"Biadab!" makiku dalam hati ketika mendengar kasus semacam ini, untuk kesekian kalinya.
Hatiku tercabik karena kejahatan kepada sesama manusia terus terjadi. Ketika kulihat sorot mata anak 5 tahun itu dan ibunya, yang kulihat hanyalah kepedihan tak terperi.
Dan ini, aku, di sini, harus melakukan sesuatu. Atas nama Tuhan yang Maha Memberi Kekuatan dan Kemampuan, aku berdoa untuk semua.
=====

Liburan semester akan segera berakhir. Tapi justru hati rasanya masih kebat-kebit dengan hal-hal yang menggelisahkan. Semakin kemari aku semakin menyadari bahwa tanggung jawab sosial setiap manusia jauuuuh jauh lebih besar daripada yang dibayangkan. Jika manusia memang dilahirkan untuk menjadi pemimpin (minimal untuk dirinya sendiri) di muka bumi ini, rasa-rasanya waktu harus selalu dimanfaatkan sebaik mungkin, bahkan setiap detiknya.

Kemudian ketika ada yang berkomentar, "Klien lagi... Klien lagi! Sibuk banget sih!" ingin rasanya kubejek-bejek orang itu. Seandainya ia tahu detail kasus yang sedang kami hadapi, mungkin ia dapat melihat segala sesuatunya lebih objektif. Tapi sayangnya, aku tidak selalu punya energi berlebih untuk menjelaskan satu per satu ke orang yang berbeda-beda. Apalagi jika berhubungan dengan profesi kami di Psikologi, setiap kasus sifatnya rahasia. Kalaupun perlu dibahas dalam ranah akademik sebagai pembelajaran, kami tidak dapat menginformasikan segala data personal klien.

Atau juga ada yang bilang, "Mumpung masih single ya mbak, jadi dipuas-puaskan kerja, jalan kesana kemari. Cari pengalaman, masih muda. Nanti kalau sudah berkeluarga kayak saya, susah deh mau kemana-mana."

Ah, jika saja mereka tahu. Bahwa doaku adalah, dalam kondisi apapun nanti, agar tetap diberi kekuatan, kemampuan membagi waktu dengan baik, tetap memberi manfaat seluas-luasnya kepada orang lain. Toh manusia tercipta adaptif dan fleksibel. Mampu menyesuaikan diri dengan situasi tanpa menjadi bebal.
Ah, jika saja mereka mau sejenak mengingat. Bahwa jangankan amal, tapi usia, harta, waktu, kondisi sehat, dan masa muda pun akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan kelak.
Ah, jika saja tidak ada seorang pun yang mendekonstruksi makna pernikahan menjadi sesuatu yang mengekang kebebasan, maka status apapun yang dimiliki tidak akan menghentikan untuk berbuat kebaikan.
Ah, jika saja orang nyinyir lebih banyak piknik dalam arti sebenarnya, mereka akan tahu bahwa dunia tidak hanya sesempit apa yang terlihat oleh kedua matanya. Menemui lebih banyak orang tanpa berusaha menilai, berbincang dari hati ke hati tanpa merasa paling benar, merasakan ditolong di negeri antah barantah oleh umat agama dan suku bangsa lain, mengamati kearifan setiap diri lawan bicara, dan berusaha untuk menjadi bijak tanpa menasihati atau menggurui. Hal ini benar adanya: Pikniklah! Yang jauh ya!

Begitulah, masih banyak "PR sosial" yang kami miliki. Dosen bukan sekedar pengajar di kelas dan kampus. Kami juga memiliki kewajiban pengabdian kepada masyarakat, sesuai bidang keilmuan masing-masing.

Seringkali ketika kami menghadapi kasus-kasus yang urgent, tidak ada lagi yang bertanya, ini masuk poin di laporan BKD (Beban Kerja Dosen) gak ya? Ada bayarannya gak ya? Mengganggu waktuku gak ya? Ada manfaatnya buatku pribadi gak ya? Dll.

Karena yang terlintas kali pertama hanyalah: "BUDHAL! TANGANI!"

Siang ini aku berkesempatan menghadiri sebuah diskusi internasional bertajuk "Interfaith Tolerance in Thailand and Indonesia" di Universitas Darul Ulum, Jombang.

Sebetulnya bukan tema-ku banget. Hanya saja dengar kata 'interfaith', aku langsung teringat dengan kata-kata pak Maufur, temanku dosen. Beliau kapan hari ke Amerika dan besok September ke Oslo, Norwegia. Aku bilang ingin juga academic trip seperti itu, dan beliau mengatakan tidak harus dalam rangka penelitian kalau ke luar negeri, tapi juga bisa "sekedar" diskusi, misalnya tentang interfaith. Singkatnya, begitulah kenapa aku tertarik dengan judul seminar yang aku datangi ini, karena ada kata interfaith-nya. Semacam studi antaragama atau kepercayaan.
Haha demikianlah... alasan yang sepele.

Aku dulu sering berpikir bahwa diskusi yang dihadiri oleh orang dari multinegara akan terkesan wah dan sangar gitu. Ternyata... nggak sebegitunya kok. Hehe. Ini kebetulan hanya dihadiri oleh pembicara dari Chulalongkorn University Thailand dan kandidat doktor Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya. Pembicaranya pun karena bukan native English, jadi bahasanya juga Thai-nglish dan Indo-nglish. Atau apalah namanya.

Satu hal yang aku pelajari dari forum semacam ini: bahwa aku pun suatu saat bisa juga bicara di forum internasional, bahkan mungkin lebih baik. Jika calon doktor saja masih sangat medhok dalam bicara bahasa Inggris tetapi berani tampil di depan publik, kenapa aku yang Jawa-nglish takut?

Jadi ingat satu kejadian lagi. Ketika salah satu saudaraku, bu Sirikit Syah, kuundang untuk menceritakan kisah inspiratifnya di Kediri dan mengatakan bahwa beliau dengan bekal bahasa Inggris yang medhok nya bisa keliling dunia dan tidak pernah ditertawakan oleh orang negara lain (malah dianggap lucu dan unik), maka aku pun semakin terpacu juga untuk melakukan hal-hal yang lebih besar dalam hidup.

"Jika kita mungkin diremehkan atau ditertawakan ketika bicara bahasa Inggris di Indonesia karena aksen atau karena tepatah-patah, maka orang luar negeri justru lebih menghargai kita, kok. Mereka akan salut pada kita yang mau belajar bahasa internasional. Kalaupun tampak lucu, mereka menganggapnya sebagai keunikan, bukan kelemahan," begitu papar bu Sirikit. Nah.

Yuuuuk, semangat belajar!