Assalamu'alaikum
Posting ini merupakan lanjutan dari posting sebelumnya yang berjudul Ungkapan Sederhana buat Ibuku.

**
Beberapa lama setelah bapakku meninggal
Sekitar sepuluh tahun yang lalu
Dua orang lelaki berkunjung ke rumah kami, malam hari
Aku tahu mereka, mereka berdua adalah teman-teman kantor ibuku
Mereka baik, kadang membelikan aku dan mbakku makanan
Atau buah tangan lainnya :)

Mereka sudah beberapa kali main ke rumah kami
Aku sih oke-oke saja
Mereka baik, tak pernah bicara yang tidak sopan, tak pernah kurang ajar kepada ibuku, mbakku, maupun aku, yang notabene perempuan semua di rumah itu
Belakangan aku tahu bahwa salah satu dari mereka adalah “mantan teman dekat” ibuku
Jauh sebelum ibuku menikah dengan bapakku

Assalamu'alaikum

Orang bilang bahwa "Hati-hati dengan keINGINan Anda, karena itu bisa saja mewujud menjadi nyata!"
Dengan kata lain "Hati-hati dengan PIKIRAN dan PERASAAN Anda, karena itu akan mengirim sinyal ke alam semesta, untuk dikembalikan lagi kepada Anda berupa terkabulnya apapun yang sedang Anda pikirkan dan rasakan saat itu."

Well, kuliah di Kedokteran Psikologi merupakan salah satu keinginan kedua ku sejak SMA.
Aku mempunyai pengharapan yang besar dalam menjalani hari-hariku disana, berharap menjadi manusia yang lebih baik, lebih bisa memahami orang lain, dan lebih banyak bisa beraktifitas yang berguna bagi orang lain.

Foto Ospek Maba angkatan 2005 (Psycho Camp di Penampehan, Tulungagung)
Fakultas Psikologi Unair Surabaya


Bagiku, mencintai dan dicintai sama-sama menyenangkannya. Seperti delapan tahun yang lalu, pas aku kelas 1 SMA. Ada cowok sekelasku yang “dengan Ge-eR nya aku bilang” bahwa dia suka sama aku. How come? Soalnya tiap aku memandang ke arah dia, dia selalu mempraktikkan yang namanya “kiss-bye” yang kayak orang tua sekarang banyak ajarkan ke bayi-bayinya yang masih polos saat mereka akan pamitan. Bukannya diajari salam dan cium tangan, malah diajari kiss-bye doank. *Sigh*


Assalamu’alaikum

Post kali ini terinspirasi dari salah satu cerita Raditya Dika dalam buku kelimanya, Marmut Merah Jambu.

CINTA itu abstrak, tak berbentuk, tak berwujud, tapi dia nyata. Tiap orang (yang normal) pasti pernah ngerasain yang namanya jatuh cinta. Orang sebenernya gak pernah ada yang bisa mendefinisikan cinta secara tepat, sebuah kamus sekalipun. Ada yang bilang cinta itu pengorbanan. Iya, kalo itu lagi pas Idul Adha. Cinta mungkin sebuah rasa sayang. Itu sinonim atau padanan katanya aja. Atau mungkin cinta itu buta. Iya kalo yang lagi jatuh cinta bernama Si Buta dari Gua Hantu.


Assalamu'alaikum

You know what, ini lagi nulis blog di Narita loh, di Jl. Barata Jaya Surabaya itu. Well, ni lagi ngurus pembayaran hotel para peserta yang nginep disini dalam rangka acara Konferensi APIO IV (Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi) yang tahun ini diadakan di Surabaya. Panitianya adalah temen-temen MaPro di Unair, dibantu juga sama beberapa temen-temen laen yang kayaknya emang hobi banget "ngerjain kegiatan". Kayaknya muka-mukanya tuh seneng banget, ikhlas, gak ada beban, padahal gak dibayar loh, hehe. Salut dah.
Assalamu'alaikum

Aku tergelitik setelah membaca status salah satu temanku di facebook,
Aku lupa itu facebook milik siapa, tapi intinya dia bilang:
“Pernah bayangin gak sih kalo sebenarnya jangan-jangan SEMUA HUBUNGAN di dunia ini hanya didasari pada KEPENTINGAN semata???”

Yah, kepentingan.
Siapa sih yang gak punya kepentingan di dunia ini?
Awalnya aku merasa janggal membaca status ini,
Aku protes dalam hati tanda tidak setuju.
Masak sih semuanya hanya karena ada kepentingan di dalamnya?
PEMIMPIN NEGARA diangkat karena ada kepentingan untuk mengatur rakyatnya,
DIREKTUR dipilih karena ada kepentingan untuk menjalankan perusahaan,
PENGUSAHA berjuang untuk sukses karena ada kepentingan untuk mendapatkan uang,
And so on, and so on


Assalamu’alaikum...

Kalian pasti tau yang namanya poliklinik. Ya, di poliklinik biasanya ada poli gigi, poli anak, poli umum, poli jantung, poli kandungan, dan sebagainya. Nah, kenapa kita ngomongin hal ini? Karena kita akan membahas tentang poligami *maksa meski gak nyambung*. Hehe. Ini juga sebagai janjiku untuk menulis sedikit tentang poligami, terkait dengan resensi buku Tere-Liye pada postingan sebelumnya disini.

Well, poligami itu fenomena menarik, menurutku. Dimana seorang laki-laki berhak menikahi lebih dari satu istri, dan maksimal empat istri dalam satu waktu. Kira-kira begitu menurut keyakinanku.


Assalamu'alaikum...

Fenomena memakan LIDI tampaknya makin marak akhir-akhir ini.
Hmm... entahlah, tapi teman-temanku juga ikut meramaikannya.
Yah... manusia kan kurang lebih termasuk omnivora, jadi apapun bisa dimakan (asal halal) :)

Tapi tunggu dulu, mereka bukan memakan lidi seperti ini:
lidi asli






















Tapi mereka (dan aku) makan jajanan lidi (alias biting - bahasa Jawanya) seperti ini:
lidi alias biting yang kami makan


















Wah, aku gak menyangka bahwa di Surabaya ada juga yang jual lidi ini.
Aku kira hanya di Kediri yang notabene kota besar agak besar dan beberapa daerah saja yang menjualnya.
Ah, aku lupa tahun berapa aku mulai mengenal lidi ini, mungkin pas SD atau SMP.
Dan aku kaget setelah mendapati bahwa di kantin kampusku juga menjualnya, dan agak heran, kadang juga benar-benar heran kenapa teman-temanku yang sudah "besar" masih suka lidi ini. Hoho...

Lidi ini harganya Rp 1.000,- kalo gak salah per bungkusnya (karena aku gak pernah beli sendiri),
Ada yang rasanya asin dan pedas.
Pedas tentu saja a big no-no buat lidahku,
apalagi bumbu 'merah'nya seperti chilli powder alias bubuk cabe di mie instan yang bisa bikin tersedak kalo makannya gak hati-hati dan gak dihayati, halaaahhh...
Lagipula pedas membuatku malah sibuk mencari minum alih-alih menikmati lidinya :-/

Yang rasa asin, nah ini yang aku suka.
Awalnya ngincip punya temen 1 atau 2 batang lidi, akhirnya ngerasa enak ternyata.
Asinnya asin banget, garamnya masih banyak yang berbutir alias belum halus semua.
Good job! I like it! :)

Tapi, lidi ini jauh lebih keras dan lebih tipis dibandingkan dengan mie instan, juga lurus, gak keriting.
Mungkin ada campuran bahan lain sehingga bisa seperti itu.

Oya, kembali ke temen-temenku yang suka lidi ini, kemungkinan kenapa mereka memutuskan untuk beli ada beberapa poin (analisa ala chef Fatma Quinn):
  1. mereka suka rasanya tapi gak tau kalo kebanyakan bisa berbahaya buat tubuh (karena aku yakin pasti mengandung bahan-bahan pewarna, pengawet, penguat rasa, dan MSG)
  2. mereka suka rasanya dan tau bahayanya buat tubuh tapi cuek aja karena memang pengen
  3. mereka gak suka rasanya tapi ikut-ikutan beli karena temen-temen laen pada beli juga,
  4. pengen coba-coba aja, kalo beneran enak, baru repeat order :)
  5. biar keren aja ngunyah lidi sambil dengerin dosen njelasin pelajaran di kelas (nah lo!) :p
Kalau aku pribadi sih suka,
tapi entahlah setiap beli makanan seperti itu (chiki dsb) yang notabene kurang menyehatkan (ceileee), aku pasti merasa berdosa karena sudah mengeluarkan uang untuk beli makanan tsb.
Mungkin karena dari kecil ibuku melarang aku dan mbakku beli semacam chiki tsb, akhirnya aku tidak terbiasa membelinya (sampai sekarang), kecuali kalo untuk jajan pas lagi pergi buat teman di perjalanan (lhah, sama aja donk!)
Enggak sih, cuman perjalanan kayak gitu kan gak sering-sering amat, jadi terhitung jarang banget aku beli chiki.
Kalo dikasih??? Ya diterima dengan lapang dada.
Muahahaha...
Termasuk lidi ini, temen-temenku udah heboh beli, aku sih santai aja,
paling cuma nyobain 1 atau 2 batang, atau 3, 4, 5, 6, ... 100 batang punya mereka.
Wakssss!

nb: Gak semua yang lo baca itu bener.
Gak semua yang lo denger itu bener.
Tapi blog ini dibuat sejujur mungkin biar keliatan bener-bener bener =)

Wassalamu'alaikum...
Assalamu’alaikum.
Kalau ada yang bertanya, novel apa yang bisa membuatku menangis tersedu-sedu, itu salah satunya adalah novel karya Tere-Liye, “Bidadari-bidadari Surga” judulnya. Special thank’s to Dik Ria yang telah memberikan kado yang sangat indah itu, juga Afina, rekan kerjanya, sahabat baikku :) Saking semangatnya, aku membaca novel ini hanya kurang dari 24 jam, hehehe… Serius!

Sampul depan
Sampul belakang
Judul              : Bidadari-bidadari Surga
Pengarang      : Tere-Liye
Penerbit         : Republika
Tahun terbit   : 2008 (cetakan I), 2010 (cetakan VI)
Tebal buku    : vi + 368 halaman
Ukuran buku : 20,5 x 13,5 cm

Ide ceritanya aku rasa sederhana saja, tentang pengorbanan seorang kakak (Laisa) demi kesuksesan keempat adik tirinya (Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta). Juga cinta, semangat, kerja keras, dan doa kepada Tuhan. Namun, Tere-Liye mengemasnya dengan begitu cantik, apik, menyentuh, dan sangat manusiawi. Deskripsinya tentang keindahan alam Lembah Lahambay yang dikelilingi batu cadas setinggi lima meter, Gunung Kendeng, sungai, hutan rimba, dan kebun strawberry nyaris sempurna. Pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri panorama-panorama tersebut di depan matanya, persis menonton sebuah film dengan alur maju-mundur yang begitu rapat.

Dalam novel ini kita bisa belajar banyak hal, selain yang aku sebutkan di atas. Salah satunya adalah tentang takdir Tuhan, yaitu bahwa HIDUP, JODOH, REZEKI, dan MATI adalah sepenuhnya milik Allah. Manusia hanya bisa berikhtiar dan berdoa, tapi keputusan akhir tetaplah di tangan Allah.

Kak Laisa, seorang teladan dalam keluarga yang sudah terbiasa bekerja keras setelah babak (ayah) nya meninggal karena dimakan harimau Gunung Kendeng. Kak Lais, begitu ia dipanggil, memiliki keterbatasan fisik. Tubuhnya pendek (ketika dewasa hanya setinggi dada adik-adiknya), hitam, rambut kumal, dan gemuk serta dempal. Berbeda sekali dengan keempat adiknya yang tampan-tampan dan cantik. Ia mungkin tidak memiliki kecantikan fisik yang didambakan oleh setiap lelaki, tetapi ia memiliki kecantikan hati yang luar biasa yang mungkin sebetulnya lebih dibutuhkan oleh semua lelaki.

Bagaimana tidak, Kak Lais dengan ikhlas meminta kepada mamak (ibu) nya untuk berhenti sekolah saja saat kelas 4 SD, demi melihat keempat adik tirinya bisa sekolah, karena ia tahu saat itu mamaknya tidak punya cukup uang untuk menyekolahkan kelima anaknya sekaligus. Dengan ketekunan kerjanya bersama mamak, akhirnya Lais berhasil memiliki ribuan hektar kebun strawberry yang sebelumnya sama sekali belum pernah ditanam oleh penduduk Lembah Lahambay. Dari kampong terpencil di pinggir hutan, Dalimunte akhirnya berhasil menjadi profesor di bidang fisika yang terkenal di seluruh dunia, dengan penelitian terbarunya tentang “Badai Elektromagnetik Antar Galaksi” yang akan menghantam planet ini sebelum kiamat. Ikanuri dan Wibisana meskipun beda jarak usianya satu tahun tetapi sering dianggap kembar, berhasil mendirikan bengkel mobil modifikasi dan akan membangun pabrik spare-part mobil sport, dan Yashinta si bungsu yang mendapat beasiswa S2 ke Belanda dan menjadi peneliti untuk konservasi ekologi, meneliti tentang burung Peregrin atau Alap-alap Kawah dan sejenisnya, serta menjadi kontributor foto untuk majalah National Geographic.

Keempat adiknya tergolong mudah dalam mencari jodoh. Bagaimana tidak, mereka secara fisik menarik, pandai, shaleh, bisa menempatkan diri dengan baik, dan tetap rendah hati. Sedangkan Kak Lais? Hingga usianya 40 tahun lebih, belum juga mendapatkan jodohnya. Kak Lais bukannya tidak peduli dengan omongan penduduk kampung, apalagi setelah dilintasi (ditinggal menikah lebih dulu) tiga kali oleh adik-adiknya, tetapi Kak Lais selalu mengatakan kepada Dalimunte bahwa Allah telah mengirimkan keluarga terbaik dalam hidupnya, dan itu sudah cukup. Ia menerima takdir Tuhannya dengan lapang dada, meski tak dipungkiri setiap habis shalat tahajjud ia sering menghabiskan waktu sendirian di lereng bukit, bernostalgia tentang adik-adiknya yang dulu nakal sekali sekarang sudah sukses semua, dan tentunya merenungi tentang hidupnya sendiri; memandangi kebun strawberry yang luas, menuggu hingga langit menyemburatkan cahayanya tanda subuh menjelang. Dalimunte lah yang sering menemani kakaknya disana, setiap dua bulan sekali kepulangannya dari luar negeri.

Hingga hari kematian Kak Lais tiba karena kanker paru-paru stadium IV yang telah disembunyikan dari adik-adiknya selama sepuluh tahun, Allah belum juga menurunkan jodohnya ke bumi. Tapi mamaknya yakin sekali bahwa Lais adalah bidadari surga.
Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (QS Al-Waqiah: 22),
Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka baik lagi cantik jelita (QS Ar-Rahman: 70),
Bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (QS Ash-Shaffat: 49).

Maka, dalam epilog novel ini, Tere-Liye menulis:
"Dengarkanlah kabar gembira ini.
Wahai wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah ‘terpilih’ di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilan wajah), yakinlah, wanita-wanita shalehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur, kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar. Bidadari surga parasnya cantik luar biasa."

Jika di-rating dalam rentang 1 – 10, aku akan memberi nilai 9. Novel ini nyaris sempurna. Namun, ada beberapa kalimat awal dalam bab 39 (halaman 309) dan bab 44 (halaman 353) yang sedikit mengganggu alur cerita. Di bab 39, paragraf pertama, pengarang menulis seperti ini:
"Terus terang, mengungkit masa lalu Laisa bukanlah bagian yang menyenangkan. Tetapi tidak adil jika kalian tidak tahu ceritanya. Apalagi untuk mengerti utuh semua kisah ini. Mengerti betapa Kak Laisa tulus melakukan semuanya. Maka, dengan melanggar janjiku kepada keluarga mereka, ijinkanlah aku menceritakannya."
Dan di bab 44, sebanyak dua halaman, pengarang menulis tentang apa perannya dalam cerita di novel ini. Tere-Liye adalah saksi hidup atas peristiwa dalam keluarga mamak dan Laisa. Dan dia adalah salah satu penerima SMS mamak (selain keempat anaknya yang lain) yang mengabarkan tentang kondisi Laisa yang sedang kritis. Setelah dua halaman tersebut, pengarang kembali melanjutkan ceritanya dengan alur maju.

Agak janggal membaca novel seperti ini. Dimana sedang enak-enaknya menikmati alur cerita yang begitu indah, harus “terganggu” dengan fakta yang disampaikan pengarang yang mungkin sebenarnya tidak terlalu penting bagi pembaca. Misalnya, tentang apa hubungan pengarang dengan kisah yang ditulisnya, bagaimana perang batin dalam diri pengarang tentang apa yang boleh dan tidak boleh dikisahkan dalam novel ini, dan sebagainya. Mungkin hal-hal tersebut bisa dituliskan pengarang dalam kata pengantar atau dalam ucapan terima kasihnya, bahwa novel ini diangkat dari kisah nyata, misalnya, lalu proses perjuangan yang dilalui pengarang selama menulis, dst, dan bukan dalam “isi” novelnya.

Overall, novel ini sangat layak diapresiasi! Di tengah situasi negara ini yang “dibuat” oleh media seolah-olah sudah sangat bobrok dan tidak bermoral, Tere-Liye dengan cerdas dan menyentuh mampu mengangkat kisah sebuah keluarga kecil yang mungkin keberadaannya tidak diperhitungkan di tanah Indonesia yang begitu luas ini.
Apalagi jika benar bahwa ini cerita nyata dan telah dibaca oleh ribuan bahkan jutaan pasang mata, tidaklah mustahil jika suatu saat hikmah dalam novel ini akan memberi perubahan besar terhadap Indonesia khususnya, karena masyarakat kita telah memahami pentingnya kerja keras, doa, cinta, semangat, pantang menyerah, dan kerja keras serta kerja keras lagi.

Good job! I like it! *baca dengan gaya dan intonasi Rianti Cartwright di salah satu acara ajang pencarian bakat di stasiun TV swasta* :)

***

Maaf kalo ada yang protes tentang cara penulisan resensi ini, karena jujur aku lupa bagaimana cara menulis resensi yang baik dan benar. Ini hanya mengandalkan ingatanku pada pelajaran Bahasa Indonesia saat SMP/ SMA (dan sayangnya ingatanku payah). Dan rasanya menulis resensi tidak perlu sepanjang ini, hehe.
By the way, kalo ada yang pengen aku meresensikan sebuah buku atau yang sedang ingin tahu apa isi buku tertentu, cukup beri aku satu sampelnya (beri lo ya, bukan meminjami), lalu akan aku baca dan tulis resensinya. Muahahahaha *ketawa setan*

Eh ada yang tertinggal. Setelah membaca novel ini, aku jadi tergelitik untuk mengulas sedikit tetang poligami (nggak, disini nggak ada cerita poligaminya, hanya Kak Laisa hampir pernah dipoligami, tapi urung), juga cinta. Aku akan membahasnya secara ringan saja, karena aku juga bukan ahli fiqih atau ahli cinta (nah lo). Hanya menceritakan pengalaman yang pernah aku dapatkan saja, dari teman-temanku.
Hmm… semoga Tuhan memberiku kekuatan untuk menulisnya suatu saat kelak, di blog ini. Amin :)

Wassalamu’alaikum.
Assalamu'alaikum


Hai guys, being 24 years old is bad good!
And i think really-really good!
Yah, apa lagi yang bisa aku katakan?
Mau bilang menyesal karena usia bertambah dan jatah umur berkurang?
Nyatanya justru bertambahnya usia membuat seseorang (harusnya) tambah matang alias mature.

Mensyukuri apa yang telah ada,
Berusaha menggapai impian dan cita-cita yang belum terwujud,
Dan selalu berusaha menjadi "good girl and then good woman" =)

I got many wishes from my friends on my birthday, and i hope God give me the nice things in my life,
Apapun yang teman-temanku doakan buatku,
Aku selalu meyakini bahwa apa yang mereka katakan adalah sebuah kesungguhan,
Sebuah panjatan doa kepada Tuhan untuk kebaikanku,
Dan aku bangga memiliki mereka...
Yes I do!



Ucapan selamat yang paling bermakna bagiku adalah dari ibuku,
Meski setiap tahun hampir tidak pernah ibuku yang pertama kali mengucapkan selamat,
Dimana teman2 yang lain biasanya jam00.00 lebih sedikit sudah mengucapkannya,
Tapi aku selalu yakin bahwa yang pertama atau keseratus itu tidak penting =)

Wanna know what my mom's wrote on SMS?
Here it is:
"Alhamdulillah pada hari ini anakku genap berusia 24 tahun. Usia yang cukup matang untuk seorang gadis. Ya Allah, aku mohon pertolongan, perlindungan, bimbingan, dan kebaikan untuk anakku ini. Dan BERIKANLAH JODOH YANG BAIK, YANG BAIK, DAN YANG BAIK untuknya di dunia dan akhirat."

Hooo, itulah yang sering dan selalu dikatankannya...
And i hope so, so i call it as "The Best Wishes for Me" =)

Wassalamu'alaikum
Assalamu'alaikum

Hari ini, 24 tahun yang lalu...

Ibuku menunggu kelahiranku dengan H2C (harap-harap cemas),
Ibuku bilang ingin sekali melahirkan aku tanggal 1 Oktober, pas hari kesaktian Pancasila, mungkin biar momennya asik dan diperingati seluruh masyarakat Indonesia,
Ah, tapi apa daya aku tidak keluar-keluar waktu itu dari perutnya,,,

Setelah air ketuban ibuku pecah,
Bapakku segera membawa ibuku ke bidan,
Waktu itu ke Bidan Rin, tempat bersalinnya dekat terminal baru Kediri,
Sekarang bidan Rin tempat praktiknya sudah lebih bagus dari beberapa tahun yang lalu (ya iyalah),
Trus ditunggu dan ditunggu, aku tidak segera lahir juga, sampai hari berikutnya, haha

Aku sampai sekarang masih sering bertanya pada ibuku,
"Buk, rasanya melahirkan normal itu sakit tidak sih???"
Aku tidak butuh jawaban yang menenangkan yang mengatakan bahwa melahirkan itu tidak sakit dan biar aku gak takut,
Melainkan aku ingin jawaban yang SEBENARNYA,
Yaaahh, lalu ibuku menjawab, "Ya sakit banget, Dek. Rasanya nyawa itu sudah di ubun-ubun. Tapi setiap wanita kan pasti (insya Allah) melahirkan, jadi buat apa takut. Rasa sakit itu akan hilang kalo kita sudah liat anak kita yang lahir, dengan sempurna, lengkap anggota badannya..."
Mendengar jawaban itu, saya cukup bergidik,
Tapi ya sudahlah... dijalani saja, toh takut pun, juga tetep akan melahirkan =)

Wah, setelah melahirkan aku, ternyata ibuku pingsan
Mungkin karena saking besarnya tubuhku waktu itu,
Berat badanku 3,9 kg, pantas saja "agak susah" untuk dilahirkan, wakaka



Melahirkanku, anak kedua, ibuku sebenarnya pasrah sama Allah mau dikasih laki-laki atau perempuan,
Beda dengan saat kehamilan mbakku dulu,
Ibuku sangat ingin anak perempuan,
Katanya kalo cewek biar bisa didandani cantik, pakai baju yang cantik-cantik, bisa bantu beres-beres rumah... lhah akhirnya ternyata biar bisa bantu masak, hehe

Saat selamatan beberapa hari setelah aku lahir,
Bapak dan ibuku belum menentukan nama, hadeeehh
Akhirnya setelah dipandangi dalam-dalam, muncullah yang ibuku sebut sebagai "ilham" tiba-tiba,
Akhirnya jadilah namaku yang sekarang ini =)

Oke deh Ibuk, makasih udah melahirkan aku,
Miss you so muuuuaaaccchhh...

Buat para wanita yang sedang menunggu hari kelahiran putranya, yang sudah melahirkan, yang sedang menyusui dsb, halaaaahhh...
SELAMAT BERIBADAH DENGAN CARA MASING-MASING YAH...
Sesungguhnya dalam kesakitan itu pasti ada hikmah dan balasan dari Allah, amin

Cu bloggers...

Wassalamu'alaikum
Malam ini, aku teringat semuanya

Tentang ibuku



Tentang kulitnya yang mulai keriput

Di wajahnya, tangannya, lehernya, punggung kakinya,

Tentang ubannya yang mulai banyak

Tentang suaranya yang galak tapi lembut

Tentang pelukannya, senyumannya, semuanya



Ibuku baik sekali, tapi juga galak

Kalau kata bapakku, ibuku mempunyai hati seperti benang emas

Kalau kataku, ibuku seperti macan berbulu kucing

Hatinya mudah tersentuh, mudah mengasihani orang lain

Tapi kalau sudah disakiti atau dikecewakan,

Maka akan mengerikan sekali



Ibuku sudah menyekolahkan aku di TPA sejak kecil

Bukan TPA (Tempat Pembuangan Akhir), tapi TPA (Taman Pendidikan Al-Quran)

Kira-kira mulai sebelum aku dan mbakku masuk TK

Walau sebenarnya ibuku sendiri saat itu belum bisa membaca Al-Quran dengan baik dan benar



Aku ingat sekali

Kalau sore-sore aku masih mengantuk dan enggan berangkat mengaji,

Ibuku membiarkanku tidur sepanjang perjalanan menuju TPA

Wajahku yang sudah merengut karena kesal dan mulutku yang tidak berhenti mengomel, tidak dihiraukan

Dia hanya memangkuku dan membiarkan aku tidur dalam pelukannya sebelum mulai mengaji



Sekarang aku tahu kenapa ibuku tetap memaksaku pergi mengaji waktu itu

Karena di kemudian hari,

Dia ingin anak-anaknya memiliki pondasi agama yang kokoh



Aku ingat sekali,

Saat TK, ibuku mengajariku untuk berbagi makanan dengan teman sebayaku

Aku harus membagi sebagian bekalku kepada teman-temanku

Dan saking polosnya aku waktu itu

Aku pernah membagi seluruh makananku kepada teman-temanku

Sampai aku sendiri tidak kebagian

Ibu hanya tertawa

Ibuku tidak marah padaku maupun kepada teman-temanku

Sambil berpesan bahwa lain kali tidak perlu sampai begitu,

Sekarang aku tahu kenapa ibu menyuruhku berbagi waktu itu

Ibu mengajariku agar tidak egois



Aku ingat sekali,

Saat SD, ibu selalu mengingatkan agar aku mendapatkan rangking di kelas

Kadang aku sebel dibuatnya

Tapi akhirnya aku memang mendapatkannya, walau tidak menjadi yang terbaik di kelas

Kelas 6 SD, aku mulai sering begadang, apalagi saat akan ujian

Sekarang aku tahu kenapa ibuku sangat menginginkan aku berprestasi

Ibu mengajariku arti tanggung jawab pada kesuksesan pribadi



Aku ingat sekali,

Saat SMP, ibu membolehkan aku ikut Pramuka

Ibu hampir tidak pernah protes bila aku ada kemah di sekolah atau di luar kota,

Ibu juga tidak khawatir saat aku ceritakan bahwa aku baru saja naik gunung, jalan kaki keluar masuk desa, menyelam di sungai, becek-becekan di lumpur sawah, dan seterusnya

Ibu biasanya hanya bertanya dengan siapa saja aku pergi, naik apa, bagaimana keamanannya, siapa pihak yang bertanggung jawab pada acara itu, dan apa saja kegiatan yang akan dilakukan disana

Ibu seringkali membantuku menyiapkan peralatan kemahku

Mulai dari jaket, selimut, pakaian ganti, sampai makanan ringan



Oh ya, pernah sewaktu aku pulang kemah, karena terlalu capek dan mengantuk, aku langsung tidur tanpa mengganti pakaian Pramukaku yang sangat kotor terlebih dulu

Perilaku itu sebenarnya “ a big no-no” di rumahku

Tapi ibu tidak marah

Setelah pulang kantor dan mendapatiku dekil seperti itu, ibu hanya membangunkanku, menyuruhku berganti pakaian, lalu cuci tangan dan kaki

Sekarang aku tahu kenapa ibuku membiarkanku mengikuti kegiatan ekstrakurikuler seperti itu

Dia ingin aku belajar tentang kemandirian, disiplin, percaya diri, sosialisasi, mengenal alam, dan setia kawan



Aku ingat sekali,

Saat SMP dan SMA, ibu selalu suka jika ada teman-temanku atau teman-teman mbakku yang main ke rumah

Kebetulan rumah kami cukup sering dijadikan tempat berkumpul teman-teman kami

Entah itu reuni kelas, silaturahim saat Lebaran, sampai latihan senam untuk Ebta Praktik pas aku SMA

Ibuku tidak pernah protes

Ibuku justru selalu menawarkan, “enaknya dimasakkan apa, teman-temanmu?”

Yaaa, ibuku hampir selalu masak dengan tangannya sendiri untuk hidangan yang disajikan ke teman-teman kami

Kecuali masakan-masakan tertentu, seperti sate dan bakso, yang biasanya pesan ke orang lain

Sekarang aku tahu kenapa ibuku begitu

Dia ingin selalu menjadi teman yang baik bagiku dan bagi teman-teman anaknya

Dan untuk menunjukkan padaku bagaimana seharusnya hubungan seorang ibu dengan teman-teman anaknya,,,,,



(to be continue - insya Allah) =)
16 Maret 2010, jam 22.30 WIB, in my room, Surabaya

Assalamu’alaikum teman-temaaaaaaannn
Pety is back! Maap yah baru bisa nulis lagi. Maklum kemaren-kemaren si inem ini masih bantu-bantu majikan, jadi...ehm, kebanyakan deh pengantarnya =)

Here goes.
Brek! Fiuuhh, aku letakkan tubuhku di atas kursi empuk bis jurusan Surabaya-Kediri, tanggal 10 April yang lalu. Syukurlah dapat bis Patas (Cepat Terbatas) kali ini. Kulihat sekeliling, bis belum terlalu penuh. Ini artinya bis masih harus ngetem beberapa menit lagi sebelum akhirnya berangkat.

Siang itu gak terlalu panas. Surabaya akhir-akhir ini sering mendung, so no problemo. Aku membeli minuman dan membaca-baca buku yang dijajakan para penjual keliling. Ada buku masakan, buku anak-anak, buku bahasa Jawa, bahasa Inggris, majalah bekas, dsb. Belum ada yang menarik. Aku mengembalikan semuanya kepada penjual tsb.

Disinilah semuanya bermula.
Seorang lelaki, bapak-bapak, permisi untuk duduk di sebelahku. Yah, di angkutan umum seperti ini, kita gak bisa milih untuk duduk dengan siapa. Aku menggeser tubuhku ke bangku yang dekat jendela, menyilahkan dia duduk di sebelahku. Dia agak kerepotan memasukkan kopernya yang ukuran tanggung ke dalam bangku kami.

Entahlah, kenapa aku rasa pengaturan bangku di bis ini, dan bis pada umumnya, kurang ergonomis. Jarak antar bangku belakang dan depannya tidak terlalu lebar. Untuk ukuran tubuhku yang imut ini (halah, pendek maksudnya), aku masih bisa duduk dengan “enak”. Tapi bagi yang mempunyai postur badan tinggi, apalagi laki-laki, aku yakin 90% kaki mereka akan tertekuk karena lutut mereka mengenai bangku di depannya. Mundur sudah gak bisa, apalagi maju. Itulah TAKDIR mereka. Alhamdulillah =)

Aku lirik sekilas, di pegangan koper bapak itu tadi terdapat tanda yang mengisyaratkan ia baru keluar dari bandara. Benar saja, ia mulai ngajak ngobrol aku.
“Mau kemana mbak?”
“Oh, ke Kediri, Pak. Bapak mau kemana?” tanyaku basa-basi.
“Ke Jombang” jawabnya sambil memegang & melihat-lihat buku Gurita Cikeas & Cikeas Menjawab yang dijajakan pedagang.
“Wah, ini buku yang saya cari. Saya ini sekretarisnya Munas, mbak” lanjutnya sambil membaca resensi yang ada di belakang buku.
Sape nanya elu?” batinku. “Berapaan Pak?”
“Saya tawar 2 buku 40ribu deh” jawabnya.
“Iya, bener Pak. Tawar aja. Dulu saya juga pernah ditawari buku itu di perempatan jalan RS dr.Soetomo, satu buku 50ribu. Kemahalan itu Pak. Emm...tapi sebenernya saya juga gak tau sih harga aslinya di toko berapa” kataku ngawur.

“Ini mas, 2buku 40ribu. Boleh gak?” tawar bapak di sebelahku.
“Wah, gak boleh Pak” kata penjual basa-basi.
Akhirnya terjadilah transaksi itu dengan sukses, 40ribu dapet 2buku kalo aku gak salah inget. Pinter juga nih bapak, pasti sering nawar penjual sayur di pasar, batinku.

“Habis dari bandara Pak?” tanyaku setelah dia memasukkan kedua buku yang baru dibelinya ke dalam tas.
“Iya mbak. Ini saya dari Balikpapan. Ada acara Munas di Malang”
“Oh... Tinggalnya memang di Kalimantan atau di Malang-nya Pak?” tanyaku.
“Kalau asli saya dari Malang, tapi saya sudah lama tinggal di Balikpapan”
“Hoo... berarti semua keluarganya sekarang di Balikpapan ya pak?”
“Emm... kalo anak saya iya. Anak saya ikut saya” jelasnya agak terbata-bata.
Aku mengernyitkan dahi, bingung.
“Yaa... sejak saya & ibunya anak saya pisah, cerai, anak saya ikut saya” jawabnya yang sekarang lebih santai.
Oow oow, ups!

“Oh, begono pak. Maaf. Anak bapak putra atau putri pak?” tanyaku lagi, menutupi rasa bersalahku tadi. Padahal aku pengen secepatnya tidur. Rasanya gak terlalu ngantuk sebenarnya, tapi capek juga kalo ngobrol lama-lama.
“Cewek, sekarang kuliah semester 2 di Balikpapan. Ya di tempat saya ngajar ini”
“Lho, jadi bapak ini dosen?” tanyaku gak ngerti, karena kupikir dari tadi ngomongin tentang Munas-Munas gitu, aku menyimpulkan kalo dia adalah kader partai. Mungkin partai Demokrat (maap nyebut merk), karena dia interest sekali dengan buku-buku tentang Cikeas tadi. Hadeeehhh...
“Iya, saya ngajar di Sekolah Tinggi tiiiit... (*sensor*) di Balikpapan” jawabnya.
“Hoo...”

“Saya dulu tuh mbak, juga masukin adik-adik saya buat jadi pegawai di perusahaan rekanan kampus kami. Mereka sekarang sudah jadi PNS semua. Lha adik saya itu ada yang cowok, sukanya maen band, rambutnya gondrong! Apa yang bisa diharapkan masa depannya dari maen band?!?! Apa mbak?!?!” katanya berapi-api.
Fiuh... aku rasa kalo Bung Karno liat bapak ini ngomong, juga terkagum-kagum akan semangatnya yang menyala-nyala saat cerita.
Mungkin batin Bung Karno, sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya, geleng-geleng kepala, “Ckck subhanallah Pak! Nyebut Pak, nyebut! Ini kan bis Patas, suasananya anteng, kagak ada yang ngomong kenceng-kenceng kayak bapak! Saya aja yang dijuluki sebagai ‘Penyambung Lidah Rakyat’ ngomongnya kagak sebegitunya tuh!”

“Lha memangnya kalo maen band terus, mau sampai kapan? Nanti kalo sudah nikah, anak istrinya dikasih makan apa? Musik itu boleh dijadikan hobi, mbak, tapi bukan sebagai mata pencaharian tetap, untuk jangka panjang. Musik itu gak selalu laku, mbak. Mungkin suatu saat musiknya diminati, tapi saat yang lain, mungkin gak lagi. Wong bikin album aja udah ngeluarin duit banyak. Belum lagi kalo promo-promo gitu!” ceritanya panjang lebar kepadaku, saat mataku tinggal 3 watt.
“Hmm...” gumamku, masih mencoba menghargai ucapannya yang notabene dia jauh lebih tua dariku.
“Sekarang mereka sudah enak mbak, sudah 8 juta-an gajinya per bulan” lanjutnya tanpa memperhatikan betapa ingin tidurnya aku.

Setelah melanjutkan ceritanya beberapa kalimat lagi, dia tanya,
“Kalo mbak suaminya dimana?” tanyanya lugu.
“Hah?!? Suami Pak? Waahh... saya kan belum nikah, Pak!” kataku sambil sedikit memundurkan punggung tanda kaget, kayak di sinetron-sinetron itu.
“Oh, maaf, saya kira...”
Sampai pada detik itu, aku berdoa agar dia tidak berniat menjadikanku istri keduanya, apalagi usia kami terpaut cukup jauh, kira-kira 25tahun-an. Fiuh...

Kenapa tiba-tiba dia tanya seperti itu? Apakah wajahku sudah terlihat tua ya? Ah, aku rasa nggak juga, GR-ku.
Mataku terbentur pada jari kiriku. Ah, ini dia pasti penyebabnya. Aku baru ingat kalo aku lagi pake cincin di jari tengahku, mirip cincin kawin kayaknya. Bulat, gak banyak hiasannya. Hmm... kalo begini caranya, si cincin bisa menurunkan pasaranku neh. Apa aku harus melepas cincin ini ya? Tapi nggak ah, sayang, ini kan dari emakku.
Toh kalo orang pengen tau apa aku udah nikah ato belum, tinggal tanya aja, “kamu udah nikah?”, trus akan kujawab, “belum”. Beres kan? Hehe.

Aku & bapak itu terdiam beberapa saat.
Nah, itu waktu yang tepat buat aku pura-pura tidur ah, pikirku. Aku memalingkan & memiringkan sedikit badanku ke arah jendela. Walau leher rasanya gak nyaman dalam posisi seperti itu, aku tetap pura-pura merem. Padahal pikiranku masih berkeliaran kemana-mana.
Aku masih teringat akan akad nikah temanku yang aku hadiri tadi pagi, dimana dia sampai nangis sesenggukan saat mencium tangan suaminya, lalu aku teringat temanku yang sudah menjamu aku di rumahnya sebelum aku ke akad nikah temenku itu. Aku membayangkan ibuku sudah masak apa di rumah, membayangkan gimana suasana kediri saat ini, dsb.

Karena posisiku gak enak, terpaksa aku harus gerak-gerak untuk meregangkan badanku yg jadinya agak pegel. Merasa aku masih belum tidur, bapak itu menyenggol lengan kiriku, “Mbak mbak, ini lo foto anak perempuan saya!”
Aku noleh ke kiri, buset dah, dia ternyata sudah membuka laptopnya, menunjukkan foto anaknya bersama keponakan-keponakannya yang lain. Entah foto itu sudah terpasang di desktop, atau dia repot-repot membuka file-file fotonya demi menunjukkannya kepadaku. Aku gak terlalu jelas.
Aku hanya melongok & mendekat sedikit ke arah laptopnya & bilang, “oh... cantik ya pak putrinya!”
Fiuh... aku gak tau apakah setelah itu dia masih mengerjakan sesuatu, ngenet pake modem, atau cuma mau nunjukin foto itu doank & menutup kembali laptopnya. Yang jelas setelah itu aku benar-benar tertidur.
Assalamu’alaikum teman-temaaaannn...

Hai hai, jumpa lagi dengan saya di note kali ini. Hmm...kalo Pak Mario Teguh nyebut note-nya dengan Super Note, apa ya nama note-ku? Mungkin “Super-Santai-Note” aja yah (butuh masukan/ saran nama neh, hehe).

Kenapa SUPER SANTAI NOTE? Karena aku nulisnya juga dengan gaya santai aja, dari kehidupan sehari-hariku. Karena aku gak mau, atau lebih tepatnya gak bisa berbahasa yang berat-berat, yang buat nulisnya aja butuh “mikir”, apalagi buat yang baca, tambah berat kayak gajah nggendong King Kong deh. Karena juga orang kalo mau baca note, berarti orang itu selain pengen tau isinya, juga lagi pengen santai-santai sambil cari ‘ilham’ di tengah-tengah kesibukan kerjanya. So, kasian kan kalo dikasih yang berat-berat, hehe.

Anyway, ini semua sebenernya hanya tentang “gaya menulis” aja, yang tiap-tiap orang beda.
--------------------------------------------------
Okay, let’s start it.
Setujukah teman-teman, bahwa di dunia ini kita tidak mungkin mengetahui SEMUA hal? Bahwa masih banyak tersimpan rahasia? Bahwa setiap orang punya rahasia???
Kalo temen-temen pernah baca kisah (nyata) Raditya Dika di buku Cinta Brontosaurus, di bab “Di Balik Jendela” (hal 41-43), dia nulis kayak gini:
“Semua orang terlihat BIASA.
Gue duduk di terminal bus sambil nengok ke kanan dan ke kiri kayak orang linglung. Hari ini gue akan pergi ke Melbourne dari Adelaide naek bus.
.....
Gue coba untuk menahan rasa bosan di ruang tunggu dengan baca bukunya David Sedaris sambil ngeliatin orang di sekeliling. Mereka semua terlihat begitu BIASA.
Di sebelah gue duduk, ada orang Hongkong lagi berdiri buat ngelemesin pinggul.
Di belakang ada orang kulit hitam pake baju kotak-kotak.
Di barisan bangku paling belakang ada dua orang yang lagi pacaran.
Mereka semua terlihat BIASA.
Padahal, siapa tahu orang Hongkong itu tadi pagi baru dapat kabar bahwa neneknya meninggal. Si orang kulit hitam kotak-kotak itu terjangkit penyakit mematikan. Siapa tahu, dua orang yang lagi pacaran itu habis berantem. Tapi bagi gue, bagi orang yang ngeliat dari luar, mereka terlihat BIASA.
Gue juga pasti terlihat BIASA.
Padahal, seminggu kemaren gue baru putus.
Di dalam bentuk tubuh yang biasa-biasa ini, gue lagi remuk redam, hancur minah, compang-camping, kuda bunting. Tapi bagi orang lain yang ngeliat, gue terlihat BIASA. Karena apapun masalah kita, serumit dan sekompleks apapun, orang lain akan tetep jalan dengan hidupnya, seolah tidak memedulikan. Life goes on.”
----------------------------------------
Aku teringat kisah Radith (Raditya Dika) tersebut setelah beberapa waktu terakhir aku menyadari tentang kisah orang-orang di sekelilingku:

1. Seorang sobat baikku, ketika melamar kerja, mengatakan bahwa keinginan terbesarnya untuk bekerja adalah agar ayahnya bisa makan dengan enak. Yah, dengan gaji itu, ia ingin sekali membelikan gigi buatan untuk ayahnya karena saat itu ayahnya merasa sudah tidak nyaman dengan keadaan giginya yang mungkin sedang ada problem. Pertama kali ketemu dia, dia terlihat BIASA. Kadang kita tak tau.

2. Seorang sobat baikku, saat ini baru saja resign dari kantornya. Aku pikir itu keputusan yang biasa. Ternyata resign-nya dia meninggalkan beberapa “urusan” penting yang masih harus diselesaikan dengan rekan-rekan kerjanya disana. Sebelumnya, beliau juga mengalami kecelakaan sehingga untuk biaya berobat harus mengeluarkan uang yang banyak. Dan saat ini, beliau sedang menjalin hubungan dengan seorang pria yang sebelumnya telah memiliki pasangan hidup, tetapi saat ini “urusan” pria tersebut dengan pasangan hidupnya yang lalu telah “selesai”. Ini sah-sah saja menurutku. Saat beliau datang kepadaku dan menceritakan semuanya, beliau terlihat cerah ceria seperti BIASA. Kadang kita tak tau.

3. Seorang sobat baikku, ternyata memiliki adik angkat laki-laki yang telah dianggapnya sebagai adik kandungnya sendiri. Tak disangka, adiknya sejak kecil sering berbuat sangat nakal. Bergaul dengan orang-orang “nggak bener”, lari dari pondok tempat sekolahnya, mencuri uang ayahnya hingga jutaan rupiah, sampai kemarin akhirnya orang tuanya memanggil polisi untuk berpura-pura menginterogasi adiknya. Beberapa kali, ketika ayahnya memukul adiknya dengan keras, sobatku ini tak jarang menangis karena kasihan dengan adiknya. Dengan latar belakang keluarganya yang cukup berada, dan bila bertemu dia setiap hari, dia terlihat BIASA. Kadang kita tak tau.

4. Seorang sobat mbakku, teman kos kami, ada yang mengandung janin sebelum pernikahan (married by accident). Dia sangat manis wajahnya, sehingga aku rasa tiap lelaki tak ada yang bosan untuk melihat kecantikannya. Sekarang usia anaknya sudah 4 tahun-an. Aku yakin anaknya pasti cakep, seperti papa dan mamanya. Dulu, tiap hari, dia berangkat kuliah seperti biasa, berpenampilan seperti biasa, tersenyum kepada kami seperti biasa, dan main ke kamar kami untuk mendiskusikan masalah kuliah dengan mbakku seperti BIASA. Kadang kita tak tau.

5. Seorang sobat baikku, suatu hari datang kepadaku karena ada urusan. Dengan khasnya memakai pantofel ber-hak tinggi, tas jinjing bermerk, parfum mahal, rambut tertata indah, dan baju dandy. Ia terlihat seperti BIASAnya. Ternyata dia bercerita bahwa anaknya sedang sakit di rumah, sejak beberapa hari yang lalu. Anaknya terpaksa tidak masuk sekolah. Saat menemuiku, sebenarnya panas anaknya kemarin malam sudah turun, tapi mungkin karena pengaruh sup asparagus hasil membeli di sebuah restoran yang mengandung vitsin, panas anaknya naik lagi. Sakit anaknya memang ada hubungannya dengan pencernaan. Kadang kita tak tau.
---------------------------------------
Orang tiap hari melihatku BIASA aja. Seperti halnya mereka, aku pun mempunyai hal-hal tersembunyi yang mungkin orang lain tidak tau. Aha, jika temen-temen ingat, kalo digambar pake Johari Window, maka sisi itu ada di kotak “SAYA TAHU, ORANG LAIN TIDAK TAHU”.
Aku ingat, ada orang yang pernah bilang kepadaku:

“Fatma, kamu itu kok senyum terus ya, emang gak pernah punya masalah?”
Jawaban: ya pasti punya lah, setiap orang punya masalah masing-masing. Cuman Allah gak akan memberi aku masalah atas sesuatu yang gak bisa aku selesaikan, kan? Kalau di luar aku senyum terus sampe kayak orang gila, berarti aku cemberutnya kalo sudah sampai di kos/ rumah, dan sebaliknya. Percayalah, wekekekek.

“Fatma, kamu itu orangnya gak bisa marah ya? Marah gitu lo sama orang-orang yang bikin kamu sakit hati!”
Jawaban: ya, itu salah satu kelemahanku. Gak asertif dengan teman, gak bisa mengungkapkan apa yang dirasakan (khususnya perasaan negatif) kepada teman. Aku tau memendam kepedihan sendiri itu tidak baik, tapi aku terlalu takut untuk kehilangan teman. Jika ini dianggap sesuatu yang buruk, ya memang. Oh ya, aku bisa marah cuman sama mbakku, kadang ibuku, dan saudara2 dekatku saja.

“Fatma, dari tulisan-tulisan kamu, saya menduga kamu itu orangnya cerah ceria! Tulisanmu mengisahkan hidupmu yang penuh kelucuan dan orang-orang di sekitarmu yang menyenangkan juga.”
Jawaban: nggak juga sebenernya. Eh, kadang iya, kadang enggak ding. Tapi daripada nulis yang bikin orang lain sedih, mending nulis yang bisa bikin orang ketawa kan? Semoga berpahala membuat orang cemberut jadi tersenyum, hehe.
23.00 WIB – Entah note ini penting atau tidak, tapi aku rasa cukup penting untuk masa depanku. Tsaaahhh...

“Fatma, kenapa namamu jadi Pety?”
“Pety, kenapa namamu Pety? Dari mana? Kok bisa?”
“Pety, apakah namamu benar-benar Pety?”
“Pety, kamu cantik deh, minta makan donk!”
Ehm, yang terakhir itu ungkapan dari seorang teman yang sedang kelaparan.

Well, jutaan orang tanya kenapa namaku yang aslinya Fatma berubah jadi Pety. Oke ralat, bukan jutaan, tapi ratusan, mungkin. Lha dari SD, SMP, SMA, kuliah, sampai sekarang, ada aja yang menanyakan fakta itu. Memang sekilas gak nyambung sama sekali antara kata-kata F-a-t-m-a dan P-e-t-y. Nggak mirip gitu deh. Tapi aku yakin dengan penjelasan ini Anda semua akan tahu asal-muasalnya. Sehingga aku lain kali mungkin tidak perlu sampai dower menjelaskannya satu persatu kepada orang lain. Itu obsesiku! Uuoocchh!

Begini. Pada tanggal 2 Oktober 1986 dini hari, Kamis Pahing, lahirlah seorang bayi hitam manis dengan berat 3,9 kg, panjang proporsional (halah, lupa maksudnya), sehat, dan lengkap anggota badannya. Alhamdulillah.
Menjelang selamatan entah berapa hari-ku, waktu tetangga-tetangga yang diundang sudah pada datang ke rumah, ibuku baru ingat kalo aku belum diberi nama. Hadeehh... untung ibuku gak lupa waktu itu aku ditaruh dimana, apakah di kolong kasur atau di atas genteng tetangga. Ehm.

Singkat cerita, ibuku memandang lekat-lekat wajahku, mencari “ilham”, nama apa yang cocok untuk anak kedua perempuannya. Akhirnya, dengan dibantu bapakku (almarhum), ditemukanlah nama yang menurut mereka baik, yaitu “Fatma Puri Sayekti”. Apakah artinya?

- FATMA = bunga
Entah bunga seperti apa itu, aku tidak tahu. Namun menurut dosenku, Pak Prof. Dr. Suryanto, M.Si (semoga gelarnya gak salah ya, Pak), saat itu pas aku masih semester-semester awal kuliah, beliau juga mengatakan bahwa Fatma itu dari kata PADMA kalau bahasa Jawanya, yaitu bunga, bunga teratai. Wah, senangnya aku, ternyata bunga teratai toh? Iya, aku suka sekali bentuk & warna-warni bunga teratai, apalagi kalau di tengah-tengan kolam, terlihat sangat indah.
Eh, ternyata beberapa semester kemudian, Pak Sur, begitu aku biasa memanggil beliau, menjadi dosen pembimbing skripsiku. Ehm, asik juga punya dosen pembimbing seorang profesor, hehe.
 - PURI = rumah yang indah; juga merupakan gabungan nama kedua orang tuaku, yaitu Teguh PURwantoro dan ISmu Komariati. PUR dan IS itulah nama tengahku dan mbakku. Kalau mbakku nama tengahnya PURISari (digabung), kalau aku PURISayekti (dipisah).
 - SAYEKTI = yang sesungguhnya
Ini menunjukkan bahwa aku benar-benar anak kedua orang tuaku, bukan anak tetanggaku. Baiklah... Oya, jadi inget film “Sayekti dan Hanafi” yang diperankan oleh Widi AB Three sama Agus Kuncoro. Halah.
So, namaku berarti “bunga kedua orang tuaku yang sesungguhnya”. Kalo ada yang bilang “what is the meaning of the name?”, tentu saja jawabannya adalah “Name is a pray of their parents”.

Oke, lalu, kenapa namaku dari Fatma berubah jadi Pety panggilannya? Begini sodara-sodara.
Karena memanggil Fatma sepertinya kurang “enak” di lidah Jawa keluargaku, maka dibentuklah nama kecilku, nama panggilan gitu, diantara keluarga saja sebenarnya, yaitu dari FATma puri sayekTI, jadilah dipanggil Feti (diambil dari kata paling depan dan paling belakang). Belum “enak” juga dipanggil Feti, maka lama-kelamaan jadi PETI. Lagipula, kalo orang bule nanti yang denger, dikira nama yang aneh, karena Feti dikira Fatty, yang artinya gemuk, berlemak. Huhuhu. Walau aku mengakui saat ini need a healthy diet. Hehe.

Entah gimana sebenarnya tulisannya, pokoknya kedengarannya “Peti” lah namaku itu. Seiring berkembangnya intelektualitasku, hoho, aku tahu kalo “peti” itu artinya tempat penyimpanan, sering dianalogikan dengan peti mati lah, peti kemas lah, dll. Oke, lalu kemungkinan yang lain adalah tulisannya PETTY saja. Suatu hari, aku kaget ketika melihat di kamus bahasa Inggris bahwa Petty artinya kecil, sedikit, picik.

Wah, gawat ini, aku harus segera ganti tulisan. Akhirnya setelah melalui perenungan yang panjang dan puasa khusyuk dari jam 8.00-12.00 WIB, aku menemukan sebuah kata yang bunyinya tetap sama, tapi tulisannya beda, yaitu PETY.
So, saat ini, dimana-mana, aku nulisnya Pety (dengan satu “t”, bukan dua), baik di email address, FB, Blog, dll. Semoga “Pety” ini tidak mempunyai arti negatif lagi. Amin. Begitulah...

Oke, setelah nulis sedikit panjang-tangan-badan-lebar ini, semoga gak ada lagi yang tanya “Kenapa Fatma jadi Pety???”. Kalo ada yang tanya lagi, aku bisa dower sedower-dowernya menjelaskan lagi.

Aku gak bisa bayangin kalo ada kejadian seperti ini:
“Kenapa Fatma jadi Pety???”
“Oh, liat aja di FESBUK saya aja, Pak. Disana ada jawabannya.”
“Apa? Kopi tubruk?”
“Apa? Bapak tadi ditubruk truk?”
“Enggak... tadi mbak bilang apa?”
“Oh, itu loh Pak, sudah saya tulis lewat INTERNET tentang yang Bapak tanyakan tadi.”
“Apa? Babi ngepet?”
“Lho, siapa yang jadi babi ngepet Pak? Bukan saya kan?”
“Bukan sih, tapi saya, mbak. Dimana tadi nulisnya?”
“Di BLOG saya juga ada. Liat aja kalo gak keberatan Pak.”
“Lho mbak, saya ini memang punya beban hidup yang berat, tapi jangan ngolokin saya goBLOG donk!”
Fiuh... sampai disini aku yakin aku sudah seperti calon penghuni rumah sakit jiwa.
Aku gak tau apakah obsesiku untuk tidak akan pernah lagi menceritakan asal-muasal nama ini kepada siapapun akan berhasil atau tidak.

Ps: Kalau setelah Anda membaca tulisan ini masih pengen bertanya “Kenapa Fatma jadi Pety???”, mohon lewat SMS aja, biar gak ketauan orang lain. Karena saya akan melaporkan Anda ke polisi dengan dugaan percobaan pembunuhan secara perlahan-lahan atau bahasa lagunya ‘killing me softly’.
22.30 WIB
Well, finally i come back to write a simple note, here it is.. :D

Pagi yang cerah, seperti biasa aku turun dari bemo (angkutan umum) jurusan terminal Bratang, bemo S. Aku turun di bunderan kampus ITS Manyar, karena tempat kerjaku di jalan Kalibokor. Dari bunderan itu aku jalan kaki, menyeberang jalan dua kali, dan sampailah di kantorku. Tidak jauh, hanya sekitar 100 meter.

Tiba-tiba ada yang memanggil...
“Mbak..mbak..!!”
“Iya??” aku sedikit kaget tiba-tiba ada seorang bapak menghampiriku dengan naik motor.
“Saya panggil dari tadi mbaknya gak denger ya?!”
“Oh ya??”, perasaan dia manggilnya baru satu kali deh. Cukup lebay ni bapak, pikirku.
“Mbak, bareng saya yuk!”, katanya sambil menunjukkan boncengan motornya yang masih kosong.
“Hah?? Kemana Pak??” tanyaku kaget. Sok kenal banget nih orang.
“Lhah, mbaknya mau kemana?” tanyanya balik.
“Ke situ, ke gedung itu!” tunjukku ke kantorku, yang tinggal 20 meter lagi sampai.
“Lho, lha iya, saya juga mau ke situ!”

Emmm... aku jadi ragu. Dia nawari aku bonceng, tapi masih tanya aku mau kemana. Seharusnya kalau dia tau tujuanku dan kenal aku, dia paling nggak bilang, “Mau ke gedung itu kan mbak?”, bukan malah tanya “Lhah, mbaknya mau kemana?”
So, aku menolak halus tawarannya, “Oh, nggak usah Pak, tinggal deket aja, saya jalan aja. Maaf, makasih!”
“Lho, ayo mbak, gak papa, saya juga mau kesana!”
“Oh ya?” tanyaku ragu.
“Lho, mbaknya ini gimana to? Saya ini Pak Yudi, satpam kantornya mbak!” kata dia meyakinkanku.

Oh my God! Pak Yudi? Oh, ini yang namanya Pak Yudi??
Aku baru ingat ada penjaga kantorku yang namanya emang Pak Yudi, dan bodohnya aku, aku gak tau gimana wajahnya Pak Yudi. Dan yang kutemui ini, aku merasa belum pernah melihat sama sekali. Di kantorku ada 5 orang lebih penjaga, dan aku hafal mukanya, tapi gak tau namanya, atau kadang sebaliknya, aku tahu namanya, tapi gak hafal yang mana wajahnya. Belakangan, aku menyebutnya MISS-MATCH. Yeah, whatever!

Responku: “Oh, ya Allah, Pak Yudi??!!” kataku dengan kedua tanganku memegang kepala seolah-olah baru sadar bahwa aku telah berlaku tidak sopan dengan melupakan namanya.
Karena takut tersinggung, aku meminta maaf. Tapi aku tetap tidak mau dibonceng. Kalau yang nawari masih muda dan jomblo sih gak masalah, lha ini sudah bapak-bapak, anaknya lima. Ehm, lanjut. Yang tentang anaknya lima tadi aku ngawur.

Bapak itu tiba-tiba ganti topik pembicaraan, dia menceritakan kalau mau ambil komputer kantor dulu yang lagi diservis.
“Mbak ada uang 50 ribu pecah? Saya mau ambil komputer di sana yang lagi diservis” kata dia sambil mengeluarkan lembaran 50ribu-an dari sakunya dan menunjuk arah sebaliknya dari jalan menuju kantor.
Aku mulai curiga. Katanya tadi mau barengi aku ke kantor, sekarang malah bilang mau ke arah sebaliknya.
Aku mengingat-ingat pecahan uang yang ada di dompetku. Aku ingat persis pecahannya ada 35 ribu doank.
“Emm, kayaknya gak ada Pak, 35 ribu doank” kataku sambil mengecek dompetku.
Di tempat-tempat umum, aku memang tidak terbiasa mengeluarkan dompet dari dalam tas, jadi aku cuma membuka dompetku dari dalam tas.

“Kalau pecahan 100 ribu ada mbak?”
Wah, mulai gak beres nih, habis tanya pecahan 50 ribu, sekarang ganti tanya pecahan yang lebih besar, 100 ribu.
“Waaa.. gak ada Pak, punya saya juga utuh 100 ribuan”
Ups, mulut ini rasanya gak kepengen ngomong, tapi kelepasan juga. Kalau dipikir-pikir, apa perlunya aku bilang kalau aku ada 100 ribuan utuh?
“Ada berapa mbak?”
“Ada beberapa sih Pak”


Jeng..jeng..jeng!!! Disinilah sodara-sodara.. Disinilah KEBODOHAN pun terjadi!

“Kalo gitu saya pinjem dulu yang 100 ribuan ya mbak, ntar saya balikin ke kantor!”
“Hah, gimana Pak?” tanyaku gak paham.
“Iye, ini saya pinjem dulu uangnya, kalau saya sudah selesai ambil komputer, nanti saya kembalikan uangnya, ke kantor itu kan??”
“Iya Pak. Tapi yang 50 ribu itu saya bawa kan Pak, jadi ntar Bapak tinggal ngembaliin yang 50 ribu lagi.”
“Masya Allah mbak!!... Mbak ini gak percayaan se? Gak percoyo arek iki karo aku!”
Buset, dia bawa-bawa nama Tuhan segala!
Akhirnya kuserahkan duitku yang sedianya mau aku masukkan ke dalam bank.

Entah bagaimana, akhirnya orang itu membawa kabur uangku 100 ribu dan mengendarai motornya ke arah sebaliknya dari jalan menuju kantorku.
Aku pengen protes, masih ada yang ngganjel di hatiku, tapi sampai sekarang aku juga gak tau, kenapa waktu itu kalo aku merasa ditipu, aku gak teriak maling aja, toh mungkin orang-orang di sekitar situ ada yang bisa membantuku mengeroyok dia, menghajar, dan mengembalikan uangku.
Sesampai di kantor, benar saja, yang namanya Pak Yudi bukanlah orang yang tadi di jalan mengaku kepadaku namanya ‘Pak Yudi’. Fiuh...kakiku langsung lemas, sudah gak bisa nangis lagi, tapi masih bisa makan, hehe.

Sejak saat itu, aku menyebut sendiri bahwa diriku telah DI-HIP-NO-SIS... yeah, dihipnosis!
Tapi setelah aku cerita ke temen dan mbakku, mereka bilang:
- “Kamu terlalu baik Fatma, orang gak kenal aja masih kamu tolong!” (yeah, itu membuatku senang, tapi tidak mengembalikan uangku)
- “Kamu orangnya suka nglamun dan gampang lupa ya Fatma?” (yeah, dia sepertinya peramal)
- “Oalah dek, dia itu belum sempet menghipnosis kamu, kamunya udah ketipu duluan tanpa dihipnosis!” (yeah, cukup menohok, kawan!)

Dan sejak saat itu pula, aku merasa aku tidak dihipnosis, tapi aku DI-BODOH-I.

Well, here i am, yang tiap hari sedang mempraktikkan saran mbakku:
“Jangan nglamun di jalan, berdoa, jalan yang cepet!”
Oke, sekali lagi... “Jangan nglamun di jalan, berdoa, jalan yang cepet!”
Sekali lagi ah... “Jangan nglamun di jalan, berdoa, jalan yang cepet!

Wish me luck, guys! :)
Assalamu'alaikum

Huah, lamo sekali sayo tidak menulis di blog ini :(
Kalau istilahnya Raditya Dika (www.radityadika.com) sih "Blogger yang Murtad". Jadi sedih sendiri kalo dibilang kayak gitu..

Well, some things happened these days, misalnya:
- Tiba-tiba dapat kabar kalau Pakpuh saya (om atau kakaknya ibu saya) sakit dan dirawat di RS Graha Amerta Surabaya. So, saya gak mungkin gak menjenguk 'secara rutin' pakpuhku itu. Walau ada juga sih tante lain yang tinggal di Surabaya juga, ya gantian lah yang jagain. Alhasil, selama hampir 1 bulan saya pindah ngekos di RS. Pulang kerja jam 17.00 langsung ke RS, makan malam disana bareng Budhe, ngobrol-ngobrol bentar, dan zzzzz... tidurlah! Esok paginya berangkat kerja dari RS, mbak saya yang bawain baju ganti. Seharusnya jagain means 'tidak tidur semalaman untuk menjaga Pakpuh, tapi yang terjadi adalah sebaliknya :(
Kenapa Pakpuhku harus dijaga? Karena pada awal-awal masuk RS (beliau operasi tumor usus), keadaannya setengah sadar, sering mengigau gak jelas, marah-marah, dan mencabut-cabut infus dari tangannya. Kalau gak dijaga, bisa bahaya! Ayeee..!
- Lagi agak 'banyak kerjaan' di kantor, hihi
- Kadang lagi gak mood. Fiuhh, padahal ini tantangan terbesar bagi orang-orang yang serius mau nulis atau menghasilkan karya berupa tulisan. Di beberapa buku sudah banyak diulas tentang 'gak mood' adalah bukan alasan, tapi justru kita yang harus menciptakan mood itu sendiri. Well, dan sekarang aku baru ingat bahwa buku "Resep Cespleng Menulis Buku Best Seller" karya Edy Zaqeus belum selesai saya baca. Fiuhh..padahal itu saya udah lama belinya di Gramedia Expo Jl. Basuki Rachmad.

Oke, tema lain ya, kemarin mbakku barusan ultah ke-25 abad, eh 25 tahun.
Wish her always guided by Allah SWT, be blessed, healthy, wealthy, and prosperity.. lho hehe..

Oke guys, doakan saya agar segera dapat kembali ke dunia blog ini.
Saya makan dulu yah... Belum mandi juga nih..
See ya soon :)

Wassalamu'alaikum
Satu kejadian yang kayaknya aku gak bisa lupa pas MOS SMP ku, SMPN 1 Kediri. Waktu itu baru beberapa hari aku ikut MOS di sekolah. Pagi itu kayaknya aku ketiban apes, yaitu telat. TELAT dateng MOS adalah a big no-no buat siswa baru. Fiuhh... udah keringetan karena tiap hari aku naek sepeda pancal, buru-buru lari sepanjang parkiran sampe kelasku yang paling belakang letaknya, eh... masih ngos-ngosan udah disuruh berdiri baris bersama anak-anak yang pada telat. Gak bisa dihindari, aku disembur sama mbak-si-naga-api,

‘Heh, anak baru! Ngapain telat?!’
‘Eng... anu kak’. Duh, mau bilang ‘Ayam saya mati, kak, jadi saya nguburin dulu’, jelas gak masuk akal buat anak kelas 3 SMP. Terpaksa aku ngaku dengan polos alasan yang sebenarnya,
‘Saya telat bangun, kak’
‘Haaa? TELAT BANGUN?!?!’ gelegar mbak si naga api, tepat di depan mukaku. Begitu dekat mukanya sama mukaku, paling jaraknya cuman 2 cm, hingga kayaknya kakak-kakak kelas lain yang memperhatikan kami jadi bisik-bisik, ‘Wih, sumpah lo, si naga api mau nyium siswa baru!’
‘Iyy..iya kak’
‘Loe gak shalat subuh???’ tanyanya masih dengan muka mau nyium mukaku.
Duh, ketauan malesnya nih aku. Udah telat bangun, gak shalat pula.
‘Eng..enggak, kak’
‘Agama loe apa?’, tanya mbak si naga api. Maklum, pas SMP dulu aku emang belum pake jilbab, jadi gak keliatan identitas agamaku apa.
‘Islam, kak. Kalo kakak sendiri agamanya apa?’
‘Eh, loe gak usah nanya-nanya gue, tauk! Bukan urusan loe. NGERTI?!!!’
Mampus!

Sebenernya waktu itu mbakku (mbak kandungku) juga temennya mbak si naga api di SMP ku, mereka sama-sama kelas 3. Tapi seingatku mbakku gak jadi panitia MOS, dia lebih suka Pramuka nya. Aku juga gak minta-minta ke mbakku,
‘Mbak, ntar pas aku MOS, bilangin temen-temenmu kalo aku adekmu ya, biar mereka gak jahat sama aku!’, karena sebelum aku bilang gitu, mbakku udah bilang duluan,
‘Ntar kamu gak usah bawa-bawa namaku ya! Udah SMP, harus mandiri! Gak usah hidup dalam bayang-bayangku. Gak usah hidup di bawah ketiakku!’
Huek, ogah juga. Bau!

Lulus SMP, ternyata penderitaanku sebagai siswa baru gak berhenti sampai disitu. Aku masuk ke SMAN 2 Kediri, SMA favorit di kotaku gitu deh katanya. Ehm. Ternyata MOS di SMA lebih kejam dan sadis dibandingkan pas di SMP dulu. Mbakku gak se-SMA lagi sama aku, tapi temen-temen SMP nya sebagian besar masuk ke SMA ku, jadi aku sedikit banyak kenal mereka juga sebenernya.

Hari itu hari pembantaian, atau lebih halusnya ‘hari tes mental’. Para siswa baru diharuskan memasuki beberapa ruang kelas, dimana masing-masing kelas ada tema tesnya sendiri-sendiri, misalnya tentang Kewarganegaraan, Kreatifitas, Agama, dan laennya aku lupa. Di masing-masing kelas, kami harus melalui TES dan minta tanda tangan kakak yang ngetes kita tanda kita lulus tes tersebut. Ruang agama adalah ruangan paling sejuk yang pernah dimasuki para siswa baru, pasalnya sama sekali gak ada kakak-kakak kelas yang bentak-bentak gak jelas sambil mukul-mukul meja pake tongkat kertas karton bekas gelondongan kain-kain meteran yang bisa dibeli di toko-toko kain. Gimana aku tau tentang tongkat itu??? Karena pas kelas 2 SMA dan aku jadi panitia MOS, aku yang kebagian disuruh beli tongkat-biadab itu! Gembel.

Di ruang agama,
‘Assalamu’alaikum. Hai dek, nama kamu siapa?’
‘Wa.. wa.. wa’alaikum salam. Saya Fatma, kak. Anak kelas satu baru’
‘Yee..kalo itu saya juga udah tau kalo kamu anak kelas satu baru. Tenang aja, gak usah deg-degan’
Cess..hati ini rasa adem banget mendengar kata-kata mbak itu. Trus dia tanya-tanya seputar agama Islam, sampe akhirnya dia tanya, ‘Fatma ada keinginan buat pake jilbab?’
‘Emmhh.. iya mbak, rencananya saya mau pake jilbab SMA ini’, jawabku yang emang dari SMP dulu udah pengen pake jilbab.
‘Waahhh.. subhanallah. Iya iya, bagus itu. Semoga dimudahkan jalannya kesana ya dek. Semoga selalu istiqomah nantinya’
‘Hehe..iya mbak, amin’
‘Oke oke!’ Si mbak langsung menandatangani buku tesku. Wih, gampang banget dapet tanda tangan di ruang agama ini. Begitu ngomong tentang kebaikan, langsung deh lulus. Woo-hoo.

Begitu masuk ruang kreatifitas, jeng-jeng...!!!
‘Ayo cepet! Cepet masuk!’ Dak.. dak.. dak.. Dradadradaaaakkk!!! Kakak-kakak kelas maen drum band di aula, eh bukan, suara tongkat-biadab dipukul-pukulkan ke meja dan kursi kayu. Gila! Berisik banget, asli bikin kuping jadi budek + sakit hati karena kami dianggap kayak hewan peliharaan yang susah diatur.

Karena masih banyak anak yang lagi ‘dikerjain’, aku nunggu di kursi tunggu. Aku memandang sekeliling yang udah mirip pasar yang isinya preman semua. Sampei aku menatap sesosok wanita yang sepertinya bisa membuatku hidup lebih lama di ruangan ini. Yeah. Yeaaah! Jeritku dalam hati. Aku kenal mbak itu. Namanya mbak Mertha. Dia temen mbakku pas SMP, aku pun cukup dekat juga dengan dia. Aku sengaja nunggu mbak itu selesai ngerjain temenku. Begitu bangku dia kosong, aku langsung buru-buru menuju dia. Fiuhhh..nyampe juga. Gak mungkin donk dia jahat sama aku? Gak mungkin donk dia gak kenal aku ini adeknya siapa? Gak mungkin donk dia ngerjain aku sampe nangis meraung-raung? Ternyata: MUNGKIN.
‘Kak’ panggilku.
‘Kamu ngapain kesini?’ jawab dia sambil nahan tawa, tapi pura-pura judes. Dia cuman nglirik aku sebentar.
Peraturan disini adalah, jika ditanya sama penguji ‘Mau apa kesini?’, kita harus bilang ‘Mau tes, kak.’ Kalo ditanya lagi ‘Buat apa tes?’, maka jawabannya ‘Sebagai persyaratan lulus dalam MOS kali ini, kak.’ Kurang lebih begitu.
Tadinya aku mau jawab asal ‘Ya mau tes lah kak! Loe gak mungkin ngebuat gue menderita lama-lama di pasar preman ini kan, kak?’ Tapi niat itu aku urungkan. Salah-salah malah digampar kakak cowok di sebelahku yang gede, tinggi, item, gak manis ini, dikira sok kecentilan.
‘Mau tes kak’, jawabku akhirnya.
‘Kamu mau tes apa?’
‘Uh, nyanyi aja kak’. Karena aku gak bisa baca puisi atau disuruh menirukan renang gaya dada di panggung, yang diliat oleh seluruh penjuru sekolah.
‘Oke. Nyanyi apa?’

Aku mengingat-ingat dengan keras lagu-lagu yang sekiranya aku hafal. Ugh, gak ketemu juga. Ayo dooonggg, masak keadaan gawat gini otakku malah gak bisa kerja? Oke-oke, tenang. Aku pernah denger lagu Trio Kwek-kwek, Tasya, Sherina, Bondan Prakoso, dan Trio Macan. Tapi semua gak cocok dinyanyikan untuk momen ini, apalagi aku emang GAK HAFAL. Bunuh diri namanya kalo aku dengan pede aku bilang ‘Nyanyi Libur Tlah Tiba nya Tasya, kak!’, trus ternyata baru di baris pertama nyanyi:
Libur tlah tiba... libur tlah tiba... Hore! Hore! Hore!
(*sambil menirukan gaya Tasya yang loncat-loncat kegirangan karena udah masuk waktu liburan sekolah*)
‘Udah, kak’
‘LAGU APA ITU????? Anak TK aja juga bisa kaleeeeee. Sekarang sebagai hukumannya, kamu lari keliling lapangan sepak bola 100 kali!’
Kalau itu yang terjadi, pupuslah sudah harapanku sekolah di tempat favorit ini, karena aku harus 3 tahun diopname di rumah sakit gara-gara kakiku putus setelah lari 100 kali keliling lapangan bola. Beeehhh!

Setelah mengumpulkan segenap keberanian, aku bilang,
‘Nyanyi lagu I Have A Dream, kak’
‘Apa? Yang keraaaaaasss!’
‘NYANYI I HAVE A DREAM-NYA WESTLIFE, KAK!’
‘Oke, silahkan!’
Lalu aku bernyanyi dengan merdu di samping mejanya, semerdu orang bengek kejepit ketek.
I have a dream... a song to sing...
To help me cope... with anything...
If you seeeeeeee...
‘Haaa?? Kurang keraaaaas! Sekarang kamu berdiri di panggung itu trus nyanyi yang kenceng, pokoknya harus kedengeran sampe meja saya!’

Dengan langkah gontai, aku menuju panggung (panggungnya dari meja-meja yang dirapatkan jadi satu di tengah ruangan aula). Disana temen-temenku ada yang sudah nyanyi duluan, ada yang baca puisi, ada yang memperagakan renang gaya dada, nari kuda lumping makan beling, dan ada yang kentut. Here i am, nyanyi i have a dream dengan ngaconya.
I have a dream... a song to sing...
To help me cope... with anything...
If you see the wonder... of a fairy tale...
Uh..uh.. aku lupa lanjutannya! Mampus. Ya Allah, dalam keadaan begini Engkau masih sempat-sempatnya menguji hambaMu yang banyak dosa ini. Untungnya aku pinter. Aku ngeliat muka mbak Mertha, kayaknya dia terlalu takjub dengan nyanyianku. Dia melongo, antara bingung itu lagu apa yang lagi aku nyanyiin, budek karena seharian di ruangan yang penuh dengan jedag-jedug suara tongkat-biadab, sama cowok di sebelahku ternyata cukup cakep untuk mengalihkan perhatiannya. Bodo amat, aku akan ngulang-ngulang lirik ini terus sampe disuruh berhenti. Manjur.
‘Udah, cukup!’
Yes, dalam hatiku. Dia menandatangani buku tesku.
‘Makasih, kak’ sambil aku melempar senyum termanisku dan pergi meninggalkan mejanya.
‘Yuk’. Dalem hatinya bilang, ‘Rahmaaaaaa... kurang ajarrr adek loe nyanyiin lagu ngaco buat gueeeeeee!!!’
Sukurin.

nb: buat mbak Irawati, haihai dmn dikau sekarang mb? aku kangen semprotan naga apimu :D
buat mbak mertha yg sekarang jd CPNS di Nganjuk, wis terbiasa pake rok durung mbak? koyoke sih durung, hehe