Tawa-tawa kecil kudengar dari shaf di belakangku. Katakanlah aku belum bisa khusyuk benar, karena telingaku masih bisa menangkap suara mengganggu di sekitar. Setelah shalat isya’ selesai, khotib berceramah. Aku menengok ke arah belakang karena penasaran. Ah, ada 3 makhluk mungil lucu di sana, ganti menatapku.
Aku tahu, jika aku tidak berbuat apapun, 3 gadis itu pasti akan saling berbicara dan tertawa lagi sepanjang shalat tarawih dan witir nanti. Kucoba menoleh lebih jauh ke arah kiri, kanan, dan belakang ketiga gadis ini, mencoba mencari siapa yang bertanggung jawab atas kehadiran mereka di masjid ini. Tampaknya tidak ada satupun jamaah yang wajahnya meyakinkan yang “pantas” menjadi orangtua atau kakaknya. Karena ketika kutatap mereka satu per satu, tidak ada mimik muka yang mengatakan, “Ya, mereka anakku. Mereka tanggung jawabku.”
Okelah. Asumsi pertama, mereka datang ke masjid sendirian. Asumsi ke dua, mereka datang bersama ayah atau saudara lelaki yang berada di shaf laki-laki. Asumsi ke tiga, ibu atau saudara perempuannya berada di shaf yang jauh dari mereka. Janggal juga sih.
MENGENAL LEBIH JAUH
Ketika khotib ceramah, aku memutar badanku sampai bisa menatap mereka dengan cukup baik. Tapi aku tetap mempertahankan posisi kaki menghadap ke depan, karena aku tidak mau membelakangi kiblat. Kucoba ajak bicara mereka bertiga dengan berbisik.
“Hai! Hai hai...”, tanganku menowel-nowel pipi gadis paling kecil yang sangat menggemaskan. Pipinya putih bersih, badannya langsing, dan aku tahu dia digundul. Aku sempat melihatnya sebelum dia memakai mukena Hello Kitty biru muda. Dia tidak merespon. Selayaknya anak umur 3 tahunan yang mungkin sudah bosan ditowel-towel pipinya. Aku tidak menyerah.
“Hai, namamu siapa?”
Kedua anak di kiri dan kanannya justru yang menoleh. Mereka sekitar 4 dan 6 tahun. Anak berusia 6 tahun yang menjawab, “Kayla.”
“Hai, Kayla. Halo, kakak-kakak. Kalian ke sini sama siapa?” tanyaku.
Mereka saling pandang. Kucoba menatap kiri dan kanannya. Ibu-ibu yang tampak cuek. Oke, bukan mereka.
Akhirnya gadis 6 tahun menjawab, “Sendiri.”
“Sendiri? Berani sendiri?”
“Mmmm.... sama kakak. Di belakang”, jawab gadis 6 tahun.
Kuedarkan pandangan ke arah belakang, tempat yang ditunjuk oleh jari si gadis. Ah, lagi-lagi tak kutemukan siapa yang dia maksud.
“Oke. Kalau nanti shalat lagi, tenang ya”, kataku sambil menatap mereka bertiga bergantian.
Mereka diam sejenak, lalu tampak tidak mengerti apa yang kukatakan. Kutepok jidat (tapi dalam hati). Oke, harus mencari bahasa yang lebih mudah mereka mengerti. Aku harus membuat mereka memperhatikan dulu keberadaanku dan siapa yang sedang kuajak bicara.
Kusentuh ujung lutut gadis 4 tahun yang duduk paling dekat denganku. Untuk memastikan bahwa dia yang kuajak bicara dan memintanya bekerjasama.
“Kakak, aku minta tolong ya. Kalau adeknya nanti bicara waktu shalat, diminta tenang dulu ya, sampai shalatnya selesai”, pintaku.
Ia menatapku tanpa menjawab. Hmmm... tampaknya harus mencari kalimat yang lebih konkrit mengenai apa yang harus dia lakukan ketika melihat adiknya masih ramai bicara saat shalat. Aku ulangi perkataanku.
“Ya, kakak. Tolong kalau dek Kayla bicara waktu shalat, adek disuruh diam. Diam dulu. Ssttttt.....”, kataku sambil meletakkan ujung telunjukku ke bibirku sendiri. “Oke?”
Gadis cilik berpipi putih gembil ternyata ikut mendengarkanku. Ia spontan menutupi wajahnya dengan mukena seperti malu-malu karena ketahuan kalau dia ramai tadi. Sambil tergelak sendiri, 3 detik kemudian ia menurunkan mukena Hello Kitty dari mukanya.
“Ya, adek. Kalau shalat, sssttttt.....”, aku kembali memeragakan bahwa diam adalah menutup mulut. Kayla menirukan. Kali ini jari mungilnya diletakkan di depan mulutnya sendiri sambil bilang “sssttttt....”
“Iya, pinter. Makasih ya, kakak-kakak, makasih Kayla!” kataku memastikan bahwa aku mempercayai 2 gadis yang lebih besar untuk mengontrol perilaku adiknya, dan aku berterima kasih atas usaha yang akan mereka lakukan.
Gadis berusia 4 tahun lalu meletakkan ujung telunjuknya ke depan bibir mungil merah Kayla, sesaat sebelum aku kembali menghadap ke depan. Aku tersenyum sangat lebar melihat tingkah mereka. Ah, selalu adem melihat anak-anak.
SEDIKIT PERUBAHAN SIKAP
Setelah itu, shalat tarawih dimulai. Setiap 2 rakaat, salam. Setiap pergantian 2 rakaat itu, aku harus telaten melihat ke belakang untuk memberi penguatan positif. Kadang aku mengacungkan jempol, kadang aku hanya tersenyum sambil mengangguk kepada mereka. Intensitas ramai mereka berkurang.
Namun, ketika pergantian antar shalat tarawih, mereka tergelak lagi. Kulihat Kayla menggambar sesuatu (abstrak) di sebuah kertas kecil menggunakan pulpen. Bujug buset, siapa orangtua yang “membekali” anaknya kertas dan pulpen ketika akan shalat, sih?
“Kayla, ditaruh dulu ya kertasnya!” perintahku cepat.
Bahkan ketika mereka mulai ramai tertawa dan bicara lagi karena sedang sibuk menggambar, jamaah di sekitarnya hampir serempak meninggikan suaranya, “ssttttt...!!!” sambil menunjukkan muka tidak senang karena terganggu.
Omaigat! Anak kecil mana sih yang mempan langsung diam cuma dengan teriakan seperti itu? Mungkin juga mereka bertiga tidak tahu makna “sssttt” jika tidak disertai penjelasan yang tepat sesuai umurnya. Apalagi mengenali arti tatapan para jamaah lain.
Singkat cerita, sampai akhir shalat tidak ada lagi keributan yang berarti dari ketiga gadis itu. Selesai shalat, aku berencana berterima kasih kepada mereka karena telah mau bekerjasama dengan baik. Dan juga, aku berencana mencium pipi Kayla yang benar-benar menggemaskan. #teteup. Tapi sayangnya, ketika aku cari, mereka sudah buyar terlebih dulu.
MENJADI ORANGTUA YANG BERTANGGUNG JAWAB
Aku berpikir bahwa menjadi orangtua benar-benar tidaklah mudah. Jika ingin mengajak anak kecil (balita, batita) shalat di tempat umum, pastikan orangtua ikut ke lokasi. Jika terpaksa tidak bisa, misal sakit atau ada halangan lain, titipkan tanggungjawab itu pada saudaranya yang sudah “paham”, tetangga, tante, budhe, mbak asisten rumah tangga, atau yang lain. Pastikan anak-anak tidak mengganggu jalannya shalat jamaah lain yang ingin khusyuk.
Bagaimanapun, terima kasih, Kayla. Terima kasih kakak-kakak... :)
Aku tahu, jika aku tidak berbuat apapun, 3 gadis itu pasti akan saling berbicara dan tertawa lagi sepanjang shalat tarawih dan witir nanti. Kucoba menoleh lebih jauh ke arah kiri, kanan, dan belakang ketiga gadis ini, mencoba mencari siapa yang bertanggung jawab atas kehadiran mereka di masjid ini. Tampaknya tidak ada satupun jamaah yang wajahnya meyakinkan yang “pantas” menjadi orangtua atau kakaknya. Karena ketika kutatap mereka satu per satu, tidak ada mimik muka yang mengatakan, “Ya, mereka anakku. Mereka tanggung jawabku.”
Okelah. Asumsi pertama, mereka datang ke masjid sendirian. Asumsi ke dua, mereka datang bersama ayah atau saudara lelaki yang berada di shaf laki-laki. Asumsi ke tiga, ibu atau saudara perempuannya berada di shaf yang jauh dari mereka. Janggal juga sih.
MENGENAL LEBIH JAUH
Ketika khotib ceramah, aku memutar badanku sampai bisa menatap mereka dengan cukup baik. Tapi aku tetap mempertahankan posisi kaki menghadap ke depan, karena aku tidak mau membelakangi kiblat. Kucoba ajak bicara mereka bertiga dengan berbisik.
“Hai! Hai hai...”, tanganku menowel-nowel pipi gadis paling kecil yang sangat menggemaskan. Pipinya putih bersih, badannya langsing, dan aku tahu dia digundul. Aku sempat melihatnya sebelum dia memakai mukena Hello Kitty biru muda. Dia tidak merespon. Selayaknya anak umur 3 tahunan yang mungkin sudah bosan ditowel-towel pipinya. Aku tidak menyerah.
“Hai, namamu siapa?”
Kedua anak di kiri dan kanannya justru yang menoleh. Mereka sekitar 4 dan 6 tahun. Anak berusia 6 tahun yang menjawab, “Kayla.”
“Hai, Kayla. Halo, kakak-kakak. Kalian ke sini sama siapa?” tanyaku.
Mereka saling pandang. Kucoba menatap kiri dan kanannya. Ibu-ibu yang tampak cuek. Oke, bukan mereka.
Akhirnya gadis 6 tahun menjawab, “Sendiri.”
“Sendiri? Berani sendiri?”
“Mmmm.... sama kakak. Di belakang”, jawab gadis 6 tahun.
Kuedarkan pandangan ke arah belakang, tempat yang ditunjuk oleh jari si gadis. Ah, lagi-lagi tak kutemukan siapa yang dia maksud.
“Oke. Kalau nanti shalat lagi, tenang ya”, kataku sambil menatap mereka bertiga bergantian.
Mereka diam sejenak, lalu tampak tidak mengerti apa yang kukatakan. Kutepok jidat (tapi dalam hati). Oke, harus mencari bahasa yang lebih mudah mereka mengerti. Aku harus membuat mereka memperhatikan dulu keberadaanku dan siapa yang sedang kuajak bicara.
Kusentuh ujung lutut gadis 4 tahun yang duduk paling dekat denganku. Untuk memastikan bahwa dia yang kuajak bicara dan memintanya bekerjasama.
“Kakak, aku minta tolong ya. Kalau adeknya nanti bicara waktu shalat, diminta tenang dulu ya, sampai shalatnya selesai”, pintaku.
Ia menatapku tanpa menjawab. Hmmm... tampaknya harus mencari kalimat yang lebih konkrit mengenai apa yang harus dia lakukan ketika melihat adiknya masih ramai bicara saat shalat. Aku ulangi perkataanku.
“Ya, kakak. Tolong kalau dek Kayla bicara waktu shalat, adek disuruh diam. Diam dulu. Ssttttt.....”, kataku sambil meletakkan ujung telunjukku ke bibirku sendiri. “Oke?”
Gadis cilik berpipi putih gembil ternyata ikut mendengarkanku. Ia spontan menutupi wajahnya dengan mukena seperti malu-malu karena ketahuan kalau dia ramai tadi. Sambil tergelak sendiri, 3 detik kemudian ia menurunkan mukena Hello Kitty dari mukanya.
“Ya, adek. Kalau shalat, sssttttt.....”, aku kembali memeragakan bahwa diam adalah menutup mulut. Kayla menirukan. Kali ini jari mungilnya diletakkan di depan mulutnya sendiri sambil bilang “sssttttt....”
“Iya, pinter. Makasih ya, kakak-kakak, makasih Kayla!” kataku memastikan bahwa aku mempercayai 2 gadis yang lebih besar untuk mengontrol perilaku adiknya, dan aku berterima kasih atas usaha yang akan mereka lakukan.
Gadis berusia 4 tahun lalu meletakkan ujung telunjuknya ke depan bibir mungil merah Kayla, sesaat sebelum aku kembali menghadap ke depan. Aku tersenyum sangat lebar melihat tingkah mereka. Ah, selalu adem melihat anak-anak.
SEDIKIT PERUBAHAN SIKAP
Setelah itu, shalat tarawih dimulai. Setiap 2 rakaat, salam. Setiap pergantian 2 rakaat itu, aku harus telaten melihat ke belakang untuk memberi penguatan positif. Kadang aku mengacungkan jempol, kadang aku hanya tersenyum sambil mengangguk kepada mereka. Intensitas ramai mereka berkurang.
Namun, ketika pergantian antar shalat tarawih, mereka tergelak lagi. Kulihat Kayla menggambar sesuatu (abstrak) di sebuah kertas kecil menggunakan pulpen. Bujug buset, siapa orangtua yang “membekali” anaknya kertas dan pulpen ketika akan shalat, sih?
“Kayla, ditaruh dulu ya kertasnya!” perintahku cepat.
Bahkan ketika mereka mulai ramai tertawa dan bicara lagi karena sedang sibuk menggambar, jamaah di sekitarnya hampir serempak meninggikan suaranya, “ssttttt...!!!” sambil menunjukkan muka tidak senang karena terganggu.
Omaigat! Anak kecil mana sih yang mempan langsung diam cuma dengan teriakan seperti itu? Mungkin juga mereka bertiga tidak tahu makna “sssttt” jika tidak disertai penjelasan yang tepat sesuai umurnya. Apalagi mengenali arti tatapan para jamaah lain.
Singkat cerita, sampai akhir shalat tidak ada lagi keributan yang berarti dari ketiga gadis itu. Selesai shalat, aku berencana berterima kasih kepada mereka karena telah mau bekerjasama dengan baik. Dan juga, aku berencana mencium pipi Kayla yang benar-benar menggemaskan. #teteup. Tapi sayangnya, ketika aku cari, mereka sudah buyar terlebih dulu.
MENJADI ORANGTUA YANG BERTANGGUNG JAWAB
Aku berpikir bahwa menjadi orangtua benar-benar tidaklah mudah. Jika ingin mengajak anak kecil (balita, batita) shalat di tempat umum, pastikan orangtua ikut ke lokasi. Jika terpaksa tidak bisa, misal sakit atau ada halangan lain, titipkan tanggungjawab itu pada saudaranya yang sudah “paham”, tetangga, tante, budhe, mbak asisten rumah tangga, atau yang lain. Pastikan anak-anak tidak mengganggu jalannya shalat jamaah lain yang ingin khusyuk.
Bagaimanapun, terima kasih, Kayla. Terima kasih kakak-kakak... :)
Bagoooos, papeti...
ReplyDeletemakasih, mama Zafran...
Deletekamu bisa aja deh pendekatannya. kalo aku udah kupelototin aja hihi #versigalak
ReplyDeleteasline yo wis gregeten mbak. Tapi apa daya si dedek pipinya kemesun. pengen tak iris-iris pipine. haha
Deleteaku lemah di hadapan pipi cempluk anak kecil, mbak -___-
wkwkwkwk kalo aku mah mana bisa, langsung ngomel2 haha
ReplyDeletehalah, lek setan lagi nyambet, aku yo langsung cemberut paling dek. haha. gak sesabar ini.
Delete