Pulang.
Tidak pernah ada dalam kamusku dulu bahwa aku akan kembali pulang. Ke kota kelahiranku, Kediri.
Cita-citaku dulu tinggi: lulus kuliah dengan nilai bagus kemudian bekerja di ibukota Jakarta.
Mendefinisikan kesuksesan sebagai berharta banyak, menaklukkan tantangan-tantangan di hiruk-pikuk kota besar.
Seperti teman-temanku terdahulu.
Keren adalah memiliki pekerjaan mentereng, berbaju parlente, bersepatu hak 10 senti, bergaji dua digit, dan ketika ditanya bekerja dimana, akan kujawab dengan penuh kebanggaan, “Jakarta!”
Sangat beruntung kemarin aku bisa mengikuti Safari Seminar Disiplin Positif yang diadakan oleh Sekolah Alam Ramadhani Kediri. Seperti halnya Gerilya Nonton Bareng Film “The Beginning of Life, aku merasa dua acara ini wajib ikut. Selain karena temanya sangat dekat dengan Psikologi, juga aku berpikir bahwa caraku dalam menghadapi anak-anak (iya, anak-anaknya orang) juga masih sering terlalu kaku, sesuka hati sendiri, keliru, terlalu memaksa, keras, pemahaman yang kurang menyeluruh, dan sebagainya. Ditambah dengan yang menginisiasi acara ini adalah Pak Bukik Setiawan (konon bernama asli Budi Setiawan Muhammad), dosenku dulu di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, tambah semangat lah aku.

Allaahu akbar.. allaahu akbar.. allaahu akbar..
Laa ilaaha illallaahu allaahu akbar..
Allaahu akbar wa lillaahil hamd..


Suara takbir bertalu-talu keluar dari pengeras suara mushalla di sekitar rumahku. Arak-arakan anak kecil membawa obor keliling kampung sudah rampung lewat sejam yang lalu. Dan aku masih di sini, di dalam kamar, memijat kaki ibuk yang keseleo akibat terjatuh dari tangga ketika akan ke kamar mandi tiga hari yang lalu.

Mungkin tidak ada yang menyangka bahwa aku mendambakan perjalanan ini selama 15 tahun terakhir dalam hidupku. Aku selalu bermimpi untuk terbang kembali ke belahan bumi timur Indonesia.

Ya, Papua.

Pertama (dan satu-satunya kepergian ke Papua saat itu) adalah ketika aku SMP. Berangkat naik kapal penumpang dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, berlayar dengan kepasrahan total apakah akan hidup atau mati di tengah samudera selama 7 hari 7 malam. Pulangnya naik pesawat Hercules, yang saat itu lazim untuk penerbangan awak sipil, mampir di Biak 1-2 malam entah untuk mengambil anggota TNI-AU atau loading barang penumpang, dan mendarat di bandara Iswahyudi Madiun.
DISCLAIMER: Harap tidak menjadikan tulisan ini sebagai bahan rujukan dalam menyusun karya ilmiah, baik oleh siswa maupun mahasiswa segala jurusan. Juga tidak untuk mendiagnosis sebuah penyakit. Penulis tidak memiliki latar belakang sama sekali di bidang kedokteran dan hanya menyarikan dari berbagai sumber untuk kepentingan pribadi. Data yang disajikan mungkin tidak valid karena keterbatasan sumber bacaan.

***

Rabu pagi ibuk akhirnya melakukan audiometri atau tes pendengaran di RS Gambiran.

Semoga aku tidak menjadi anak durhaka seperti di sinetron yang justru bersyukur saat ibunya sakit.

Bersyukur tidak sama dengan bahagia. Tapi jika rasa syukur menghasilkan kebahagiaan, mengapa tidak? Dan ya, aku bersyukur kemarin-kemarin dan hari ini ibuk masih dalam kondisi kurang sehat.

Bersyukur atas waktu yang sangat amat tepat
Ibuk mulai jatuh sakit tepat seminggu setelah kampusku libur. Setelah anak-anak selesai UAS, yang mana aku lebih senang melaksanakan UAS pada minggu pertama daripada ke dua. Tanggal 13 Juni 2016 ibuk mulai merasakan telinganya berdenging, dan seterusnya yang sudah pernah aku ceritakan di postingan sebelum ini.

It’s been a loooooong day!

Nduk, aku ra kuat. Aku tak nyang rumah sakit ae ya”, lirih ibuk berkata dari pembaringan.
Aku yang tadinya bersantai di kamar, langsung mendekat ke tempat tidur. Aku berharap aku salah dengar.
Nduk, ayo nyang rumah sakit ae”, ulang ibuk.
Aku agak gelagapan. Aku tidak siap dengan pernyataan semacam itu.

Ibuk adalah salah satu manusia yang paling anti rumah sakit. Melihat pemandangan orang-orang sakit, para penunggu yang kleleran di lorong-lorong, bau obat bercampur bau keringat ratusan orang di satu tempat, sampai masuk ke ruang rawat inap saja sudah membuat ibuk enggan untuk dekat-dekat dengan rumah sakit.

H-1 sebelum puasa, aku dan teman-teman dikagetkan oleh berita meninggalnya ayahanda teman kami, Hida. Kenapa kaget? Karena sehari atau dua hari sebelumnya Hida memposting di Facebook foto perayaan sederhana ulang tahun ayahnya. Ayahnya tampak bahagia (tentu saja) memegang piring kecil berisi kue ulang tahun.

Sampai sekarang pun, aku masih belum bisa membayangkan bagaimana perasaan Hida sekeluarga ditinggal ayahanda yang bergitu mendadak. Bisa jadi tanpa tanda-tanda atau isyarat yang terbaca jelas sebelum kepergian beliau.

“Fatma, lagi dimana?” Aku menerima BBM dari temanku.
“Di Kediri, Nin. Ada apa?” balasku.
“Kalau sudah di Surabaya, kabari aku ya. Penting.”

PING!!!

Hah. Tidak sabaran betul pakai Ping! Ping! segala.
“Oke, mungkin minggu depan”, balasku kemudian.

Aku hampir melompat dari tempat duduk begitu mendapat kabar aku akan ditugaskan ke Belitung. Dengan nada tidak percaya, aku kembali mengulang beritanya, “Belitung??? Seriuuuusss???”. “Iyes!” jawaban singkat yang membuatku sujud syukur karenanya.

Belitung, atau ada yang menyebutnya Belitong, sebuah kepulauan di timur-utara Sumatera. Sejak sekitar 2 tahun lalu saat aku ditugaskan ke Bangka, aku sudah sangat ingin mengunjungi Belitung. Kupikir, kalau ke Bangka, kenapa tidak sekalian ke Belitung? Dan ternyata... impianku kandas begitu tahu lama perjalanan darat dan laut dari Bangka ke Belitung adalah 8 jam. Dan kami tidak punya waktu untuk itu.


Memikirkan materi yang akan aku sampaikan ke adik-adik SDN Wonorejo 2 Puncu, Kabupaten Kediri kemarin, membuatku larut dalam emosi yang cukup dalam selama seminggu sebelumnya. Sebenarnya misi Kelas Inspirasi (KI) adalah mengenalkan beragam profesi kita kepada anak-anak SD yang bisa jadi mereka sama sekali belum pernah tahu, kemudian memotivasi mereka agar berjuang dan belajar tekun untuk mewujudkan mimpi-mimpi baiknya, apapun itu. KI bukan menyasar pemberian materi tertentu kepada mereka.

Bulan April kemarin adalah bulan yang cukup berat buat kesehatanku.

Dimulai dari perjalanan ke Belitung pada akhir Maret selama seminggu, lalu akhir pekan depannya ke Yogyakarta selama 3 hari, dan diakhiri pekan depannya lagi ke Manado selama 3 hari juga. Di sela-sela itu, aku mengajar di Kediri, dan tentu saja untuk berangkat ke luar kota itu aku harus nyetir sendiri dari Kediri ke Surabaya (dan sebaliknya) yang masing-masing memakan waktu 3 jam. Karena semua perjalanan dimulai oleh tim dari Bandara Juanda, Sidoarjo.


Pertanyaan-pertanyaan pada hakikatnya akan terus ada di kepala.
Selesai satu urusan, maka kepala akan menanyakan urusan yang lainnya.
Apakah ketika berpindah urusan itu, si kepala sudah tuntas menemukan jawabannya?
Bisa jadi ya, bisa pula tidak.

Siapa yang berhak mengatur masuk keluarnya pertanyaan-pertanyaan ke dan dari kepala itu?
Sepertinya ini yang lebih menarik diketahui.
Walau tidak sempat terpikirkan ketika dalam kondisi kepepet dan segera butuh jawaban, tapi setidaknya pernah ada suatu pemahaman siapa yang melakukan hal itu.