DISCLAIMER: Harap tidak menjadikan tulisan ini sebagai bahan rujukan dalam menyusun karya ilmiah, baik oleh siswa maupun mahasiswa segala jurusan. Juga tidak untuk mendiagnosis sebuah penyakit. Penulis tidak memiliki latar belakang sama sekali di bidang kedokteran dan hanya menyarikan dari berbagai sumber untuk kepentingan pribadi. Data yang disajikan mungkin tidak valid karena keterbatasan sumber bacaan.

***

Rabu pagi ibuk akhirnya melakukan audiometri atau tes pendengaran di RS Gambiran.

Semoga aku tidak menjadi anak durhaka seperti di sinetron yang justru bersyukur saat ibunya sakit.

Bersyukur tidak sama dengan bahagia. Tapi jika rasa syukur menghasilkan kebahagiaan, mengapa tidak? Dan ya, aku bersyukur kemarin-kemarin dan hari ini ibuk masih dalam kondisi kurang sehat.

Bersyukur atas waktu yang sangat amat tepat
Ibuk mulai jatuh sakit tepat seminggu setelah kampusku libur. Setelah anak-anak selesai UAS, yang mana aku lebih senang melaksanakan UAS pada minggu pertama daripada ke dua. Tanggal 13 Juni 2016 ibuk mulai merasakan telinganya berdenging, dan seterusnya yang sudah pernah aku ceritakan di postingan sebelum ini.

It’s been a loooooong day!

Nduk, aku ra kuat. Aku tak nyang rumah sakit ae ya”, lirih ibuk berkata dari pembaringan.
Aku yang tadinya bersantai di kamar, langsung mendekat ke tempat tidur. Aku berharap aku salah dengar.
Nduk, ayo nyang rumah sakit ae”, ulang ibuk.
Aku agak gelagapan. Aku tidak siap dengan pernyataan semacam itu.

Ibuk adalah salah satu manusia yang paling anti rumah sakit. Melihat pemandangan orang-orang sakit, para penunggu yang kleleran di lorong-lorong, bau obat bercampur bau keringat ratusan orang di satu tempat, sampai masuk ke ruang rawat inap saja sudah membuat ibuk enggan untuk dekat-dekat dengan rumah sakit.

H-1 sebelum puasa, aku dan teman-teman dikagetkan oleh berita meninggalnya ayahanda teman kami, Hida. Kenapa kaget? Karena sehari atau dua hari sebelumnya Hida memposting di Facebook foto perayaan sederhana ulang tahun ayahnya. Ayahnya tampak bahagia (tentu saja) memegang piring kecil berisi kue ulang tahun.

Sampai sekarang pun, aku masih belum bisa membayangkan bagaimana perasaan Hida sekeluarga ditinggal ayahanda yang bergitu mendadak. Bisa jadi tanpa tanda-tanda atau isyarat yang terbaca jelas sebelum kepergian beliau.