal 20 meter lagi sampai.
“Lho, lha iya, saya juga mau ke situ!”

Emmm... aku jadi ragu. Dia nawari aku bonceng, tapi masih tanya aku mau kemana. Seharusnya kalau dia tau tujuanku dan kenal aku, dia paling nggak bilang, “Mau ke gedung itu kan mbak?”, bukan malah tanya “Lhah, mbaknya mau kemana?”
So, aku menolak halus tawarannya, “Oh, nggak usah Pak, tinggal deket aja, saya jalan aja. Maaf, makasih!”
“Lho, ayo mbak, gak papa, saya juga mau kesana!”
“Oh ya?” tanyaku ragu.
“Lho, mbaknya ini gimana to? Saya ini Pak Yudi, satpam kantornya mbak!” kata dia meyakinkanku.

Oh my God! Pak Yudi? Oh, ini yang namanya Pak Yudi??
Aku baru ingat ada penjaga kantorku yang namanya emang Pak Yudi, dan bodohnya aku, aku gak tau gimana wajahnya Pak Yudi. Dan yang kutemui ini, aku merasa belum pernah melihat sama sekali. Di kantorku ada 5 orang lebih penjaga, dan aku hafal mukanya, tapi gak tau namanya, atau kadang sebaliknya, aku tahu namanya, tapi gak hafal yang mana wajahnya. Belakangan, aku menyebutnya MISS-MATCH. Yeah, whatever!

Responku: “Oh, ya Allah, Pak Yudi??!!” kataku dengan kedua tanganku memegang kepala seolah-olah baru sadar bahwa aku telah berlaku tidak sopan dengan melupakan namanya.
Karena takut tersinggung, aku meminta maaf. Tapi aku tetap tidak mau dibonceng. Kalau yang nawari masih muda dan jomblo sih gak masalah, lha ini sudah bapak-bapak, anaknya lima. Ehm, lanjut. Yang tentang anaknya lima tadi aku ngawur.

Bapak itu tiba-tiba ganti topik pembicaraan, dia menceritakan kalau mau ambil komputer kantor dulu yang lagi diservis.
“Mbak ada uang 50 ribu pecah? Saya mau ambil komputer di sana yang lagi diservis” kata dia sambil mengeluarkan lembaran 50ribu-an dari sakunya dan menunjuk arah sebaliknya dari jalan menuju kantor.
Aku mulai curiga. Katanya tadi mau barengi aku ke kantor, sekarang malah bilang mau ke arah sebaliknya.
Aku mengingat-ingat pecahan uang yang ada di dompetku. Aku ingat persis pecahannya ada 35 ribu doank.
“Emm, kayaknya gak ada Pak, 35 ribu doank” kataku sambil mengecek dompetku.
Di tempat-tempat umum, aku memang tidak terbiasa mengeluarkan dompet dari dalam tas, jadi aku cuma membuka dompetku dari dalam tas.

“Kalau pecahan 100 ribu ada mbak?”
Wah, mulai gak beres nih, habis tanya pecahan 50 ribu, sekarang ganti tanya pecahan yang lebih besar, 100 ribu.
“Waaa.. gak ada Pak, punya saya juga utuh 100 ribuan”
Ups, mulut ini rasanya gak kepengen ngomong, tapi kelepasan juga. Kalau dipikir-pikir, apa perlunya aku bilang kalau aku ada 100 ribuan utuh?
“Ada berapa mbak?”
“Ada beberapa sih Pak”


Jeng..jeng..jeng!!! Disinilah sodara-sodara.. Disinilah KEBODOHAN pun terjadi!

“Kalo gitu saya pinjem dulu yang 100 ribuan ya mbak, ntar saya balikin ke kantor!”
“Hah, gimana Pak?” tanyaku gak paham.
“Iye, ini saya pinjem dulu uangnya, kalau saya sudah selesai ambil komputer, nanti saya kembalikan uangnya, ke kantor itu kan??”
“Iya Pak. Tapi yang 50 ribu itu saya bawa kan Pak, jadi ntar Bapak tinggal ngembaliin yang 50 ribu lagi.”
“Masya Allah mbak!!... Mbak ini gak percayaan se? Gak percoyo arek iki karo aku!”
Buset, dia bawa-bawa nama Tuhan segala!
Akhirnya kuserahkan duitku yang sedianya mau aku masukkan ke dalam bank.

Entah bagaimana, akhirnya orang itu membawa kabur uangku 100 ribu dan mengendarai motornya ke arah sebaliknya dari jalan menuju kantorku.
Aku pengen protes, masih ada yang ngganjel di hatiku, tapi sampai sekarang aku juga gak tau, kenapa waktu itu kalo aku merasa ditipu, aku gak teriak maling aja, toh mungkin orang-orang di sekitar situ ada yang bisa membantuku mengeroyok dia, menghajar, dan mengembalikan uangku.
Sesampai di kantor, benar saja, yang namanya Pak Yudi bukanlah orang yang tadi di jalan mengaku kepadaku namanya ‘Pak Yudi’. Fiuh...kakiku langsung lemas, sudah gak bisa nangis lagi, tapi masih bisa makan, hehe.

Sejak saat itu, aku menyebut sendiri bahwa diriku telah DI-HIP-NO-SIS... yeah, dihipnosis!
Tapi setelah aku cerita ke temen dan mbakku, mereka bilang:
- “Kamu terlalu baik Fatma, orang gak kenal aja masih kamu tolong!” (yeah, itu membuatku senang, tapi tidak mengembalikan uangku)
- “Kamu orangnya suka nglamun dan gampang lupa ya Fatma?” (yeah, dia sepertinya peramal)
- “Oalah dek, dia itu belum sempet menghipnosis kamu, kamunya udah ketipu duluan tanpa dihipnosis!” (yeah, cukup menohok, kawan!)

Dan sejak saat itu pula, aku merasa aku tidak dihipnosis, tapi aku DI-BODOH-I.

Well, here i am, yang tiap hari sedang mempraktikkan saran mbakku:
“Jangan nglamun di jalan, berdoa, jalan yang cepet!”
Oke, sekali lagi... “Jangan nglamun di jalan, berdoa, jalan yang cepet!”
Sekali lagi ah... “Jangan nglamun di jalan, berdoa, jalan yang cepet!

Wish me luck, guys! :)