22.30 WIB
Well, finally i come back to write a simple note, here it is.. :D
Pagi yang cerah, seperti biasa aku turun dari bemo (angkutan umum) jurusan terminal Bratang, bemo S. Aku turun di bunderan kampus ITS Manyar, karena tempat kerjaku di jalan Kalibokor. Dari bunderan itu aku jalan kaki, menyeberang jalan dua kali, dan sampailah di kantorku. Tidak jauh, hanya sekitar 100 meter.
Tiba-tiba ada yang memanggil...
“Mbak..mbak..!!”
“Iya??” aku sedikit kaget tiba-tiba ada seorang bapak menghampiriku dengan naik motor.
“Saya panggil dari tadi mbaknya gak denger ya?!”
“Oh ya??”, perasaan dia manggilnya baru satu kali deh. Cukup lebay ni bapak, pikirku.
“Mbak, bareng saya yuk!”, katanya sambil menunjukkan boncengan motornya yang masih kosong.
“Hah?? Kemana Pak??” tanyaku kaget. Sok kenal banget nih orang.
“Lhah, mbaknya mau kemana?” tanyanya balik.
“Ke situ, ke gedung itu!” tunjukku ke kantorku, yang tinggal 20 meter lagi sampai.
“Lho, lha iya, saya juga mau ke situ!”
Emmm... aku jadi ragu. Dia nawari aku bonceng, tapi masih tanya aku mau kemana. Seharusnya kalau dia tau tujuanku dan kenal aku, dia paling nggak bilang, “Mau ke gedung itu kan mbak?”, bukan malah tanya “Lhah, mbaknya mau kemana?”
So, aku menolak halus tawarannya, “Oh, nggak usah Pak, tinggal deket aja, saya jalan aja. Maaf, makasih!”
“Lho, ayo mbak, gak papa, saya juga mau kesana!”
“Oh ya?” tanyaku ragu.
“Lho, mbaknya ini gimana to? Saya ini Pak Yudi, satpam kantornya mbak!” kata dia meyakinkanku.
Oh my God! Pak Yudi? Oh, ini yang namanya Pak Yudi??
Aku baru ingat ada penjaga kantorku yang namanya emang Pak Yudi, dan bodohnya aku, aku gak tau gimana wajahnya Pak Yudi. Dan yang kutemui ini, aku merasa belum pernah melihat sama sekali. Di kantorku ada 5 orang lebih penjaga, dan aku hafal mukanya, tapi gak tau namanya, atau kadang sebaliknya, aku tahu namanya, tapi gak hafal yang mana wajahnya. Belakangan, aku menyebutnya MISS-MATCH. Yeah, whatever!
Responku: “Oh, ya Allah, Pak Yudi??!!” kataku dengan kedua tanganku memegang kepala seolah-olah baru sadar bahwa aku telah berlaku tidak sopan dengan melupakan namanya.
Karena takut tersinggung, aku meminta maaf. Tapi aku tetap tidak mau dibonceng. Kalau yang nawari masih muda dan jomblo sih gak masalah, lha ini sudah bapak-bapak, anaknya lima. Ehm, lanjut. Yang tentang anaknya lima tadi aku ngawur.
Bapak itu tiba-tiba ganti topik pembicaraan, dia menceritakan kalau mau ambil komputer kantor dulu yang lagi diservis.
“Mbak ada uang 50 ribu pecah? Saya mau ambil komputer di sana yang lagi diservis” kata dia sambil mengeluarkan lembaran 50ribu-an dari sakunya dan menunjuk arah sebaliknya dari jalan menuju kantor.
Aku mulai curiga. Katanya tadi mau barengi aku ke kantor, sekarang malah bilang mau ke arah sebaliknya.
Aku mengingat-ingat pecahan uang yang ada di dompetku. Aku ingat persis pecahannya ada 35 ribu doank.
“Emm, kayaknya gak ada Pak, 35 ribu doank” kataku sambil mengecek dompetku.
Di tempat-tempat umum, aku memang tidak terbiasa mengeluarkan dompet dari dalam tas, jadi aku cuma membuka dompetku dari dalam tas.
“Kalau pecahan 100 ribu ada mbak?”
Wah, mulai gak beres nih, habis tanya pecahan 50 ribu, sekarang ganti tanya pecahan yang lebih besar, 100 ribu.
“Waaa.. gak ada Pak, punya saya juga utuh 100 ribuan”
Ups, mulut ini rasanya gak kepengen ngomong, tapi kelepasan juga. Kalau dipikir-pikir, apa perlunya aku bilang kalau aku ada 100 ribuan utuh?
“Ada berapa mbak?”
“Ada beberapa sih Pak”
Jeng..jeng..jeng!!! Disinilah sodara-sodara.. Disinilah KEBODOHAN pun terjadi!
“Kalo gitu saya pinjem dulu yang 100 ribuan ya mbak, ntar saya balikin ke kantor!”
“Hah, gimana Pak?” tanyaku gak paham.
“Iye, ini saya pinjem dulu uangnya, kalau saya sudah selesai ambil komputer, nanti saya kembalikan uangnya, ke kantor itu kan??”
“Iya Pak. Tapi yang 50 ribu itu saya bawa kan Pak, jadi ntar Bapak tinggal ngembaliin yang 50 ribu lagi.”
“Masya Allah mbak!!... Mbak ini gak percayaan se? Gak percoyo arek iki karo aku!”
Buset, dia bawa-bawa nama Tuhan segala!
Akhirnya kuserahkan duitku yang sedianya mau aku masukkan ke dalam bank.
Entah bagaimana, akhirnya orang itu membawa kabur uangku 100 ribu dan mengendarai motornya ke arah sebaliknya dari jalan menuju kantorku.
Aku pengen protes, masih ada yang ngganjel di hatiku, tapi sampai sekarang aku juga gak tau, kenapa waktu itu kalo aku merasa ditipu, aku gak teriak maling aja, toh mungkin orang-orang di sekitar situ ada yang bisa membantuku mengeroyok dia, menghajar, dan mengembalikan uangku.
Sesampai di kantor, benar saja, yang namanya Pak Yudi bukanlah orang yang tadi di jalan mengaku kepadaku namanya ‘Pak Yudi’. Fiuh...kakiku langsung lemas, sudah gak bisa nangis lagi, tapi masih bisa makan, hehe.
Sejak saat itu, aku menyebut sendiri bahwa diriku telah DI-HIP-NO-SIS... yeah, dihipnosis!
Tapi setelah aku cerita ke temen dan mbakku, mereka bilang:
- “Kamu terlalu baik Fatma, orang gak kenal aja masih kamu tolong!” (yeah, itu membuatku senang, tapi tidak mengembalikan uangku)
- “Kamu orangnya suka nglamun dan gampang lupa ya Fatma?” (yeah, dia sepertinya peramal)
- “Oalah dek, dia itu belum sempet menghipnosis kamu, kamunya udah ketipu duluan tanpa dihipnosis!” (yeah, cukup menohok, kawan!)
Dan sejak saat itu pula, aku merasa aku tidak dihipnosis, tapi aku DI-BODOH-I.
Well, here i am, yang tiap hari sedang mempraktikkan saran mbakku:
“Jangan nglamun di jalan, berdoa, jalan yang cepet!”
Oke, sekali lagi... “Jangan nglamun di jalan, berdoa, jalan yang cepet!”
Sekali lagi ah... “Jangan nglamun di jalan, berdoa, jalan yang cepet!
Wish me luck, guys! :)
248 per hari
6 days ago
0 komentar:
Post a Comment