16 Maret 2010, jam 22.30 WIB, in my room, Surabaya

Assalamu’alaikum teman-temaaaaaaannn
Pety is back! Maap yah baru bisa nulis lagi. Maklum kemaren-kemaren si inem ini masih bantu-bantu majikan, jadi...ehm, kebanyakan deh pengantarnya =)

Here goes.
Brek! Fiuuhh, aku letakkan tubuhku di atas kursi empuk bis jurusan Surabaya-Kediri, tanggal 10 April yang lalu. Syukurlah dapat bis Patas (Cepat Terbatas) kali ini. Kulihat sekeliling, bis belum terlalu penuh. Ini artinya bis masih harus ngetem beberapa menit lagi sebelum akhirnya berangkat.

Siang itu gak terlalu panas. Surabaya akhir-akhir ini sering mendung, so no problemo. Aku membeli minuman dan membaca-baca buku yang dijajakan para penjual keliling. Ada buku masakan, buku anak-anak, buku bahasa Jawa, bahasa Inggris, majalah bekas, dsb. Belum ada yang menarik. Aku mengembalikan semuanya kepada penjual tsb.

Disinilah semuanya bermula.
Seorang lelaki, bapak-bapak, permisi untuk duduk di sebelahku. Yah, di angkutan umum seperti ini, kita gak bisa milih untuk duduk dengan siapa. Aku menggeser tubuhku ke bangku yang dekat jendela, menyilahkan dia duduk di sebelahku. Dia agak kerepotan memasukkan kopernya yang ukuran tanggung ke dalam bangku kami.

Entahlah, kenapa aku rasa pengaturan bangku di bis ini, dan bis pada umumnya, kurang ergonomis. Jarak antar bangku belakang dan depannya tidak terlalu lebar. Untuk ukuran tubuhku yang imut ini (halah, pendek maksudnya), aku masih bisa duduk dengan “enak”. Tapi bagi yang mempunyai postur badan tinggi, apalagi laki-laki, aku yakin 90% kaki mereka akan tertekuk karena lutut mereka mengenai bangku di depannya. Mundur sudah gak bisa, apalagi maju. Itulah TAKDIR mereka. Alhamdulillah =)

Aku lirik sekilas, di pegangan koper bapak itu tadi terdapat tanda yang mengisyaratkan ia baru keluar dari bandara. Benar saja, ia mulai ngajak ngobrol aku.
“Mau kemana mbak?”
“Oh, ke Kediri, Pak. Bapak mau kemana?” tanyaku basa-basi.
“Ke Jombang” jawabnya sambil memegang & melihat-lihat buku Gurita Cikeas & Cikeas Menjawab yang dijajakan pedagang.
“Wah, ini buku yang saya cari. Saya ini sekretarisnya Munas, mbak” lanjutnya sambil membaca resensi yang ada di belakang buku.
Sape nanya elu?” batinku. “Berapaan Pak?”
“Saya tawar 2 buku 40ribu deh” jawabnya.
“Iya, bener Pak. Tawar aja. Dulu saya juga pernah ditawari buku itu di perempatan jalan RS dr.Soetomo, satu buku 50ribu. Kemahalan itu Pak. Emm...tapi sebenernya saya juga gak tau sih harga aslinya di toko berapa” kataku ngawur.

“Ini mas, 2buku 40ribu. Boleh gak?” tawar bapak di sebelahku.
“Wah, gak boleh Pak” kata penjual basa-basi.
Akhirnya terjadilah transaksi itu dengan sukses, 40ribu dapet 2buku kalo aku gak salah inget. Pinter juga nih bapak, pasti sering nawar penjual sayur di pasar, batinku.

“Habis dari bandara Pak?” tanyaku setelah dia memasukkan kedua buku yang baru dibelinya ke dalam tas.
“Iya mbak. Ini saya dari Balikpapan. Ada acara Munas di Malang”
“Oh... Tinggalnya memang di Kalimantan atau di Malang-nya Pak?” tanyaku.
“Kalau asli saya dari Malang, tapi saya sudah lama tinggal di Balikpapan”
“Hoo... berarti semua keluarganya sekarang di Balikpapan ya pak?”
“Emm... kalo anak saya iya. Anak saya ikut saya” jelasnya agak terbata-bata.
Aku mengernyitkan dahi, bingung.
“Yaa... sejak saya & ibunya anak saya pisah, cerai, anak saya ikut saya” jawabnya yang sekarang lebih santai.
Oow oow, ups!

“Oh, begono pak. Maaf. Anak bapak putra atau putri pak?” tanyaku lagi, menutupi rasa bersalahku tadi. Padahal aku pengen secepatnya tidur. Rasanya gak terlalu ngantuk sebenarnya, tapi capek juga kalo ngobrol lama-lama.
“Cewek, sekarang kuliah semester 2 di Balikpapan. Ya di tempat saya ngajar ini”
“Lho, jadi bapak ini dosen?” tanyaku gak ngerti, karena kupikir dari tadi ngomongin tentang Munas-Munas gitu, aku menyimpulkan kalo dia adalah kader partai. Mungkin partai Demokrat (maap nyebut merk), karena dia interest sekali dengan buku-buku tentang Cikeas tadi. Hadeeehhh...
“Iya, saya ngajar di Sekolah Tinggi tiiiit... (*sensor*) di Balikpapan” jawabnya.
“Hoo...”

“Saya dulu tuh mbak, juga masukin adik-adik saya buat jadi pegawai di perusahaan rekanan kampus kami. Mereka sekarang sudah jadi PNS semua. Lha adik saya itu ada yang cowok, sukanya maen band, rambutnya gondrong! Apa yang bisa diharapkan masa depannya dari maen band?!?! Apa mbak?!?!” katanya berapi-api.
Fiuh... aku rasa kalo Bung Karno liat bapak ini ngomong, juga terkagum-kagum akan semangatnya yang menyala-nyala saat cerita.
Mungkin batin Bung Karno, sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya, geleng-geleng kepala, “Ckck subhanallah Pak! Nyebut Pak, nyebut! Ini kan bis Patas, suasananya anteng, kagak ada yang ngomong kenceng-kenceng kayak bapak! Saya aja yang dijuluki sebagai ‘Penyambung Lidah Rakyat’ ngomongnya kagak sebegitunya tuh!”

“Lha memangnya kalo maen band terus, mau sampai kapan? Nanti kalo sudah nikah, anak istrinya dikasih makan apa? Musik itu boleh dijadikan hobi, mbak, tapi bukan sebagai mata pencaharian tetap, untuk jangka panjang. Musik itu gak selalu laku, mbak. Mungkin suatu saat musiknya diminati, tapi saat yang lain, mungkin gak lagi. Wong bikin album aja udah ngeluarin duit banyak. Belum lagi kalo promo-promo gitu!” ceritanya panjang lebar kepadaku, saat mataku tinggal 3 watt.
“Hmm...” gumamku, masih mencoba menghargai ucapannya yang notabene dia jauh lebih tua dariku.
“Sekarang mereka sudah enak mbak, sudah 8 juta-an gajinya per bulan” lanjutnya tanpa memperhatikan betapa ingin tidurnya aku.

Setelah melanjutkan ceritanya beberapa kalimat lagi, dia tanya,
“Kalo mbak suaminya dimana?” tanyanya lugu.
“Hah?!? Suami Pak? Waahh... saya kan belum nikah, Pak!” kataku sambil sedikit memundurkan punggung tanda kaget, kayak di sinetron-sinetron itu.
“Oh, maaf, saya kira...”
Sampai pada detik itu, aku berdoa agar dia tidak berniat menjadikanku istri keduanya, apalagi usia kami terpaut cukup jauh, kira-kira 25tahun-an. Fiuh...

Kenapa tiba-tiba dia tanya seperti itu? Apakah wajahku sudah terlihat tua ya? Ah, aku rasa nggak juga, GR-ku.
Mataku terbentur pada jari kiriku. Ah, ini dia pasti penyebabnya. Aku baru ingat kalo aku lagi pake cincin di jari tengahku, mirip cincin kawin kayaknya. Bulat, gak banyak hiasannya. Hmm... kalo begini caranya, si cincin bisa menurunkan pasaranku neh. Apa aku harus melepas cincin ini ya? Tapi nggak ah, sayang, ini kan dari emakku.
Toh kalo orang pengen tau apa aku udah nikah ato belum, tinggal tanya aja, “kamu udah nikah?”, trus akan kujawab, “belum”. Beres kan? Hehe.

Aku & bapak itu terdiam beberapa saat.
Nah, itu waktu yang tepat buat aku pura-pura tidur ah, pikirku. Aku memalingkan & memiringkan sedikit badanku ke arah jendela. Walau leher rasanya gak nyaman dalam posisi seperti itu, aku tetap pura-pura merem. Padahal pikiranku masih berkeliaran kemana-mana.
Aku masih teringat akan akad nikah temanku yang aku hadiri tadi pagi, dimana dia sampai nangis sesenggukan saat mencium tangan suaminya, lalu aku teringat temanku yang sudah menjamu aku di rumahnya sebelum aku ke akad nikah temenku itu. Aku membayangkan ibuku sudah masak apa di rumah, membayangkan gimana suasana kediri saat ini, dsb.

Karena posisiku gak enak, terpaksa aku harus gerak-gerak untuk meregangkan badanku yg jadinya agak pegel. Merasa aku masih belum tidur, bapak itu menyenggol lengan kiriku, “Mbak mbak, ini lo foto anak perempuan saya!”
Aku noleh ke kiri, buset dah, dia ternyata sudah membuka laptopnya, menunjukkan foto anaknya bersama keponakan-keponakannya yang lain. Entah foto itu sudah terpasang di desktop, atau dia repot-repot membuka file-file fotonya demi menunjukkannya kepadaku. Aku gak terlalu jelas.
Aku hanya melongok & mendekat sedikit ke arah laptopnya & bilang, “oh... cantik ya pak putrinya!”
Fiuh... aku gak tau apakah setelah itu dia masih mengerjakan sesuatu, ngenet pake modem, atau cuma mau nunjukin foto itu doank & menutup kembali laptopnya. Yang jelas setelah itu aku benar-benar tertidur.