Assalamu'alaikum
Seberapa sering sih kalian naik becak?
Apa? Gak pernah sama sekali?
Atau justru tiap hari? Kayaknya jaman sekarang gak ada deh ya yang naik becak tiap hari. Kecuali yang memang satu-satunya moda transportasi yang bisa dijangkau oleh lokasi rumah ke tempat tujuan, kantong, dan kebutuhan, memang ya cuma becak ini.
Aku waktu TK abonemen becak. Ceilah bahasanya "abonemen". Iyah, langganan itu lo. Kebetulan pak becaknya adalah tetangga rumah kami sendiri di Kediri. Karena aku tinggal di kampung (walaupun bukan pelosok), makanya lingkungan sekitar rumah kami juga masih banyak orang yang bekerja sebagai tukang becak, penjual makanan (buka warung), pedagang kelontong, dan sebagainya :)
Setelah aku SMP sampai sekarang, sudah gak sering lagi naik becak. Paling-paling kalo memang dalam kondisi tertentu yang mengharuskan aku naik becak. Misalnya ketika aku pulang dari Surabaya ke Kediri naik bus. Di Kediri, aku biasa turun dari bus di Alun-alun Kota Kediri, perempatan Masjid Agung Kediri. Pilihannya hanya dua: aku jalan kaki sampai rumah (jarak alun-alun ke rumah hanya 400 meter), atau naik becak yang memang sudah ngetem alias mangkal berjejer di sana.
Layaknya angkot di terminal atau taksi di mall/ hotel, becak di perempatan alun-alun Kediri pun -yang mana baru aku tahu beberapa bulan belakangan ini- juga pakai sistem giliran. Artinya, becak yang paling belakang justru yang pertama mendapat giliran mengangkut penumpang. Dengan begitu, memang lebih rapi sih. Gak rebutan penumpang. Cuma masalahnya satu: TARIF BECAKNYA GAK KIRA-KIRA!
Sebagai penumpang yang berpengalaman (yaelah naik becak aja pake berpengalaman segala), aku merasa sangat terusik ketika para tukang becak itu menawarkan tarif yang melambung. Yang mana aku sudah sangat hafal, bahwa seharusnya tarifnya tidak semahal itu.
Setelah aku menyebutkan arah rumahku (yang hanya berjarak 400 meter dari alun-alun tadi), biasanya kan aku tanya, "Pinten, pak?" (Berapa, pak?)
"Sedasa mawon, mbak". (Sepuluh ribu aja, mbak)
Yang bener aja? Untuk jarak dekat yang jalannya tinggal lurus dan masuk ke gang kanan jalan, guweh harus membayar sepuluh ribuu?!?!
Jiwa emak-emakku pun terusik. Aku harus menawar!
"Walah pak, wong celak kemawon. Gangsal, nggih." (Oalah pak, deket aja loh. Lima ribu yah?)
"Dereng pareng mbak. Regi-regi mundhak sedaya lo mbak, kok gangsal ewu." (Belum boleh mbak. Harga-harga pada naik semua, kok minta lima ribu?)
"Kula saben minggu wangsul lo pak. Kula ngertos mboten ngantos sedasa ewu." (Tiap minggu saya pulang kesini lo Pak. Saya tau gak sampe sepuluh ribu tuh)
"Peh, mboten mbak!" (Gak boleh, mbak)
"Nggih sampun!" (Ya sudah!)
Kemudian aku melengos dan beralih ke becak selanjutnya, di depannya. Kadang ada yang boleh ditawar, kadang ada yang gak boleh.
Taktikku adalah begini: Mereka hampir pasti menawarkan harga 10.000 atau 12.000. Lalu aku tawar 5.000, dan biasanya mereka gak boleh. Mereka akan menaikkan jadi 8.000. Aku gak mau. Aku bilang 7.000, kalo gak mau ya sudah, aku (pura-pura) pergi jalan kaki. Biasanya mereka akan memanggilku kembali. Yang artinya mereka setuju tarifnya cukup 7.000 saja.
OMG! Cara emak-emak banget kan ya? Eh tapi jangan-jangan ada bapak-bapak juga yang sering pake jurus "lo gak mau, gue tinggal" juga? Hayo ngakuuuu... Pasti keseringan belanja di pasar tuh :p
Dari beberapa kali eksperimen, akhirnya aku menyimpulkan bahwa tarif yang masih acceptable olehku dan oleh para tukang becak itu ada di harga Rp 7.000,- untuk jarak 400 meter.
Pernah suatu kali entah karena aku yang capek, bete, atau karena cuaca yang panas, aku kok ya mau-maunya sedikit ngeyel dengan mereka. Setelah salah seorang tukang becak gak mau dengan tarif 5.000, aku pindah ke becak yang lain, eh tukang becak yang pertama malah bilang, "Masak rana mek 5.000 pak!" (masak kesana cuma lima ribu, pak!). Artinya dia turut memprovokasi yang lain untuk tidak menyetujui tarif yang aku ajukan. Ada satu becak lagi selanjutnya yang juga gak mau. Lalu aku pindah ke becak yang paling ujung, yang merupakan antrian terakhir, dan dia mau.
Sebenarnya menurutku ada 2 alasan kenapa dia mau: pertama, memang dia ikhlas dibayar segitu. Kedua, daripada dia nunggu antrian lama karena paling belakang, makanya dia mending dapat penumpang walau dengan harga sekedarnya saja.
Setelah aku naik, malah tukang-tukang becak lain mengolok-olok tukang becak ini. Intinya, kok mau sih? Kan murah? Ya sebenernya bisa dipahami juga sih ya. Seorang pedagang yang memberikan harga lebih murah daripada yang lain, apalagi di sebuah lokasi yang berdekatan, akan bisa merusak harga pasaran. Pelanggan akan cenderung memilih yang lebih murah, yang mana akan membuat tidak laku pedagang yang mematok harga lebih tinggi. Toh namanya juga becak, paling layanannya juga gak jauh beda antara becak satu dengan yang lain.
Akhirnya, entah kesambet setan apa, aku malah ngomel-ngomel di jalan kepada pak becak ini. Maksudnya curhat sama tukang becak yang becaknya aku naiki ini. Curhat??? #SoundsWrong
"Kula niki ben minggu wangsul lo pak. Kula apal pinten regine. Sedasa ewu lak mboten masuk akal." (Saya ini tiap minggu pulang lho pak -padahal gak tiap minggu juga sih-. Saya hafal berapa tarifnya. Kalo sepuluh ribu yang gak masuk akal.)
"Nggih mbak." (Iya, mbak)
"Penumpang ngeten niki kan mboten kok mboten gadhah yatra, tapi nggih mbok ingkang wajar matok regi. Wong celak mawon!" (Penumpang gini ini kan bukan berarti gak punya uang, tapi mbok yang wajar kalo mematok tarif!)
"Nggih mbak. Kula ni nate ngeteraken panjenengan lho mbak teng mriki." (Iya mbak. Saya ini pernah mengantar mbak kesini loh sebelumnya.) *setelah sampai rumah*
"Lho, nggih to pak?" (Lho iya to pak?)
*memandang lekat-lekat ke arah pak becak* (kenapa jadi romantis gini?)
*gagal mengingat wajahnya*
"Sampun pak, menika." (Sudah pak sampai sini. Ini uangnya)
*aku menyodorkan duit sepuluh ribu*
"Menika kula tambahi dados sedasa ewu." (Ini saya tambahi jadi sepuluh ribu)
"Wah, matur nuwun mbak. Gusti Allah ingkang mbales." (Wah terima kasih mbak. Allah yang membalas."
"Amin, suwun pak." (Amin, terima kasih pak)
Yah, waktu itu aku berpikir bahwa memang bukannya pelanggan tidak punya uang lebih ketika menawar harga lebih murah. Tapi mbok ya ngasih harga yang wajar, yang memang seperti biasanya. Jangan sampai yang gak masuk akal. Apalagi sampai sikapnya menyebalkan pelanggan.
Trus akhirnya aku mikir lagi. Bukankah memang wajar (juga) ketika pedangang memberikan harga setinggi-tingginya? Toh nanti oleh pelanggan pasti akan ditawar lagi ke harga yang lebih rendah. Trus apa gunanya tadi aku kesel, bete, dan ngomel-ngomel sepanjang jalan?
EMANG GAK ADA GUNANYA SIH!
Termasuk cerita ini, jangan-jangan emang gak berguna buat kalian? Hahahaha...
Whatever, selamat puasa, guys bagi yang menjalankan! Jangan sampe pahalamu terhapus oleh kebencian kepada orang lain yang sebenarnya tidak perlu ;) Jangan seperti gue itu.
Wassalamu'alaikum
Seberapa sering sih kalian naik becak?
Apa? Gak pernah sama sekali?
Atau justru tiap hari? Kayaknya jaman sekarang gak ada deh ya yang naik becak tiap hari. Kecuali yang memang satu-satunya moda transportasi yang bisa dijangkau oleh lokasi rumah ke tempat tujuan, kantong, dan kebutuhan, memang ya cuma becak ini.
Aku waktu TK abonemen becak. Ceilah bahasanya "abonemen". Iyah, langganan itu lo. Kebetulan pak becaknya adalah tetangga rumah kami sendiri di Kediri. Karena aku tinggal di kampung (walaupun bukan pelosok), makanya lingkungan sekitar rumah kami juga masih banyak orang yang bekerja sebagai tukang becak, penjual makanan (buka warung), pedagang kelontong, dan sebagainya :)
Setelah aku SMP sampai sekarang, sudah gak sering lagi naik becak. Paling-paling kalo memang dalam kondisi tertentu yang mengharuskan aku naik becak. Misalnya ketika aku pulang dari Surabaya ke Kediri naik bus. Di Kediri, aku biasa turun dari bus di Alun-alun Kota Kediri, perempatan Masjid Agung Kediri. Pilihannya hanya dua: aku jalan kaki sampai rumah (jarak alun-alun ke rumah hanya 400 meter), atau naik becak yang memang sudah ngetem alias mangkal berjejer di sana.
sumbernya lupa, dari googling |
Sebagai penumpang yang berpengalaman (yaelah naik becak aja pake berpengalaman segala), aku merasa sangat terusik ketika para tukang becak itu menawarkan tarif yang melambung. Yang mana aku sudah sangat hafal, bahwa seharusnya tarifnya tidak semahal itu.
Setelah aku menyebutkan arah rumahku (yang hanya berjarak 400 meter dari alun-alun tadi), biasanya kan aku tanya, "Pinten, pak?" (Berapa, pak?)
"Sedasa mawon, mbak". (Sepuluh ribu aja, mbak)
Yang bener aja? Untuk jarak dekat yang jalannya tinggal lurus dan masuk ke gang kanan jalan, guweh harus membayar sepuluh ribuu?!?!
Jiwa emak-emakku pun terusik. Aku harus menawar!
"Walah pak, wong celak kemawon. Gangsal, nggih." (Oalah pak, deket aja loh. Lima ribu yah?)
"Dereng pareng mbak. Regi-regi mundhak sedaya lo mbak, kok gangsal ewu." (Belum boleh mbak. Harga-harga pada naik semua, kok minta lima ribu?)
"Kula saben minggu wangsul lo pak. Kula ngertos mboten ngantos sedasa ewu." (Tiap minggu saya pulang kesini lo Pak. Saya tau gak sampe sepuluh ribu tuh)
"Peh, mboten mbak!" (Gak boleh, mbak)
"Nggih sampun!" (Ya sudah!)
Kemudian aku melengos dan beralih ke becak selanjutnya, di depannya. Kadang ada yang boleh ditawar, kadang ada yang gak boleh.
Taktikku adalah begini: Mereka hampir pasti menawarkan harga 10.000 atau 12.000. Lalu aku tawar 5.000, dan biasanya mereka gak boleh. Mereka akan menaikkan jadi 8.000. Aku gak mau. Aku bilang 7.000, kalo gak mau ya sudah, aku (pura-pura) pergi jalan kaki. Biasanya mereka akan memanggilku kembali. Yang artinya mereka setuju tarifnya cukup 7.000 saja.
OMG! Cara emak-emak banget kan ya? Eh tapi jangan-jangan ada bapak-bapak juga yang sering pake jurus "lo gak mau, gue tinggal" juga? Hayo ngakuuuu... Pasti keseringan belanja di pasar tuh :p
Dari beberapa kali eksperimen, akhirnya aku menyimpulkan bahwa tarif yang masih acceptable olehku dan oleh para tukang becak itu ada di harga Rp 7.000,- untuk jarak 400 meter.
Pernah suatu kali entah karena aku yang capek, bete, atau karena cuaca yang panas, aku kok ya mau-maunya sedikit ngeyel dengan mereka. Setelah salah seorang tukang becak gak mau dengan tarif 5.000, aku pindah ke becak yang lain, eh tukang becak yang pertama malah bilang, "Masak rana mek 5.000 pak!" (masak kesana cuma lima ribu, pak!). Artinya dia turut memprovokasi yang lain untuk tidak menyetujui tarif yang aku ajukan. Ada satu becak lagi selanjutnya yang juga gak mau. Lalu aku pindah ke becak yang paling ujung, yang merupakan antrian terakhir, dan dia mau.
Sebenarnya menurutku ada 2 alasan kenapa dia mau: pertama, memang dia ikhlas dibayar segitu. Kedua, daripada dia nunggu antrian lama karena paling belakang, makanya dia mending dapat penumpang walau dengan harga sekedarnya saja.
Setelah aku naik, malah tukang-tukang becak lain mengolok-olok tukang becak ini. Intinya, kok mau sih? Kan murah? Ya sebenernya bisa dipahami juga sih ya. Seorang pedagang yang memberikan harga lebih murah daripada yang lain, apalagi di sebuah lokasi yang berdekatan, akan bisa merusak harga pasaran. Pelanggan akan cenderung memilih yang lebih murah, yang mana akan membuat tidak laku pedagang yang mematok harga lebih tinggi. Toh namanya juga becak, paling layanannya juga gak jauh beda antara becak satu dengan yang lain.
Akhirnya, entah kesambet setan apa, aku malah ngomel-ngomel di jalan kepada pak becak ini. Maksudnya curhat sama tukang becak yang becaknya aku naiki ini. Curhat??? #SoundsWrong
"Kula niki ben minggu wangsul lo pak. Kula apal pinten regine. Sedasa ewu lak mboten masuk akal." (Saya ini tiap minggu pulang lho pak -padahal gak tiap minggu juga sih-. Saya hafal berapa tarifnya. Kalo sepuluh ribu yang gak masuk akal.)
"Nggih mbak." (Iya, mbak)
"Penumpang ngeten niki kan mboten kok mboten gadhah yatra, tapi nggih mbok ingkang wajar matok regi. Wong celak mawon!" (Penumpang gini ini kan bukan berarti gak punya uang, tapi mbok yang wajar kalo mematok tarif!)
"Nggih mbak. Kula ni nate ngeteraken panjenengan lho mbak teng mriki." (Iya mbak. Saya ini pernah mengantar mbak kesini loh sebelumnya.) *setelah sampai rumah*
"Lho, nggih to pak?" (Lho iya to pak?)
*memandang lekat-lekat ke arah pak becak* (kenapa jadi romantis gini?)
*gagal mengingat wajahnya*
"Sampun pak, menika." (Sudah pak sampai sini. Ini uangnya)
*aku menyodorkan duit sepuluh ribu*
"Menika kula tambahi dados sedasa ewu." (Ini saya tambahi jadi sepuluh ribu)
"Wah, matur nuwun mbak. Gusti Allah ingkang mbales." (Wah terima kasih mbak. Allah yang membalas."
"Amin, suwun pak." (Amin, terima kasih pak)
Yah, waktu itu aku berpikir bahwa memang bukannya pelanggan tidak punya uang lebih ketika menawar harga lebih murah. Tapi mbok ya ngasih harga yang wajar, yang memang seperti biasanya. Jangan sampai yang gak masuk akal. Apalagi sampai sikapnya menyebalkan pelanggan.
Trus akhirnya aku mikir lagi. Bukankah memang wajar (juga) ketika pedangang memberikan harga setinggi-tingginya? Toh nanti oleh pelanggan pasti akan ditawar lagi ke harga yang lebih rendah. Trus apa gunanya tadi aku kesel, bete, dan ngomel-ngomel sepanjang jalan?
EMANG GAK ADA GUNANYA SIH!
Termasuk cerita ini, jangan-jangan emang gak berguna buat kalian? Hahahaha...
Whatever, selamat puasa, guys bagi yang menjalankan! Jangan sampe pahalamu terhapus oleh kebencian kepada orang lain yang sebenarnya tidak perlu ;) Jangan seperti gue itu.
Wassalamu'alaikum
~written from my sis' room. Bintaro, Tangerang Selatan~
Huaha.. akhirnya update juga XD wahh beca.. terakhir aq pke beca itu waktu ke tasik.. di Bandung mah udah jarang...
ReplyDeleteHarga jasa beca jadi mahal soalnya udah jarang yang pake, jadi begitu ada yang pakai ya harganya dimahalin, biar dptnya lumyan, coba klo yang naik beca rame.. kurang dari 5000 juga pasti mau.. :D
nulisnya "beca" ya, bukan becak? BECA sih nama temenku, nama lengkapnya reBECA *dilempar becak*
Deleteiya juga kali ya. Wah mantap bener analisis dari pakar IT kita ini :p
hahaha ahh aku mah blm jadi pakar :D masih belajar kok...
Deleteklo soal penulisan sih, mungkin karena kebiasaan pelapalan aja, klo ditulis "becak" pelapalan untuk "cak"nya itu agak disentakin.. halah.. apa lagi disentakin.. haha kyk ngomong "cecak" tp pelapalannya ga ditekan, jadi nulisnya beca.. :D
Ngerti ga sih? ga kan? y udah.. mending bobo, tp jangan lp minum susu, cuci kaki dan berdoa yah :")
PELAFALAN, bukan pelapalan pake "p".
Deleteiye, gue ngerti lah maksud lo, Kang...
heheh... kapan ya terakhir naik becak, hm... kayaknya sudah hampir setahun lalu di pasuruan waktu pulang ke sana naik bis :)
ReplyDeletePernah dulu pas masih SMA, dolan ke Tulungagung naik sepur dari Jombang. Dari stasiun mau ke Campurdarat harus naik becak dulu ke tempat mangkalnya KOL. Nah itu tawar menawar sampai tukaran sama pak becaknya gara-gara saya salah ucap: "yowes pak nek moh, tak mlaku ae". Pak becaknya mbalesi: "koe ki sek cilik kok omonganmu moh moh, aku iki kerjo gak njaluk duit neng koe, nek ngomong ojo mah moh ngono". Waduh, saya langsung minta maaap deh jadinya, dan tetep gak jadi numpak becaknya :D
Sudah lama ini saya gak nawar lagi kalo naik becak. Dikira-kira sendiri aja pantesnya berapa, dan Alhamdulillah belum pernah ada yang protes kesedikiten ngasihnya. Paling cuman dilihat trus bilang makasih berkali-kali tandanya cukup :)
*komen iki dowone nyaingi postingane :))
huahahaha... Mangkane ta mas, ojo "mah moh mah moh" ae bahasa panjenengan :p
Deletesekarang sih emang alhamdulillah aku juga melebihkan uang, baik untuk becak maupun taksi, yang menurutku pokoknya lebih dari biasanya aku. Tapi tetep sih ya, jiwa emak-emak menuntutku untuk menawar terlebih dulu di awal :))) #sami mawon
hahah ini komennya lucu aahahah aaku ga ngerti ahahahaha.... *bobo*
DeleteSekarang becak itu kudu diotomatisasi. bisa dengan dikasih tenaga listrik, biar tukang becaknya ngga capek-capek banget, becaknya lebih cepet, dan pelanggan lebih puas. hehe. :))
ReplyDeleteismailhidayat.com
ada sih bentor (BEcak MOtor). Tapi kebetulan di Kediri belum ada mas, atau belum umum dipakai, atau setidaknya aku belum pernah menaiki Bentor di Kediri :D
Deleteiya sih ya, lebih manusiawi dan berperike-becak-an untuk kedua belah pihak #halah
Aku benci menawar tarif becak mb..tibake sama y kita, suka banget sm pak becak yg baik hati :) mungkin jiwa LDK membuat kita gampang merasa gak mau didzolimi #okebawa2LDK :D
ReplyDeleteLDKKKKK... apaan tuh? :p
DeleteLatihan Dasar Kepemimpinan itu udah jadul beudh ya bu dokter... Iya, gak mau didzolimi dan jiwa emak2 kita sangat kuat mengakar di hati sanubari :))
Kayaknya memang pantas tarif becak naik karena BBM naik. Toh semahal-mahalnya tarif becak, kehidupan rata-rata penarik becak masih jauh dari sejahtera. Kadang saya juga berpikir, berapa tarif yang pantas bagi penarik becak kalau ingin mereka sejahtera. Tapi seringnya dompet lebih menjerit tatkala saya hendak membayar lebih. Dilematis profesi penarik becak ini...
ReplyDeletefiuuuh... kalo mengukur "sejahtera" sih, selain mungkin masih jauh dari sejahtera, juga subjektif ya Kak ukurannya. Apakah bisa makan 3x sehari sekeluarga itu sudah cukup sejahtera, atau kalo sudah menemukan profesi baru selain penarik becak itu baru dinamakan sejahtera, dst dst.
Deleteya kalo kita punya duit sih, dilebih-lebihkan dikit malah lebih baik :)
Hahaha... ngakak aku baca ceritanya....
ReplyDeleteAduh aduh... ibu2 jangan pelit dong... bagi2 rejeki dong bulan puasa...
aku trakhir naik becak waktu SD kalo ga salah... hoho...
Anyway hal terakhir yg kamu lakukan sama dgnku... Iya biasa lah kita nawar ya... Tapi kalo spanjang jalan kita bs ngobrol akrab dgn abangnya (aku naik ojek) biasanya dari harga kesepakatan bakal aku kasih lebihan... hehehe...
NB : ITU BAHASA JAWAMU alus banget ya... Sumpah aku ga ngerti loh kalo ga ada bahasa Indonesianya... ngerti sih sebagian. yg ga ngerti kayak 10 rebu itu aku bakal ga tau kalo kamu ga sebut Indonesianya...
@Ivan: iya Van, harus pake bahasa Jawa halus alias Krama Inggil, soalnya bicaranya sama orang tua. Kalo enggak, bisa dikepret aku, hahaha...
ReplyDeletesepuluh ribu = sedasa ewu (baca: sedoso ewu). Kadang disebut dengan "sedasa" (sepuluh) aja, ya kayak bahasa indonesia gitu, gak pake kata "ribu" :)
kalau mau murah naik becak di Jogja cuma 5000 diantar kemana mana, tapi kalo sampai kamu ga beli oleh oleh di tempat yang direkomendasikan tukang becak tersebut, kamu bakal di tinggal di tengah jalan
ReplyDeleteoh iya tentang menawar ini menurutku ini masalah psikologis aja (halah sok tau) pernah ga sih kita makan di Pizza hut atau di KFC terus nawar ? padahal harga sebenarnya ga wajar lho (jauh di atas HPP + margin 50%). sebaliknya ketika belanja di pasar bringharjo jogja, aku nawar mati matian dan ajaibnya berhasil (ada kepuasan tersendiri) walaupun akhirnya tak tambahi lagi (karena merasa kasihan setelah berhasil memenangkan negosiasi) :-D :-D
ReplyDeletePengalaman lain waktu nawar di sebuah pasar malam di bangkok, aku hampir pernah di lempar oleh pedagang disana gara gara nawarnya 50% padahal di sini kan wajar hehe)