Catatan 11 Ramadhan 1437H: MENYAMBANGI IGD

, , No Comments
It’s been a loooooong day!

Nduk, aku ra kuat. Aku tak nyang rumah sakit ae ya”, lirih ibuk berkata dari pembaringan.
Aku yang tadinya bersantai di kamar, langsung mendekat ke tempat tidur. Aku berharap aku salah dengar.
Nduk, ayo nyang rumah sakit ae”, ulang ibuk.
Aku agak gelagapan. Aku tidak siap dengan pernyataan semacam itu.

Ibuk adalah salah satu manusia yang paling anti rumah sakit. Melihat pemandangan orang-orang sakit, para penunggu yang kleleran di lorong-lorong, bau obat bercampur bau keringat ratusan orang di satu tempat, sampai masuk ke ruang rawat inap saja sudah membuat ibuk enggan untuk dekat-dekat dengan rumah sakit.


Ibuk sebagai pensiunan PNS yang kesehatannya dijamin oleh pemerintah hingga akhir hayat dengan menggunakan ASKES (untuk pensiunan, Askes masih berlaku meski sekarang sudah berganti menjadi BPJS namanya), seingatku hanya menggunakan dua kali fasilitas Askes hingga sekarang. Selama 34 tahun bekerja dan 8 tahun pensiun, alhamdulillah tidak ada sakit serius yang mengharuskan ibuk diopname di rumah sakit, dan tentu akhirnya kartu Askes yang setia menemani di dompet tidak pernah digunakan.

Penggunaan dua kali tersebut, pertama, ketika di bola mata ibuk tiba-tiba ada benjolan kecil berwarna merah, seperti syaraf yang berdarah di dalam, ibu menggunakan Askes untuk berobat ke RS Aura Syifa Kediri. Setelah 1-2 kali kontrol, alhamdulillah sembuh total dan sampai sekarang tidak pernah ada keluhan lagi di matanya.

Ke dua, ketika lengan ibuk sakit dan berobat ke dr. Hakim, spesialis fisioterapi di Kediri. Awalnya berobat ke tempat praktiknya, lalu karena harus kontrol berkali-kali dan akan mengeluarkan biaya yang besar jika harus ke tempat praktik pribadi, maka disarankan untuk kontrol ke RS Gambiran tempat dr. Hakim praktik. Sudah sempat susah payah mengurus surat rujukan dari faskes (fasilitas kesehatan) tingkat I, yaitu Puskesmas Kediri Utara, tapi akhirnya tidak jadi kontrol karena sudah sembuh berkat diterapi di tempat lain.

Makanya, adalah hal yang sangat mengejutkan bila tiba-tiba ibuk sendiri yang berpikiran untuk ingin ke rumah sakit. Tentu berharap mendapat perawatan yang lebih intensif dan mendapat penjelasan yang memuaskan tentang sakitnya.

Jadi, sakit apa yang menyebabkan ibuk sampai lemah dan minta dibawa ke rumah sakit? Begini...

Ibuk punya sakit maag (lambung) sejak lama, walaupun tidak sampai akut. Beberapa hari awal ibuk kuat puasa, tetapi beberapa hari terakhir ini sudah tidak kuat lagi. Aku pribadi tidak bisa membayangkan bagaimana sakit melilit melintirnya perut ketika orang menderita sakit maag. Katanya sih rasanya seperti dikruwes-kruwes nggak karuan.

Senin pagi setelah dari pasar, telinga ibuk berdenging berkepanjangan, yang awalnya dikira mobilku yang mesinnya bermasalah. Setelah mobil berhenti, telinga tetap berdenging. Wah, berarti yang bermasalah telinganya. Dipakai aktifitas sejam an, tiba-tiba malah telinga ibuk tidak bisa mendengar sama sekali. Kalau telinga kanan memang sejak 50 tahun lalu sudah berkurang drastis pendengarannya karena terhantam sapu (ketika tukaran dengan kakaknya zaman SMP). Nah, ini telinga kiri yang berdenging tadi, akhirnya juga tidak bisa mendengar total.

Karena esok lusa kami berencana pergi ke Jakarta selama 4 hari, maka ibuk berpikir telinganya harus segera disembuhkan. Aku telepon Riris untuk menanyakan dokter THT yang menangani ibunya kapan hari, praktik di mana dan namanya siapa. Riris yang pelupa malah menunjukkan dokter lain, yang katanya juga bagus dan terkenal. Aku juga menanyakan ke teman lain karena aku dan ibu relatif buta soal dunia perdokteran begini ini. Karena ya itu tadi, kami sangat amat jarang pergi ke dokter.

Tempat praktik dr. Johnny Harjanto, Sp. THT-KL (Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala dan Leher) benar-benar penuh. Masak ya, aku datang untuk daftar siang hari dengan harapan sore sudah bisa diperiksa, eh lhadalah ternyata baru dapat antrian keesokan harinya jam 10 malam. Gilak! Bener-bener gilak! Itu dokter kapan makan, minum, tidur, sama ke mall-nya yak? Itu kepala nggak pusing ngadepin pasien mulai pagi sampe jam 10 malem? Ternyata dokter yang ngehits dan katanya ganteng itu juga membawa resiko tersendiri bagi pasiennya. Antrinya panjang bingits!

Aku dan ibuk akhirnya muter-muter cari dokter terserah siapa aja yang nemu papan namanya di pinggir jalan. Tetiba ibuk ingat ada namanya dr. Syamsul, juga spesialis THT-KL di Jl. PK. Bangsa Kediri. Kami kesana, dan akhirnya dapat antrian ke-5 jam 8 malam hari itu juga. Lumayan lah.

***

dr. Syamsul aku ceritain soal riwayat ibuk yang berawal dari sakit maag, vertigo (kayak dunia berputar ketika mata melek sehingga mau nggeblak), telinga berdenging hingga tidak dengar sama sekali. Akhirnya telinga ibuk diperiksa.

Tidak ada kotoran sama sekali, bersih. Gendang telinga tidak ada kerusakan, tidak lubang, tidak robek, tetap utuh. Berarti something happened in the deeper part of ears! Dr. Syamsul sendiri tidak bisa memastikan itu apa sakitnya, hanya menjelaskan lewat gambar, bahwa ada organ seperti rumah siput di belakang gendang telinga dan organ apaaa lagi aku lupa namanya. Kemungkinan yang terserang adalah syarafnya, bukan organ itu sendiri karena secara kasat mata tidak ada kerusakan.

Menurut beliau, penurunan pendengaran bisa dipicu setidaknya oleh empat hal: hipertensi, vertigo, diabetes, dan radiasi ataupun penggunaan telepon selular dalam jangka waktu lama. Cocok! Ibuk punya hipertensi, sedang mengalami vertigo, dan semenjak telinga kanannya dirasa tidak berfungsi 50 tahun lalu, yang aktif menjadi telinga kiri saja. Digunakan untuk mendengarkan, menelepon (kadang kalau om menelepon dan curhat bisa 1-3 jam), dan bisa jadi semacam... overload! Kelebihan beban.

Dan ketika telinga kiri mati total, seolah-olah telinga kanan menjadi sedikit berfungsi dan bisa mendengar. Jadi sebetulnya telinga kanan yang tidak dipakai 50 tahun itu tidaklah benar-benar soak, tapi ambang dengarnya sangat rendah. Aku harus mendekat ke telinga ibuk, membisiki apa yang diomongkan orang-orang di sekitar, menceritakan ulang apa yang dikatakan dokter, dan aku sebagai satu-satunya yang mendapat informasi pertama dari dokter.

Aku mengintip, dokter menulis diagnosis di rekam medik ibuk dengan tulisan ceker ayam: “TELINGA KIRI TULI BERAT”, yang tentunya bagian itu tidak aku ceritakan ke ibuk. Aku juga berfungsi sebagai filter mana yang sanggup ibuk dengar dan mana yang tidak. Jika sekiranya aku sendiri merinding mendengarnya, maka tentu ibuk lebih merinding lagi bila mengetahuinya secara langsung. Hatinya ibuk “kecil”, gampang down kalau berhubungan dengan penyakit.

Aku heran karena di resepnya tidak diberi obat tetes telinga, tapi semuanya berupa kapsul racikan dan pil. Jumlahnya ada 3 macam. Dan bodohnya aku, kok ya lupa menanyakan ke dokter, itu obat untuk apa saja.
***

Dua hari setelah mengonsumsi obat, rasa mual, vertigo, dan kondisi pendengaran belum membaik. Tetap tengah malam atau sebelum subuh terbangun dalam kondisi dunia berputar kalau melek, ingin muntah tapi tidak bisa dikeluarkan, bersendawa terus-menerus, dan telinga belum bisa dengar.

Hingga tibalah adegan ibuk minta dibawa ke rumah sakit tadi pagi.

Kepalaku berpikir cepat, siapa yang harus kuhubungi pertama kali kalau dalam kondisi seperti ini. Karena ya itu tadi, aku buta masalah dunia kesehatan dan segala alurnya. Karena omku semalam barusan menjenguk dan pagi tadi membawakan bubur ayam kesukaan ibuk, maka yang terpikir pertama adalah menelepon om. Om sudah di kantor. Aku tanya baiknya bagaimana, ke RS mana, dan apakah harus punya surat rujukan dari dokter keluarga/ faskes tingkat 1/ bisa langsung ke RS.

Ke dua, aku telepon mbak. Jam 8 pagi kurang sedikit, aku tahu dia pasti sudah di kampus. Dia pasti tahu kalau aku telepon, berarti ada sesuatu yang penting. Mbak bilang, ke dokter umum dulu sembarang, kalau dokter bilang harus opname, ya dituruti saja.

Ibuk meminta untuk kali ke dua dan bilang langsung ke RS saja tanpa ke dokter karena sudah tidak tahan dengan rasa badan yang nggak karuan, aku langsung mengiyakan. Aku bilang mau mandi dulu. Ibuk oke. Bukan bermaksud tidak menyegerakan membawa ibuk ke RS, tapi dengan kondisi yang kuprediksikan ibuk masih mampu bertahan beberapa menit, aku masih bisa melakukan banyak hal sekaligus.

Koper yang selalu siap dan biasa kupakai pergi, langsung kusambar. Kubuka, aku ambil beberapa baju bersih berkancing depan untuk ganti ibuk, celana panjang, handuk, sapu tangan, just in case ibuk langsung diminta opname. Sambil terus berpikir siapa yang bisa menemani kami ke RS. Aku nyetir, butuh orang untuk menuntun dan menemani. Aku telepon bulik, nggak nyambung.

Aku mandi, sambil mengambil beberapa alat mandi seperti sabun badan, sabun muka, sikat gigi, odol, sampai deodoran, sisir, bedak, dan peniti jilbab di laci lemari baju. Berguna banget deh selalu meletakkan kembali barang ke tempatnya semula. Akan memudahkan kita mengambilnya dengan lengkap manakala dibutuhkan. Lalu aku mengambil handuk, pakaian dalam, serta satu potong baju gantiku sendiri. Entahlah kenapa aku membawa begitu banyak barang di koper. Aku sebenarnya juga tidak mungkin nyaman mandi dan bersih-bersih badan di RS, tapi ya siapa tahu dibutuhkan.

Yeah mungkin berlebihan. Tapi itu tadi aku melakukan “prosedur standar operasional” packing ketika akan bertugas ke luar kota/ pulau. Bedanya, biasanya aku packing sehari sebelumnya, tapi pagi tadi packing 5 menit!
***
Beruntung Tuhan mengatur semua rencanaNya dengan begitu indah. Begitu keluar rumah berdua dengan ibuk, ada teman ibuk yang memang akan ke rumah. Akhirnya beliau ikut mengantarkan kami ke RS. Dan bulikku yang tadi sulit ditelepon, akhirnya menyusul ke RS.

Singkat cerita, ibuk diobservasi total kurang lebih selama empat jam, mulai jam 09.00 – 13.00. sebetulnya pemeriksaannya tidak lama sih, cuma proses wira-wiri dan antrinya yang makan waktu. Maklum, RSUD yang harus birokratis gitu deh. Antara birokratis atau kurang tanggap terhadap perubahan zaman yang serba cepat. Halah, nggak usah bahas itunya.

Urutan pemeriksaan ibuk di IGD adalah:
  1. Ditanya-tanya data diri dan riwayat penyakit.
  2. Dicek tensi darah. Awal 180/120, yang disebut dr. Febri sebagai urgency hypertension . Hrrrr... dengar istilahnya saja sudah bikin merinding disko. Untung ibuk pendengarannya berkurang. Kalau dengar, biasanya tambah khawatir sendiri.
  3. Diberi obat penurun tensi darah. Didiamkan 15 menit, lalu dicek lagi. Sudah turun menjadi 150/100 an. Alhamdulillah, berarti obatnya bekerja dan cocok.
  4. Direkam jantung. Nah ini bikin deg-deg ser juga. Just to know, 8 bersaudara ibuku punya riwayat hipertensi semua. Dengan efek yang berbeda-beda di kesehatan masing-masing orang. Dan efek dari punya tekanan darah tinggi ya mengerikan, semacam ancaman stroke, sakit jantung, dan bisa merambat ke organ mata, telinga, ginjal, dan jeroan semuanya lah. Alhamdulillah hasilnya jantung normal.
  5. Disuntik di dekat pergelangan tangan... lupa untuk keluhan yang mana.
  6. Sarapan bubur ayam yang dibelikan om. Makan dengan lahap. Ciri sakit maag nya ibuku, gampang lapar dan gampang kenyang. Kalau lapar/ telat makan rasanya sampai perut melilit, tapi kalau sudah makan sedikit, rasanya perut penuh dan mual-mual.
  7. Dicek tensi lagi, sudah turun lagi menjadi 140/90 sesuai target.
  8. Dokter menjelaskan bahwa observasi sudah selesai, disarankan rawat jalan saja, karena ibuk masih mau makan, minum, dan ke kamar mandi, meskipun dengan kursi roda. Opname dan infus adalah untuk pasien yang sudah lemes nggak bisa ngapa-ngapain. Nggak bisa makan, minum, dan tak tahu harus berbuat apa. Halah.
  9. Aku ke gedung sebelah untuk membuat kartu pasien rawat jalan baru. Antrinya bisa sampe dibuat ngobrol A-Z sama orang sebelah. Ngasih kartu ke kantor IGD untuk dituliskan resep. Fotokopi kartu Askes ke fotokopian sebelah RS. Ke apotek IGD, antri lagi. Serahkan lagi obat dari apotek ke kantor untuk... entah diapain. Baru boleh pulang.
  10. Pulang dengan hati lega.

Demikianlah. Alhamdulillah ibuku tidak jadi opname di RS Gambiran. Sekedar menyambangi IGD nya saja. Kami mendapat cukup banyak informasi tentang kesehatan ibuk, khususnya tentang status jantung dan tekanan darah (ibuk punya tensimeter otomatis tapi enggan memakainya lagi karena ketakutan lihat angka kalau tensinya tinggi).

Perawatnya baik dan akomodatif, walau keliatan masih perawat magang/ baru, yang kadang agak kikuk dan kesulitan menjelaskan. Oya, ternyata dokternya juga magang di sana. Mau kepo “Kok magang dok? Aslinya mana? Dulu sekolahnya dimana? Kenal temen saya nggak?” tapi kok rasanya menghabiskan waktu si dokter. Urung.

Akhir kata, mohon doanya ya teman-teman. Semoga sakit maag, vertigo, dan pendengaran ibuku bisa membaik dari hari ke hari. Biar semua senang, semua bahagia. Haha. Apalagi ibuk ada rencana ke Tangsel selama sebulan paska lebaran untuk menemani mbak dan Zafran yang mau ditinggal bapake sementara. Arigato!

Nb: Catatan ini ditulis dalam kondisi ngantuk berat.

0 komentar:

Post a Comment