“Halo... assalamu’alaikum. Halo, dek Is? Dek, iki aku, Endah. Jik eling aku to? Aku biyen kancane sampeyan sekolah nek SMA 1. Trus bar kuwi aku kerja nek PLN Jakarta. Trus aku balik Kediri neh merga bojoku lara. Dadi, saiki aku nek omah ae. Wis tuwa pisan. Anakku telu, dek. Kabeh wis mentas. Sing ragil wingi kae dadi manten. Sampeyan yo rawuh to? Jenenge Regina, celukane Gina. Halo... halo dek... halo...”
“Halo bu, mmm... ngapunten, ibuk taksih sare. Kula putrinipun.”
Deziiiiiiiinngggg!
TEMAN LAMA
Namanya bu Endah, anggap saja begitu. Bukan nama sebenarnya. Teman ibuk saat SMA di Kediri. Setelah lama tak bersua, ibuk dan bu Endah bertemu di beberapa kesempatan, karena kebetulan angkatan SMA ibuk cukup rajin mengadakan semacam reuni, baik itu reuni kecil (seangkatan) maupun reuni akbar lintas angkatan.
Ndilalah kok ibuk juga senang-senang saja mengikuti acara reuni seperti itu. Aku sih mendukung saja asal kegiatannya positif. Tapi kalau ketika reuni atau pertemuan rutin mulai ada nyanyi-nyaninya (ada yang menyewa electone –kibor yang biasanya digunakan untuk acara pernikahan) atau nari poco-poco, aku mulai kurang suka. Sudah pada tua sebaiknya banyak ngaji, bukan nyanyi, heuheu. Aku sih setia menjadi sopir ibuk saja selama ini.
Singkat cerita, karena mengalami sebuah peristiwa-yang-aku-lupa-apa, bu Endah mengalami guncangan dalam hidupnya. Kondisi kejiwaannya sedikit terganggu. Tidak fokus dalam berbicara, memori jangka panjang mengalami hambatan, cara bicara menjadi agak sedikit cadel, dan senang mengulang-ulang cerita masa lalu. Suaminya setahuku terkena serangan stroke. Dan hebatnya, bu Endah lah yang selama ini merawat suaminya. Artinya dalam keterbatasan fisik dan psikisnya, ia setia dan rela terus berada di samping suaminya yang terkulai di tempat tidur.
Bu Endah perlu tempat berbagi cerita dan keluh kesah. Wajar. Dan teman-temannya lah yang menjadi “sasaran” tempat menumpahkan ceritanya. Ternyata tak hanya ibuk, tetapi juga teman SMA yang lain mengalami hal serupa. Sering ditelpon oleh beliau, hanya untuk diceritakan kisah yang bergitu-begitu saja dari hari ke hari. Mengenai siapa dia, apa yang dia lakukan selepas SMA, karirnya di kantor dulu yang bagus, hingga akhirnya kembali ke Kediri dan tinggal bersama suaminya yang sakit. Juga anak perempuan terakhirnya yang setahunan lalu baru saja menikah.
BATAS SABAR
Dari cerita teman-teman ibuk, beberapa diantaranya ikut tidak sabar ketika menerima telepon dari bu Endah. Bagaimana bisa sabar jika setiap kali menelepon, yang diceritakan hal yang sama persis dengan telepon kemarinnya.
Begitu pula ibuk. Jujur, ibuk bukanlah wanita sempurna yang “baik” dalam setiap kesempatan. Jika telepon rumah berbunyi, hampir dapat dipastikan 60% adalah telepon dari bu Endah. Teman-temanku yang tidak pernah menelepon ke telepon rumah, membuatku agak malas mengangkat telepon. Biasanya pada jam-jam tertentu, pagi hingga sore, jika ibuk merasa sedang tidak ada “urusan” dengan teman-temannya, berpesan kepadaku, “Ndhuk, lek enek telpon ko bu Endah, angkaten, ngomongo ibuk sare.”
Sebetulnya ibuk tidak sepenuhnya berbohong. Ibuk biasanya memang tidur siang jika capek. Dan ndilalah lagi, selalu ada aktivitas lain untuk dijadikan alasan ibuk sedang enggan menerima telepon dari bu Endah, seperti sedang di kamar mandi, sedang shalat, sedang ke depan belanja sayuran, sedang ke belakang bersih-bersih, sedang ke luar ada arisan, terapi, pertemuan, ke luar kota, dan lain-lain. Cukup dijadikan alasan untuk “menghindari” telepon dari bu Endah. Huft.
Misalnya, jika ada telepon masuk, ibuk pesan, “Ndhuk, lek saka bu Endah, omongo aku jik nek jedhing”, lalu ibuk memang ada perlu ke kamar mandi. Entah mandi atau wudlu atau apalah. Artinya, ketika aku mengangkat telepon, ibuk memang sedang berada di kamar mandi. Dan seterusnya.
Namun, jika suasana hati dan cuaca tidak mendung, ibuk mau-mau saja mengangkat telepon dari bu Endah. Layaknya dua orang teman yang bertegur sapa, walaupun kudengar sayu-sayup ibuk lebih banyak menjawab “iyo”, “ho oh”, “ora”, dan sejenisnya.
“Lha apa sing wis ibuk ngendikakne ben bu Endah gak crita hal sing padha ben dinane? Ibuk gak pareng pegel thok no”, tanyaku suatu ketika.
“Yo aku omong, ‘Mbak, sing wingi-wingi yo wis to, kan saiki awake dewe urip ning dina iki. Sing masa lalu yo wis ben, gak enek gunane neh diungkit-ungkit. Sing penting wis tuwek ngene iki kan ngibadah, mikir suk nek akhirat, ora donya thok to, mbak.'”
“Oh, yawis.” Aku hanya ingin memastikan bahwa ibuk juga berimbang dalam menyikapi hal ini. Aku dan ibuk juga saling mengingatkan, bahwa bagaimanapun, bu Endah kondisinya memang “tidak 100%” lagi. Orang tua normal saja sudah biasa untuk menceritakan masa lalunya berulang-ulang. Menceritakan jaman kejayaannya dahulu sebelum semuanya berbalik 180 derajat dengan keadaan saat ini. Pun ibuk atau nenekku dulu, sering bercerita hal yang sama berulang kali sampai anak-cucunya bosan mendengarkan. Mirip, tapi dalam konteks yang berbeda dengan yang dialami bu Endah.
DIANGGAP TEMAN BAIK
Hingga kemarin pagi, bu Endah telepon ke rumah ketika aku akan mengantarkan ibuk terapi. Seperti biasa, aku yang mengerti kondisi ibuk, langsung mengangkat telepon.
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam. Halo, halo dek Is. Piye kabare? Aku saiki ning Kediri lho. Putuku yo wis lahir kae, anake Regina. Nggantheng, aku yo seneng. Putu panjenengan ning Jakarta kae yo nggantheng to mesti, mangkane sampeyan sering nyang Jakarta. Piye pasane sampeyan, dek? Halo.. dek Is.. halo..”
“Halo bu, ngapunten, menika ibuk taksih tindak terapi. Kula putrinipun.”
Deziiiiiiiinngggg!
“Oh...” Ada nada kecewa setiap kali bu Endah tidak berhasil bertelepon ria dengan ibuk.
“Mbak, ibuk kuwi kancaku sing apik lho mbak. Teman baik. Lha liyane sok ora gelem tak hubungi, koyok wis emoh sambung karo aku. Beda karo dek Ismu. Wis, pokoke dek Ismu kuwi pancen apikan wonge. Isa nrima aku apa eneke.”
Aku menelan ludah. Sebegitu cukup seringnya ibuk mengabaikan telepon dari bu Endah, beliau masih menganggap ibuk adalah teman baiknya. Tidak kudengar nada “menjilat” atau lainnya, karena aku yakin orang yang kondisinya demikian justru lebih mudah mengatakan hal yang jujur.
Mungkin selama aku tidak di Kediri, ibuk lah yang mau tidak mau selalu mengangkat telepon masuk. Dari siapapun itu, termasuk dari bu Endah. Lalu ibuk mendengarkan semua cerita beliau dari A sampai Z. Lalu ibuk dianggap teman baik oleh bu Endah.
Ya, siapa tahu? :)
“Halo bu, mmm... ngapunten, ibuk taksih sare. Kula putrinipun.”
Deziiiiiiiinngggg!
TEMAN LAMA
Namanya bu Endah, anggap saja begitu. Bukan nama sebenarnya. Teman ibuk saat SMA di Kediri. Setelah lama tak bersua, ibuk dan bu Endah bertemu di beberapa kesempatan, karena kebetulan angkatan SMA ibuk cukup rajin mengadakan semacam reuni, baik itu reuni kecil (seangkatan) maupun reuni akbar lintas angkatan.
Ndilalah kok ibuk juga senang-senang saja mengikuti acara reuni seperti itu. Aku sih mendukung saja asal kegiatannya positif. Tapi kalau ketika reuni atau pertemuan rutin mulai ada nyanyi-nyaninya (ada yang menyewa electone –kibor yang biasanya digunakan untuk acara pernikahan) atau nari poco-poco, aku mulai kurang suka. Sudah pada tua sebaiknya banyak ngaji, bukan nyanyi, heuheu. Aku sih setia menjadi sopir ibuk saja selama ini.
Singkat cerita, karena mengalami sebuah peristiwa-yang-aku-lupa-apa, bu Endah mengalami guncangan dalam hidupnya. Kondisi kejiwaannya sedikit terganggu. Tidak fokus dalam berbicara, memori jangka panjang mengalami hambatan, cara bicara menjadi agak sedikit cadel, dan senang mengulang-ulang cerita masa lalu. Suaminya setahuku terkena serangan stroke. Dan hebatnya, bu Endah lah yang selama ini merawat suaminya. Artinya dalam keterbatasan fisik dan psikisnya, ia setia dan rela terus berada di samping suaminya yang terkulai di tempat tidur.
Bu Endah perlu tempat berbagi cerita dan keluh kesah. Wajar. Dan teman-temannya lah yang menjadi “sasaran” tempat menumpahkan ceritanya. Ternyata tak hanya ibuk, tetapi juga teman SMA yang lain mengalami hal serupa. Sering ditelpon oleh beliau, hanya untuk diceritakan kisah yang bergitu-begitu saja dari hari ke hari. Mengenai siapa dia, apa yang dia lakukan selepas SMA, karirnya di kantor dulu yang bagus, hingga akhirnya kembali ke Kediri dan tinggal bersama suaminya yang sakit. Juga anak perempuan terakhirnya yang setahunan lalu baru saja menikah.
BATAS SABAR
Dari cerita teman-teman ibuk, beberapa diantaranya ikut tidak sabar ketika menerima telepon dari bu Endah. Bagaimana bisa sabar jika setiap kali menelepon, yang diceritakan hal yang sama persis dengan telepon kemarinnya.
Begitu pula ibuk. Jujur, ibuk bukanlah wanita sempurna yang “baik” dalam setiap kesempatan. Jika telepon rumah berbunyi, hampir dapat dipastikan 60% adalah telepon dari bu Endah. Teman-temanku yang tidak pernah menelepon ke telepon rumah, membuatku agak malas mengangkat telepon. Biasanya pada jam-jam tertentu, pagi hingga sore, jika ibuk merasa sedang tidak ada “urusan” dengan teman-temannya, berpesan kepadaku, “Ndhuk, lek enek telpon ko bu Endah, angkaten, ngomongo ibuk sare.”
Sebetulnya ibuk tidak sepenuhnya berbohong. Ibuk biasanya memang tidur siang jika capek. Dan ndilalah lagi, selalu ada aktivitas lain untuk dijadikan alasan ibuk sedang enggan menerima telepon dari bu Endah, seperti sedang di kamar mandi, sedang shalat, sedang ke depan belanja sayuran, sedang ke belakang bersih-bersih, sedang ke luar ada arisan, terapi, pertemuan, ke luar kota, dan lain-lain. Cukup dijadikan alasan untuk “menghindari” telepon dari bu Endah. Huft.
Misalnya, jika ada telepon masuk, ibuk pesan, “Ndhuk, lek saka bu Endah, omongo aku jik nek jedhing”, lalu ibuk memang ada perlu ke kamar mandi. Entah mandi atau wudlu atau apalah. Artinya, ketika aku mengangkat telepon, ibuk memang sedang berada di kamar mandi. Dan seterusnya.
Namun, jika suasana hati dan cuaca tidak mendung, ibuk mau-mau saja mengangkat telepon dari bu Endah. Layaknya dua orang teman yang bertegur sapa, walaupun kudengar sayu-sayup ibuk lebih banyak menjawab “iyo”, “ho oh”, “ora”, dan sejenisnya.
“Lha apa sing wis ibuk ngendikakne ben bu Endah gak crita hal sing padha ben dinane? Ibuk gak pareng pegel thok no”, tanyaku suatu ketika.
“Yo aku omong, ‘Mbak, sing wingi-wingi yo wis to, kan saiki awake dewe urip ning dina iki. Sing masa lalu yo wis ben, gak enek gunane neh diungkit-ungkit. Sing penting wis tuwek ngene iki kan ngibadah, mikir suk nek akhirat, ora donya thok to, mbak.'”
“Oh, yawis.” Aku hanya ingin memastikan bahwa ibuk juga berimbang dalam menyikapi hal ini. Aku dan ibuk juga saling mengingatkan, bahwa bagaimanapun, bu Endah kondisinya memang “tidak 100%” lagi. Orang tua normal saja sudah biasa untuk menceritakan masa lalunya berulang-ulang. Menceritakan jaman kejayaannya dahulu sebelum semuanya berbalik 180 derajat dengan keadaan saat ini. Pun ibuk atau nenekku dulu, sering bercerita hal yang sama berulang kali sampai anak-cucunya bosan mendengarkan. Mirip, tapi dalam konteks yang berbeda dengan yang dialami bu Endah.
DIANGGAP TEMAN BAIK
Hingga kemarin pagi, bu Endah telepon ke rumah ketika aku akan mengantarkan ibuk terapi. Seperti biasa, aku yang mengerti kondisi ibuk, langsung mengangkat telepon.
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam. Halo, halo dek Is. Piye kabare? Aku saiki ning Kediri lho. Putuku yo wis lahir kae, anake Regina. Nggantheng, aku yo seneng. Putu panjenengan ning Jakarta kae yo nggantheng to mesti, mangkane sampeyan sering nyang Jakarta. Piye pasane sampeyan, dek? Halo.. dek Is.. halo..”
“Halo bu, ngapunten, menika ibuk taksih tindak terapi. Kula putrinipun.”
Deziiiiiiiinngggg!
“Oh...” Ada nada kecewa setiap kali bu Endah tidak berhasil bertelepon ria dengan ibuk.
“Mbak, ibuk kuwi kancaku sing apik lho mbak. Teman baik. Lha liyane sok ora gelem tak hubungi, koyok wis emoh sambung karo aku. Beda karo dek Ismu. Wis, pokoke dek Ismu kuwi pancen apikan wonge. Isa nrima aku apa eneke.”
Aku menelan ludah. Sebegitu cukup seringnya ibuk mengabaikan telepon dari bu Endah, beliau masih menganggap ibuk adalah teman baiknya. Tidak kudengar nada “menjilat” atau lainnya, karena aku yakin orang yang kondisinya demikian justru lebih mudah mengatakan hal yang jujur.
Mungkin selama aku tidak di Kediri, ibuk lah yang mau tidak mau selalu mengangkat telepon masuk. Dari siapapun itu, termasuk dari bu Endah. Lalu ibuk mendengarkan semua cerita beliau dari A sampai Z. Lalu ibuk dianggap teman baik oleh bu Endah.
Ya, siapa tahu? :)
hmm :)
ReplyDelete"....ohh, menaka bu Endah, injih putranipun mbakyu kula leres pancen ganteng tenan, bu... monggo dipriksani dateng jakarta, kula dherekaken.."
ReplyDeletegitu looo..
hmmm Japran ae gawa rene, mak...
DeleteMuahahaha...
ReplyDeletedan
hari ini aku jadi alasannya 😂
"Ngapunten, ibuk taksih wonten tamu" 😄
we ngapusi to nduk? duso we. karma!
Deleteaku kadang sering mikir, nanti kalo kita tua apa gitu juga ya, suka ngulang-ulang cerita lama meski kita masih 100% atau udah ga 100% lagi. hmm... karena memang hal-hal seperti ini selalu diperhitungkan sebagai kelakuan yang 'menyebalkan' orang lain, sebaiknya kita menahan diri untuk tidak melakukannya kalo kita tua nanti (di atas 60 tahun biasanya mulai kena 'penyakit' seperti ini).
ReplyDeletekesian bu endah ya Pety, sepertinya beliau kesepian. mudah-mudahan ibuk-mu tetep sabar menghadapi temannya yang unik ini :-)
tapi, kita mungkin hanya bisa menahan diri sampai batas umur tertentu aja mbak, ketika kita sadar bahwa perilaku tersebut menyebalkan. setelah itu, pas kita sudah tuwir, kita melakukannya dengan tidak sadar. mungkin :D
Deleteiya mbak, di rumah sama suaminya yang sakit aja beliau. adik2nya pesen ke temen2 bu Endah, jangan diajak kalau ada kumpul2 gitu, soalnya biasanya sampe rumah akan cerita sembarang kalir mengingat masa kejayaannya dulu, trus ngamuk2 mbak. wallahu a'lam.
semoga bu Endah masuk surga nanti. amin...