“Mbak, coba baca huruf-huruf di depan layar sana”, perintah seorang perempuan usia 30-an kepadaku.

Mbak-mbak itu memakaikanku sebuah kacamata berat yang bolong di bagian depan matanya. “Sekarang ditutup yang kiri dulu ya”, katanya.

Aku pun membaca dengan lancar, mulai awal hingga akhir. Mulai huruf terbesar, hingga hampir yang paling kecil. Sedangkan yang paling bawah, terkecil, aku kurang jelas membacanya. Wajar, pikirku. Sepertinya semua orang tidak akan mampu membaca huruf-huruf seperti itu. Terkecil. Dan aku selalu berpikir begitu dari beberapa kali tes ketajaman penglihatan atau kesehatan mata beberapa tahun ini.

“Oke, kalau saya tutup yang sebelah kanan?” tanyanya membetulkan penutup.

“Halo... assalamu’alaikum. Halo, dek Is? Dek, iki aku, Endah. Jik eling aku to? Aku biyen kancane sampeyan sekolah nek SMA 1. Trus bar kuwi aku kerja nek PLN Jakarta. Trus aku balik Kediri neh merga bojoku lara. Dadi, saiki aku nek omah ae. Wis tuwa pisan. Anakku telu, dek. Kabeh wis mentas. Sing ragil wingi kae dadi manten. Sampeyan yo rawuh to? Jenenge Regina, celukane Gina. Halo... halo dek... halo...”

“Halo bu, mmm... ngapunten, ibuk taksih sare. Kula putrinipun.”

Deziiiiiiiinngggg!

“Mbak, agak sana ya. Ini ada orangnya nanti”, kata seorang ibu yang kujumpai di shaf ke dua di sebuah mushala.

“Oh, iya bu”. Akupun duduk agak ke sebelah kiri setelah tahu bahwa sepetak shaf yang akan kutempati ternyata sudah “dipesan” oleh orang lain.

Si ibu meletakkan tangannya di atas kursi kosong di sebelah kirinya, tempat yang akan kugunakan tadi.

“Maaf bu, ini kursinya siapa?” tanyaku penasaran.

“Ada mbak pokoknya nanti. Ibu-ibu tua. Biasanya dia kemari duduk di kursi ini. Kayaknya orang belum datang”, jawabnya.

“Oh... ya ya...”, kataku mengerti.

Namun, hingga shalat tarawih selesai, tak kujumpai seorang pun yang duduk di kursi kosong tersebut, seperti yang si ibu katakan. Hal ini berulang di malam berikutnya. Kursi kosong itu tetap ada pada tempatnya, di shaf ke dua jamaah wanita. Mungkinkah si ibu sedang sakit? Sedang tidak enak badan, sehingga tidak dapat hadir di mushala? Pikirku. Entahlah.

Tawa-tawa kecil kudengar dari shaf di belakangku. Katakanlah aku belum bisa khusyuk benar, karena telingaku masih bisa menangkap suara mengganggu di sekitar. Setelah shalat isya’ selesai, khotib berceramah. Aku menengok ke arah belakang karena penasaran. Ah, ada 3 makhluk mungil lucu di sana, ganti menatapku.

Aku tahu, jika aku tidak berbuat apapun, 3 gadis itu pasti akan saling berbicara dan tertawa lagi sepanjang shalat tarawih dan witir nanti. Kucoba menoleh lebih jauh ke arah kiri, kanan, dan belakang ketiga gadis ini, mencoba mencari siapa yang bertanggung jawab atas kehadiran mereka di masjid ini. Tampaknya tidak ada satupun jamaah yang wajahnya meyakinkan yang “pantas” menjadi orangtua atau kakaknya. Karena ketika kutatap mereka satu per satu, tidak ada mimik muka yang mengatakan, “Ya, mereka anakku. Mereka tanggung jawabku.”

Okelah. Asumsi pertama, mereka datang ke masjid sendirian. Asumsi ke dua, mereka datang bersama ayah atau saudara lelaki yang berada di shaf laki-laki. Asumsi ke tiga, ibu atau saudara perempuannya berada di shaf yang jauh dari mereka. Janggal juga sih.
Gadis kecil di depanku tampak lucu menawan. Sekira 3 tahun umurnya. Pipi putihnya menyembul malu dari balik mukena bermotif Hello Kitty ungu yang sedikit tampak kelonggaran. Hidungnya tidak terlalu mancung, melainkan hanya kecil saja, tetapi juga tidak pesek. Matanya bening menatap sekitar, dengan dagu yang pas dengan wajah bulatnya.

Di sebelahnya, mungkin masih saudaranya. Tampak seumuran. Putih juga, walau tidak lebih cantik dari yang pertama. Lebih aktif bergerak sana-sini dan berteriak. Ia tampak ceria malam itu dalam balutan mukena Ella “Frozenbiru muda yang mencolok.

Satu lagi, seorang bocah lelaki, masih dalam usia yang rupanya setara, berbalut kaus panjang dan sarung instan (seperti rok span berkaret yang tinggal masuk dipakai) lengkap dengan kopyah bermotif serupa dengan sarung instannya, kota-kotak biru-kuning.

Mudah kebelet buang air kecil (BAK) atau pipis, adalah salah satu kelebihanku. Ah entahlah, kelebihan atau kekurangan. Aku bisa mudah kebelet BAK di manapun. Di mall, terminal, stasiun, bandara, tempat makan, hotel, di dalam pesawat, dan lain-lain.

Pagi itu ketika aku mengikuti sebuah acara seminar di salah satu hotel lawas dan tenar di daerah Surabaya barat, sebelum mulai pun aku sudah ingin ke toilet. Terburu-buru aku menuju deretan kamar mandi sebelum ngompol (ya keleus).

Begitu masuk, aku begitu kecewa dan sedih melihat kondisi kloset duduk yang ada. Bukan kotor atau bau atau basah dimana-mana, tapi karena..... tidak ada jet washer atau closet shower atau selang air untuk cebok paska BAK, yang biasanya ditaruh di sisi kanan kloset itu tuh. Dan ini adalah kondisi yang aku benci. Toilet kering yang saking keringnya, bahkan tidak mengizinkan penggunanya untuk menyemprotkan air untuk cebok. Hanya ada tombol flush untuk mengguyur kloset setelah digunakan.

Sore itu seseorang meneleponku. To the point, mengatakan sedang membutuhkan tambahan sedikit uang untuk keperluan tertentu. Karena kami sudah dekat, aku tanyakan berapa yang dibutuhkan. Dia bilang, dua blabla saja.

Kemudian aku menemuinya dan menyerahkan uang tersebut sambil berkata, “Benar, hanya 2 blabla yang dibutuhkan?”. “Iya”, jawabnya. Karena aku sedang membawa uang lebih, aku berikan lagi 1 blabla untuk ekstra, siapa tahu dapat digunakan untuk hal lain. Dia mengucapkan terima kasih.

***
Esok paginya, ada seseorang dari kantor konsultan yang meneleponku meminta bantuan untuk sebuah proyek pekerjaan di Pali. Karena aku tidak dengar ketika ditelepon, beliau mengirim SMS kepadaku.

Pali? P-A-L-I?