“Fatma, lagi dimana?” Aku menerima BBM dari temanku.
“Di Kediri, Nin. Ada apa?” balasku.
“Kalau sudah di Surabaya, kabari aku ya. Penting.”
PING!!!
Hah. Tidak sabaran betul pakai Ping! Ping! segala.
“Oke, mungkin minggu depan”, balasku kemudian.
Nindi adalah teman baikku sejak kuliah. Kami tidak sejurusan. Aku di Psikologi, sedangkan dia di FISIP. Tetapi karena pertemuan tak sengaja di sebuah acara kampus, membuatku dan dia saling mengenal. Kami kemudian dekat dan terkadang saling curhat. Dia sekarang bekerja sebagai staf ahli di sebuah konsultan keuangan yang terkenal. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya putih bersih. Seorang profesional muda.
Minggu depannya, aku ke Surabaya.
“Gimana, ada apa?” tanyaku ketika kami bertemu.
“Aku dijodohkan oleh orang tuaku”, sahutnya lesu.
“Oya? Bagus dong!”
“Bagus gundulmu itu!” jawabnya spontan.
“Lho iya kan? Kamu jomlo. Lagi ngidam cari suami. Trus gayung bersambut. Orangtuamu mencarikan kamu calon suami. Klop!”
“Tapi aku nggak cinta sama orangnya”, jawab Nindi dengan muka masih ditekuk.
“Ah, cinta itu bisa ditumbuhkan seiring berjalannya waktu”, kataku meniru kalimat yang sering dikutip di buku atau ceramah-ceramah.
“Tapi masalahnya, ini waktunya sudah berjalan, tapi cintaku tetap nggak tumbuh buat dia”, katanya agak sebal dengan responku yang santai.
“Hmmm... Bentar. Kayak gimana sih orangnya? Ada fotonya?” jawabku mulai serius.
“Ada. Sebentar”. Nindi membuka iPhone-nya dan menggeser-geser layar sentuh dengan cepat. Aku menunggu.
“Ini”. Nindi menyorongkan layarnya ke depan mukaku.
“Hah?! Kamu Cuma punya foto dia dari profile picture-nya di Whatsapp? Kalian nggak pernah foto selfie berdua gitu? Atau foto apa kek yang keliatan lebih cakep?!” sahutku menggoda.
“Selfie mbahmu itu, Ma! Gimana mau selfie? Ketemu aja aku hampir-hampir nggak mau”, katanya sambil menyurutkan layar dari hadapanku.
“Hmmm... Nggak terlalu ganteng sih, Nin. Tapi nggak jelek juga. Kenapa kamu nggak suka sama dia?” Aku penasaran juga dengan alasannya.
“Entahlah, Ma. Yang jelas, dia bukan tipeku.”
Iya, aku tahu. Nindi lebih tertarik dengan cowok-cowok ganteng putih tinggi, syukur-syukur mirip orang Korea. Yang pekerjaannya mapan dan dapat dibanggakan, dan yang jelas bisa membuatnya nyaman ketika berinteraksi. Dan menurutnya, calon yang disodorkan oleh orangtuanya sama sekali jauh dari angan. Orangtuanya, khususnya ibunya, memaksa Nindi untuk menerima mas itu sebagai calon suaminya.
“Terus, kenapa ibumu ngotot kamu harus dengan mas itu?” aku bertanya.
“Ibuku habis dari ‘orang pinter’, semacam kyai, gitu. Dan ‘orang pinter’ itu bilang, kalau aku nggak mau sama mas ini, nggak menikah segera dengan dia, aku akan jadi PERAWAN TUA dan nantinya akan mendapatkan DUDA!” Ia menekankan pada kata “perawan tua” dan “duda”.
“Ebuseeeeeet! Itu orang pinter atau Tuhan? Bisa meramal segala?!” sahutku benar-benar kaget. Aku sendiri, tidak pernah percaya ramalan dari siapapun dan tentang apapun. Kecuali kejadian-kejadian masa depan yang memang diceritakan dalam kitab suci.
“Bener, Ma. Dan ibuku sangat ketakutan apabila nanti aku betul-betul akan jadi perawan tua, yang baru akan menikah umur 30 atau 40-an, dan dapat duda, lagi.” katanya parau.
“Trus, kamu sendiri percaya nggak dengan ramalan itu?”
“Enggak lah! Jodoh itu di tangan Tuhan. Mau nanti aku menikah umur berapa, berarti ya takdirku menikah umur segitu. Bukan karena aku menolak mas ini lantas aku menjadi perawan tua atau akhirnya mendapat duda.”
“Bagus. Kamu punya sikap.” Aku lega Nindi mempunyai pendapat yang lebih waras daripada ibunya.
“Tapi Nin, coba deh kamu cari tau lebih lanjut tentang mas itu. Mungkin memang tampangnya kurang meyakinkan. Yaaaah... setidaknya bukan seperti dia yang kamu inginkan. Apa salahnya mengorek informasi tentang dia? Apapun lah. Apapun yang kamu ingin tahu”, saranku.
“Aku sejak awal sudah nggak berminat mencari tahu tentang dia, Ma. Aku males. Melihat orangnya saja sudah malas. Dia itu.... Hiiiih... Andai kamu tahu dengan mata kepala sendiri yaaaa... Haduuuh...”, Nindi menggertakkan gigi-giginya dengan gemas.
“Kenapa sih?” balasku tak sabar sambil membetulkan posisi duduk.
“Dia sangat tidak menarik ketika berbicara. Membosankan. Apa yang dia katakan dari pertemuan ke pertemuan di rumahku ya itu-itu saja. Tentang pekerjaannya, pertanyaan membosankan macam ‘Gimana sih perasaanmu ke aku?’, ‘Kamu suka nggak sih sama aku?’, ‘Aku suka sama kamu’, semacam itu. Bayangkan, kalau kamu, bosen nggak sih ditanya seperti tiap kali ngobrol?” Nindi nyerocos.
“Hahaha... iya sih, bosen. Bosen banget malah. Suruh ke laut aje!” Aku tertawa sambil meringis membayangkan bagaimana perasaan Nindi.
“Tapi gini, Nin. Tipe orang itu beda-beda. Ada yang tipe gaul banget, enak banget diajak ngobrol tentang apapun, nyambung dengan pemikiran kamu, dan ada juga orang yang membosankan seperti masmu itu tadi. Bisa jadi dia gak bermaksud membuatmu bosan, lho. Malah dia juga nggak pernah sadar kalau perilakunya seperti itu membuatmu nggak nyaman. Dulu kamu pernah sedikit cerita, sedang didekati oleh seorang anak kyai. Ini kan ya, orangnya? Kalau menurut feeling-ku sih, masmu ini sama sekali nggak berniat menyakiti kamu. Dari segi bibit, insya Allah dia baik. Ayahnya jadi imam di masjid sebelah rumahnya, kan? Kalau dari bebet dan bobot, mungkin kamu yang bisa lebih menilai bagaimana. Pendiam, nggak asyik diajak ngobrol, oke, mungkin itu dua dari kekurangannya di matamu. Tapi ayolah... dia pasti punya banyak kelebihan kok. Kalau kamu nggak menutup mata. Makanya, kepoin dong, kepoin!” Akhir kalimatku terasa sungguh bersemangat.
Mungkin tidak bijak, tapi aku jadi membandingkan antara diriku dan Nindi. Nindi yang sudah antipati terlebih dahulu dengan si masnya, menjadi enggan dan tidak sudi sama sekali untuk mengorek lebih dalam mengenai seluk beluk mas itu. Baik dari segi keluarga, kebiasaan, hobi, sifat, teman-teman, ataupun pekerjaannya. Sedangkan aku, jika aku dikenalkan dengan seorang lelaki, asal sudah memegang namanya saja, aku akan berusaha mati-matian untuk mencari informasi mengenai orang itu. Prinsipku, orang yang pernah sekolah, dimana pun, pasti bisa dicari di Google. Iya, Google. Tinggal ketikkan namanya, dan voilaaaa! akan muncul sederet informasi mengenai orang itu. Iya, semudah itu bukan, cara kerja Google?
Tunggu. Tapi itu khususnya orang yang namanya pernah dicantumkan atau pernah mencantumkan namanya sendiri di laman-laman media sosial mapun website sekolah, kampus, dan sebagainya. Ada juga seseorang yang aku cari namanya hanya muncul sebanyak satu atau dua sumber informasi di Google. Artinya, dia tidak terlalu aktif menggunakan media sosial alias tidak “eksis” di dunia maya. Kalau sudah begini, aku akan kroscek dengan Google Image. Yaaah, siapa tahu pernah ada foto yang dipajang, sekedar untuk mengetahui atau mencocokkan dengan wajah orang aslinya.
Pernah temanku yang mengenalkanku dengan seorang lelaki memberiku alamat blog lelaki tersebut. Blog, bagiku itu surga informasi. Dan berhari-hari setelahnya, aku sibuk tenggelam meng-klik satu demi satu arsip tulisannya, mulai tahun 2005 hingga 2013. Delapan tahun! Iya, aku membaca diary harian seseorang dalam kurun waktu delapan tahun. Apalagi dia orang yang aktif menulis waktu itu, sehingga aku membaca ratusan kisah hidupnya. Tentang diri, keluarga, teman-teman, hobi, bagaimana naik-turunnya emosi dalam berbagai situasi, hubungan dengan bapak-ibunya, pekerjaannya, kunjungannya ke berbagai belahan dunia, dan kisah cinta masa lalunya. Pahit manis hidupnya tertulis di sana.
Sedangkan Nindi? Dia sama sekali tidak mau mencari tahu dan tidak mau tahu mengenai apapun yang berkaitan dengan si-mas-calon-suami-yang-dijodohkan-dengannya-tapi-dia-tidak-suka-itu. Tipe si mas yang pendiam yang ternyata juga jarang mengawali komunikasi dengannya, baik chatting maupun telepon, semakin membuat Nindi tak habis pikir dengannya. Sebenarnya dia niat, tidak? Tapi apa lacur. Ketika mereka chatting pun, ternyata Nindi sama sekali tidak menemukan klik atau apapun istilahnya yang membuatnya tertarik dengan sosok si mas. Kepribadiannya tidak menarik, begitu kilah Nindi. Tidak asyik diajak ngobrol, membosankan, daaan...
“Harusnya dia tahu, Ma, kalau aku nggak suka sama dia! Kenapa sih dia nggak bilang sama orangtuanya saja untuk membatalkan rencana??” ucap Nindi berapi-api.
“Karena kamu ternyata juga mau melanjutkan proses yang absurd ini, Nin!” kataku tegas.
“Orang lain memang nggak bisa ngerti. Ibuku sakit-sakitan kalau aku menolak perjodohan ini. Kemarin ibuku sudah drop, lemes. Dan aku tahu pasti, itu karena stres. Memikirkan aku. Anak perempuan pertama dan satu-satunya yang sampai umur 28 tahun belum juga menikah. Kamu belajar Psikologi. Kamu pasti bisa memahami situasi ini.” Suara Nindi melemah ketika menjelaskan hal ini.
“Aku paham. Tapi aku nggak bisa membayangkan seandainya aku berada di posisimu. Perjodohanmu bak simalakama. Kamu turuti, kamu nggak cinta dia. Nggak kamu turuti, ibumu akan sedih dan sakit-sakitan. Ya Salaam...” ucapku.
Setelah pertemuan itu, Nindi mengabarkan berita terbarunya melalui BBM.
“Fatma, minggu depan aku lamaran.”
“Appaaaah?” balasku kaget dan tidak mengerti. “Tuh lihat, kamu pun masih mau melanjutkan proses ini. Entah siapa yang kurang waras. Apakah kyai yang menakut-nakutimu bahwa kamu akan mendapatkan duda jika menolak mas ini, atau ibumu, atau kamu yang seperti dicocok hidungnya seperti tidak bisa menolak.”
“Sudahlah. Aku pasrah. Yang jelas, aku sudah mengajukan syarat kepada orangtuaku.”
“Syarat macam apa?”
“Kalau aku bersedia menikah dengan mas itu, aku minta orangtuaku membelikanku laptop Apple, dan rumah serta mobil yang kami punyai saat ini nanti harus jadi milikku.”
“Oke fix. Kamu gila!”
Setelah chatting tersebut, Nindi bercerita bahwa pola komunikasi dengan masnya tidak kunjung membaik setelah masnya resmi melamar dia. Justru mereka jarang mengobrol. Okelah jika memang seharusnya laki-laki dan perempuan yang belum menikah hendaknya membatasi komunikasi untuk saling menjaga hati. Namun, bukankah mereka harusnya mempunyai bahan obrolan lain yang jauh lebih serius daripada ketika pertama kali berkenalan?
Sebulan kemudian, Nindi mengatakan akan melakukan kunjungan balasan ke rumah masnya. Aku lagi-lagi dibuat kaget. Bagaimana bisa Nindi yang setiap kali kutemui dan membicarakan soal perjodohan ini selalu berurai air mata, nafas tersengal-sengal akibat dadanya sesak oleh himpitan masalahnya dan masalah keluarganya, yang sering menulis status galau di BBM atau Path, kemudian bersedia melanjutkan proses perjodohan ini? Runyam tenan.
Tiga minggu setelahnya, aku mendapat kabar bahwa pernikahan Nindi akan dilaksanakan bulai Mei tahun ini. Aku menghela nafas berat.
“Nin, kamu serius akhirnya mau menikah dengan mas calonmu itu?” tanyaku datar, hampir tanpa ekspresi.
“Iya, Ma. Aku pasrah. Aku sudah nggak bisa menghindar lagi.”
“Nin, aku yakin. Bagaimanapun, ibumu perempuan. Ia pasti bisa mengenali perasaan anaknya. Apakah dia tidak mengatakan sesuatupun mengenai rencana pernikahan ini?” selidikku.
“Ibuku sempat bertanya apakah pernikahan ini perlu dibatalkan kalau memang aku tidak suka dengan si mas.”
“Nah, itu kesempatan bagus kan, untuk membatalkan pernikahan? Bukankah itu yang kamu inginkan?”
“Iya, Ma. Eh, nggak. Aku cuma ingin menggugurkan kewajiban kepada ibuku. Setidaknya ibuku bisa lega setelah aku menikah. Jika ada sesuatu hal yang terjadi dengan pernikahanku nanti, ibuku lah yang paling bertanggung jawab. Karena dia lah yang ngotot menjodohkan aku dengan mas ini. Aku tahu pernikahanku nanti akan dingin, bahkan mungkin aku tidak mau disentuh oleh suamiku. Dan, aku sudah berencana akan meminta cerai setelah enam bulan menikah”, katanya bergetar sambil berkali-kali mengusap air mata dengan tangannya yang lentik.
“Nindi. Kamu. Perlu. Berobat. Ke. Rumah. Sakit. Jiwa.” jawabku. “Apa kamu nggak pernah mikir, bahwa ibumu akan jauh, jauh lebih sakit hati dan fisik, kalau tahu anaknya nanti bercerai? Jauh lebih sakit daripada jika sekarang kamu mengatakan untuk membatalkan pernikahan!” kataku meradang.
“Pernikahan ini sudah tidak mungkin dibatalkan. Sudah habis biaya puluhan juta untuk ini itu persiapan resepsi pernikahan. Harga diri keluargaku dipertaruhkan di depan saudara dan kerabat kami. Aku tahu kamu paham, Ma.” Air matanya kembali meleleh melewati pipinya yang putih mulus dan wajahnya yang ayu.
Nindi melanjutkan, “Aku percaya, Ma. Kalau dia jodohku, mungkin memang ini sudah takdirku. Tapi kalau bukan jodohku, entah bagaimanapun jalannya nanti, pasti pernikahan itu tidak akan terlaksana.”
“Benar. Tapi aku nggak tahu kepasrahanmu sudah kamu letakkan pada cara dan konteks yang benar atau belum.” Aku menguraikan selembar tisu dari kotak untuknya.
Selang 10 hari, ponselku mendentingkan sebuah notifikasi BBM masuk. Nama Nindi tertera di layar.
“FATMA, AKU MAU BUNUH DIRI.”
248 per hari
2 days ago
...ini bersambung? *penasaran*
ReplyDeleteora sih mbak. bersambungnya di kehidupan nyata. haha
DeleteMudah-mudahan tidak jadi bunuh diri dan Nindi menemukan sesuatu yang membuatnya jatuh cinta dengan si mas. Amiiin....
ReplyDeleteaamiin. iya mas, sekarang mereka udah nikah. walau awalnya yo bener-bener gak seneng sama calonnya itu. semoga sekarang kondisinya semakin baik dan baik lagi.
DeletePernikahan bisa direncanakan. Tapi cinta? Hmmmm.
ReplyDeletebisa ditumbuhkan. hmmmm.
Delete