Resensi Novel: 'NEGERI PARA BEDEBAH" dan "NEGERI DI UJUNG TANDUK" Karya Tere Liye

, , 26 comments
Assalamu'alaikum

Jujur ini adalah salah dua novel yang membuka pandanganku mengenai perpolitikan di Indonesia. Tak hanya itu, novel ini juga menceritakan tentang perekonomian global, rekayasan keuangan, imperium bisnis, mafia hukum, konspirasi, dan segala hal "mengerikan" lainnya. Seperti fiktif, tapi nyata. Seperti nyata, tapi fiktif.

Aku rasa Tere Liye adalah orang yang cerdas secara bahasa (ya iyalah namanya juga penulis, hihi). Dia tampaknya serius melakukan riset, observasi, mengumpulkan banyak data dan fakta di lapangan, kemudian mengolahnya menjadi sebuah sajian, hiburan, bacaan, perenungan, dan proyeksi yang menarik ke hadapan kita.

Novel dwilogi ini terdiri dari 2 judul, yaitu:

Judul 1: Negeri Para Bedebah
Terbit: Juli 2012, Cetakan ke empat Mei 2013
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 433 halaman
Harga: Rp 60.000,- (di toko buku Gramedia, atau berdiskon di toko buku lain)


Adalah Thomas atau Tommi yang menjadi tokoh sentral dari keseluruhan cerita. Masa kecilnya kelam. Orangtuanya meninggal dibakar oleh masyarakat sekitarnya, yang protes karena sebuah "Arisan Berantai" yang didirikan omnya, Liem Soerja, dan papanya, Edward. Adalah Liem yang berambisi membangun bisnis keluarga yang besar, yang akhirnya harus kandas di tengah jalan. Edward lebih kalem, walaupun tetap mengikuti ide Liem. Apakah benar masyarakat sekitar yang tidak puas dengan bisnis Arisan Berantai tersebut yang membakar rumah Opa (orangtua Edward dan Liem, kakek Thomas)? Hey, apakah kalian berpikir sesederhana itu? ;)

Thomas yang yatim piatu akhirnya dikirim oleh para tetangganya ke sebuah sekolah berasrama terpencil di dekat pantai. Sekolah yang mengubah hidupnya secara total. Thomas yang sedih dan sakit hati berubah menjadi Thomas yang pintar, gagah, tampan, dan berhasil menyelesaikan sekolah masternya di luar negeri. Master dalam bidang ekonomi bisnis, sekaligus master dalam bidang politik. Bisa kalian bayangkan bagaimana ia mondar-mandir di dua jurusan berbeda, melahap semua buku pelajaran dengan ganas, belajar "berbicara" di depan banyak orang secara persuasif, melatih gestur dan sapuan pandangan ke seluruh hadirin untuk memberikan efek menghipnosis.

Thomas yang berusia 33 tahun kini memiliki sebuah kantor konsultan keuangan yang sangat terkenal. Tak pernah salah memberikan nasihat keuangan kepada semua perusahaan kliennya. Ia amat berpengaruh. Tegas, cerdas, akurat, penuh perhitungan, dan... JOMBLO! Wohooooo. No time for any woman, Tommi? ;)

Kalian tak akan percaya bahwa setting waktu dalam novel pertama ini hanyalah dua hari. Iya, HANYA DUA HARI. Bagaimana bisa sebuah novel setebal 433 halaman mengisahkan seluruh rangkaian cerita yang begitu rumit selama HANYA DUA HARI?

Kuncinya ada di alur ceritanya yang sangat rapat, padat, dan cepat. Dua hari adalah waktu yang cukup singkat bagi Thomas untuk menyelamatkan Bank Semesta, bank milik Om Liem. Bank bermasalah yang harusnya sejak 6 tahun lalu ditutup itu memiliki banyak kasus hukum. Apalagi Om Liem, memiliki catatan gelap hukum yang tak terbilang banyaknya.

Ketika membaca novel ini, aku beberapa kali ikut tegang, ikut menerka-nerka siapa dalang di balik kejadian tersebut, apa yang akan dilakukan Thomas selanjutnya, akankah "uang" yang (lagi-lagi) bicara dan mampu menyelesaikan masalah? Thomas terbang dari dan ke Jakarta, Hong Kong, Bali, dan berbagai tempat lain dalam hitungan jam, bukan hari. Terlalu banyak "urusan penting" yang harus diselesaikannya untuk mati-matian menyelamatkan Bank Semesta.

Apakah ada yang berpikir kasus dalam novel ini mirip dengan kasus Bank Century yang sampai sekarang terus saja diselidiki tanpa ada ujungnya? Jika ada yang menjawab iya, maka kalian mirip denganku. Aku juga mereka-reka demikian. Mirip, walau tak serupa. Aku agak kecewa awalnya mengapa Tere Liye tidak membuat sebuah cerita yang "baru", yang orisinil miliknya? Mengapa harus mengadaptasi dari kejadian asli di negeri ini, negeri pada bedebah, Indonesia? Namun, protesku tenggelam begitu saja seiring aku terus membaca kisahnya yang mengalir hingga tuntas. Bagaimana sepak terjang Thomas menemui ibu menteri keuangan, melobi petinggi partai, menyumpal mulut para bedebah di kepolisian, dan beberapa kali kabur dari penjara, demi menyelamatkan Bank Semesta? Apakah Bank Semesta akhirnya ditutup atau justru diselamatkan pemerintah? Baca donk ah :)))

Oke, sekarang masuk ke sekuel keduanya.

Judul 2: Negeri di Ujung Tanduk
Terbit: April 2013, Cetakan ke tiga Mei 2013
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 359 halaman
Harga: Rp 55.000,- (diskon 20% di Rumah Buku Surabaya, jadinya Rp 44.000,-)


Adalah Tuan Shinpei yang menjadi "sasaran tembak" Thomas selanjutnya. Sejak dulu sebenarnya intuisinya sudah mengarah bahwa bos besar di balik semua kejadian ini adalah Shinpei, yang juga kolega bisnis Opa sejak dua puluh tahun lalu.

Novel kedua menceritakan tentang kantor konsultan Thomas yang setahun terakhir membuka lini baru, yaitu konsultan politik. Dua calon gubernur berhasil dimenangkan pihaknya pada pilgub sebelumnya. Ini cukup membuktikan bahwa Thomas memiliki lebih dari sekedar kemampuan untuk ikut dalam ranah politik, selain keuangan.

Kali ini Thomas memiliki klien seorang kandidat calon presiden Republik Indonesia, berinisial JD (oh, is it so familiar for you? No?). Thomas ingin memenangkannya dalam konvensi partai yang berlangsung di Denpasar, Bali. What? Konvensi partai? Familiar (again)? Aku lagi-lagi sedikit kecewa kenapa Tere Liye mengangkat kisah-kisah macam setengah fiksi setengah nyata seperti ini. Tapi baiklah, karena otakku masih sulit menebak siapa JD dan konvensi partai apa yang dimaksud (karena sepertinya ini kisah yang mengawinkan beberapa fakta politik di negeri ini), akhirnya aku mengalah untuk terus menikmati saja ceritanya :D

Lagi-lagi kisah ini hanya bersetting waktu selama 48 jam alias 2 hari 2 malam. 48 jam lah waktu yang dimiliki Thomas untuk memenangkan JD dalam konvensi partai tersebut. Bagaimana dalam waktu 2 hari Thomas bisa berada di konferensi politik di Hong Kong, bertarung tinju di Makau, ditangkap di perairan China dengan tuduhan memiliki 100 kilogram heroin dan sekarung senjata laras panjang, dijebloskan ke penjara, kabur dari penjara di Jakarta, mendengar kabar bahwa kliennya (JD) ditangkap polisi dengan tuduhan korupsi mega proyek Gedung Olahraga, bertolak menuju Denpasar untuk meyakinkan peserta konvensi untuk tetap memberikan suara bulat untuk JD agar tetap maju menjadi pilpres, kemudian kembali ke Jakarta mengatur pertemuan dengan para wartawan senior, pengamat politik, dan komentator untuk membentuk opini publik mengenai JD, lalu memenuhi undangan polisi bintang tiga untuk "menyelesaikan persoalan" di Hong Kong.

Oh my God! Sebanyak itu yang harus ia kerjakan (dibantu para stafnya yang melakukan riset besar-besaran atas jutaan informasi di internet) selama 2 hari. Apakah ia sempat mandi dan makan? Ah, lupakan tentang itu :D

-----

Ending dari ceritanya tentu saja bisa kalian baca sendiri nanti :p

Sepanjang cerita aku hanya bisa merenung. Oh, seperti itukah wajah politik di Indonesia sebenarnya? Sebuah negeri di ujung tanduk, yang sebentar lagi akan hancur berantakan jika tidak ada penegakan hukum di dalamnya? Boleh jadi bayanganku sama sekali salah, atau bahkan benar seluruhnya.

Semua orang boleh berkomentar mengenai politik di negeri ini. Tapi menurutku pribadi, tak ada yang benar-benar tahu bagaimana situasi politik "di dalam lingkaran", jika orang tersebut tak pernah terjun langsung di dunia politik. Berbeda, sungguh berbeda kawan.

Walaupun ini fiksi, sungguh aku tak pernah menyangka (atau hanya pernah sedikit menduga) bahwa ada kejadian seperti ini:

  • Yang membakar rumah Opa Thomas bukanlah masyarakat yang kecewa atas bisnis Arisan Berantai. Siapa? Oknum. Yang hanya menjalankan perintah dari "atasannya". Siapa?
  • Yang membuat Bank Semesta bisa diambil alih Om Liem Soerja, walaupun seharusnya bank bermasalah itu sudah ditutup sejak 6 tahun yang lalu, juga karena seseorang. Siapa?
  • Pembentukan opini publik melalui media massa tidaklah gratis. Thomas melakukan konferensi pers dengan para jurnalis senior, mengatakan apapun yang ia butuhkan untuk memuluskan rencananya, dengan "membayar" sejumlah materi. Ia memberikan tiket VVIP konser band Korea kepada anak-anak Sambas, seorang wartawan kritis. Ia mengirimkan undangan menjadi pembicara di acara konferensi internasional di Hong Kong kepada Faisal, seorang pengamat politik kritis dan berpengaruh. Tentu saja dengan akomodasi hotel berbintang dan transportasi kelas eksekutif. Ia memberikan poster besar boyband beserta tanda tangan asli seluruh personilnya kepada wartawan lain. Dan sebagainya. Voila! Esoknya, seluruh headline berita (baik koran, televisi, talkshow) menampilkan wacana yang disampaikan Thomas. Dampaknya persis seperti yang diinginkannya. Cara yang "elegan", katanya.
  • Bagaimana Thomas kabur dari penjara beberapa kali? Menyuap sipir penjara dengan uang 2 milyar.
  • Apakah situasi ekonomi hanya dipengaruhi oleh bisnis dan para pelaku bisnis? Tidak. Partai politik berpengaruh besar di dalamnya.
  • Apakah pernyataan polisi dalam kasus penangkapan JD murni karena memang JD bersalah dan polisi telah melakukannya demi kepentingan negara, memberantas korupsi? Tidak. Petinggi polisi, jaksa, hakim, telah disuap dengan sebegitu mengerikannya untuk dapat menggerakkan pasukan khusus dan mengarang bukti, rentetan informasi, dan menghadirkan saksi-saksi palsu.
  • Daaaaan sebagainya dan sebagainya.....

Oleh karenanya, aku mengatakan bahwa "semua orang boleh berkomentar atas seluruh kejadian di televisi, media cetak, radio, dll mengenai situasi politik dan perekonomian di negara ini, tapi akan sangat sulit mempercayai siapa yang benar sebenar-benarnya dan siapa yang salah".

Peniliaian publik tergantung apa yang dibaca, dilihat, dan diwacanakan orang. Apabila semua stasiun tv dan media massa lain sudah dikuasi masing-masing politikus untuk kepentingannya sendiri, ya sudah. Persepsi tetaplah persepsi. Setiap orang berhak punya pandangannya sendiri. Seperti yang pernah aku baca di twitter:

Selalu ada 3 versi dalam sebuah kejadian: versiku, versimu, dan FAKTA.

Nah, seolah fakta terpisah dari dua persepsi ini. Fakta adalah fakta. Persepsi bisa jadi mengandung sedikit, separuh, atau sebagian besar fakta. Bisa jadi sama sekali tidak.

Oke, saya mau mengerjakan hal lain dulu. Hahaha...
Selamat berburu bukunya. Yang jelas, novel ini layak buat siapa saja (remaja-tua) yang pengen tau lebih banyak tentang politik, ekonomi, perbankan, keuangan, hukum, dalam bingkai yang imajinatif dan menggugah rasa keingintahuan. Halah.

Boleh juga pinjam ke aku bukunya. Hubungi aku aja ya ;)

Wassalamu'alaikum

26 comments:

  1. pinjam donk kak.. pinjam :D #hidupmeminjam

    ReplyDelete
    Replies
    1. ih beli donk kak :p
      serius, mau pinjem? infoin di WA/ twitter yak..

      Delete
  2. dua novel ini sudah ada dalam list bacaanku.. belums sempat terus :D

    ReplyDelete
  3. kalo aku punya novel nanti kamu mau bikin resensi buku ku gak? :P
    *ditabok

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya donk, asal dikasih bukunya gratis. Mau nulis nopel apa Van? Memoirs of Geisha jilid 2? :))

      Delete
  4. Iiiiih bacaannya sangarrr..beratt..bikin pengen pinjem buku ny trs g dibalikin :D :D bagus resensi ny kakaghh..five stars dr akoooo :* jd sbnrnya JD iku sopo? -____-

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya memang berat! *menatap timbangan badan dengan nanar*
      JD = Jokowi Dodo.
      hahaha yakale pak Dodo gitu panggilannya -___-
      kan ini setengah fiksi, jadi gak usah dipusingkan siapa tokohnya. Nikmati saja ceritanya :D

      Delete
  5. Replies
    1. yiey! bagus kaaan...kaaan... *komen yang amat telat*
      jadi ya gitu deh, kayak yang pernah kamu bilang, not to believe anyone, any news, any party, hahaha. halah..

      Delete
  6. Ih pengen beli dua-duanya....kak kira2 diantara 2 buku itu, mendingan beli yang mana dulu ka? lagi banyak kebutuhan nih... jadi harus satu2... :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. okay, walaupun komenku amat telah, tapi mending beli yang pertama dulu, negeri para bedebah. biar lebih urut aja ceritanya. walau langsung baca yang kedua juga bisa :D

      Delete
  7. Aku sendiri baru baca Negeri Para Bedebah. Baru tahu juga kalau Negeri di Ujung Tanduk adalah sekuelnya. Kalo Negeri Para Bedebah memang membuat kita menganalogikan dengan kasus Bank Century, yang sampai sekarang tidak jelas penyelesaiannya. Dengen membaca novel tersebut kita jadi membayangkan kira-kira seperti itu salah satu jalan cerita kasus Bank Century.

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah betul. jadinya juga logikaku justru jadi lebih percaya bahwa kejadian kasus Century itu deskripsinya seperti di novel tersebut. kebalik. hahaha persuasif banget yak bukunya :)
      salam kenal...

      Delete
  8. sebelumnya saya tidak ingin mendapatkan bocoran cerita atau spoiler untuk buku ke-2 tapi saya ingin bertanya, saya sudah membaca Negeri Para Bedebah dan diakhir cerita thomi pergi dan mengincar tuan shinpei nah saya ingin tahu apakah di buku ke-2 tuan shinpei yang menjadi antagonisnya? atau buku ke-2 sudah lepas dari konflik yang ada di buku pertama dan hanya cerita baru yang tidak ada kaitannya dengan buku pertama?

    ReplyDelete
    Replies
    1. maaf baru baca komennya mas.
      Tentang antagonis dan protagonis, lebih seru kalo dibaca sendiri mas. Soalnya penokohannya unpredictable, banyak twist.
      buku pertama dan kedua ada kaitannya kok. Nah setelah buku pertama selesai, tamat sudah :)
      selamat membaca

      Delete
  9. halo, saya izin nge-link ya, untuk dicantumkan di review saya di: http://adf.ly/6113826/personification---negeri-para-bedebah

    terima kasih ^^b

    ReplyDelete
    Replies
    1. sip, silakan mas. terima kasih sudah meminta izin terlebih dahulu. demikianlah hendaknya dalam etika menulis di dunia maya maupun nyata :) #halah

      Delete
  10. Halo, salam kenal. Terima kasih untuk review-nya, sangat membantu saya dalam mengerjakan tugas membuat teks ulasan novel. Pada awalnya, saya sedikit ragu untuk membeli novel 'Negeri Di ujung Tanduk' dan menjadikannya bahan ulasan saya, tetapi setelah membaca review-nya saya yakin novel ini tak akan mengecewakan saya :D Terima kasih banyak

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama-sama, mbak Asyah. Iya, walaupun agak gimanaaa gitu novelnya, tapi sangat layak dibaca kok. Khususnya buat orang-orang yang nggak suka politik tapi pengen tahu sudut pandang lain dari politik itu sendiri :)

      Delete
  11. Hai, slmat sore. Trima kasih reviewnya. Kedua novel ini sangat bagus. Kmudian mnceritakn banyak hal. Kira2 yg pling menonjol dr smua ktonjolan kehidupn yg diangkat dlm novel2 ini apa y? Mkc..

    ReplyDelete
    Replies
    1. hmmm yang paling menonjol, ya?
      bahwa politik akan sangat berbahaya, mengerikan, dan menjijikkan apabila di tangan orang yang "salah" :)

      Delete
  12. Mana enakan negeri para bedebah atau negeri di ujung tanduk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama2 bagus sih kak. Karena itu kelanjutan ceritanya.

      Delete
  13. Hahahaha,sebenernya ini bukan buku politik pertama Gua Dan bukan buku pertama Tere yang Gua baca. But still, karya yang Satu ini memang beda. Dan buku ini membuat Gua sadar juga bahwa indonesia itu abu-abu condong bangsat wkwkwk Dan entah kenapa sadar Kalo sering, Gua ngebela Saturday pihak yang di pojokin, Gua ampe sekarang masih nyari penjelasan psikologisnya😂

    Btw ka, bisa share buku buku bacaan Kaka ga?

    Ohh it's, Kalo mau nyoba baca buku politik sejarah coba deh baca buku demokraei Kita nya hatta. itu cuma nyaranin ya ka wkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha politic is dark, man. Tapi tetep tergantung orangnya juga sih ya.
      buku2 yang aku baca aku ulas dan unggah di instagramku @puri.fatma ya, silakan mampir.
      Hatta... noted!

      Delete