Ini surat ke sekian puluh yang aku tuliskan tentang kita//
Tentang dua orang sahabat/ yang terus bertumbuh dari tahun ke tahun//
Soal bahagia/ sedih/ luka/ duka dan ketawa//
Tentang engkau yang menua/ IBU//
Dan aku yang mendewasa//
Dan dua sahabat itu/ adalah kita//


Aku teringat kemarin/ saat akan pergi bekerja//
Engkau menangkupkan kedua tanganmu menengadah ke atas//
Meminta Tuhan agar menjaga diriku//
Menjadikanku anak yang terus berguna bagi nusa/ bangsa dan agama//
Yang baaaanyak rizkinya/ luuuuas pengetahuannya/ dan baaaaik akhlaknya//

Aku selalu hampir ketawa ketika engkau menyebutkan doa seperti ini/ “Semoga engkau jadi anak yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama”.
Kenapa aku ketawa? Karena aku ingat betul//
Doa itu/ adalah doa yang kau panjatkan/ sejak anak-anakmu ini masih kecil//
Terlalu kecil tentunya/ untuk tahu apa itu makna menjadi manusia yang berguna//
Yang ada kemudian/ dahulu aku selalu bertanya dalam hati: Seperti apa sih menjadi manusia yang berguna itu?
Apakah seperti dokter? Polisi? Presiden? Atau apa?
Kemudian aku menyerah untuk mencari jawabannya. Itu dulu//

Ibu/
Terima kasih telah menjadi wanita terhebatku//
Engkau telah memperjuangkan/ segala yang perlu diperjuangkan dalam hidupmu//
Hanya demi anak-anakmu//

Terima kasih telah mengizinkanku untuk menjelajahi dunia yang lebih luas//
Melihat Sumatera sampai Papua//
Menjelajah/ berenang/ mengunjungi museum/ bermain di pantai//
Berkenalan dengan orang-orang baru/ dari banyak suku dan agama//
Belajar tentang ilmu Tuhan yang amat luas/ dengan keterbukaan pikiran dan kerendahan hati//

Ingatkah suatu kali aku pernah bertanya padamu, ibu?
“Mengapa engkau tidak khawatir anak perempuanmu pergi jauh sendirian? Menjelajah kota dengan jalan kaki/ tidak tahu arah/ uang terbatas/ menyeberangi lautan/ kemungkinan jatuh dari pesawat/ kemungkinan disakiti orang asing/ dicopet/ dirampok/ dan segala hal yang mungkin terjadi ketika traveling?”
Jawabmu hanya singkat, “Kan ada Allah, Yang Maha Menjaga? Tidak ada sebaik-baik pelindung kecuali Allah.”
Dan jawaban itu sudah cukup bagiku//

Ternyata… Engkau ingin melatihku menjadi perempuan yang tangguh/ yang banyak pengalaman berharga selagi muda/ yang mampu mengatasi berbagai rintangan di jalan/ yang mandiri dan tidak menggantungkan hidup pada orang lain//

Ibu/ mungkin cara mengajimu/ membaca Alquran mu/ tidak lebih indah daripada teman-temanku/ bahkan mahasiswaku//
Namun engkau adalah salah satu orang dengan kepercayaan pada Tuhan yang paling tinggi/ yang pernah kukenal//
Mungkin memang kita pernah sekali dua kali berkeluh kesah tentang hidup//
Tentang takdir yang tak sesuai dengan apa yang kita harapkan//
Tapi kemudian di ujung kalimat/ engkau selalu menyadari dengan mengatakan, “Ah, tidak boleh mengeluh, Tuhan Maha Adil. Tuhan Maha Kaya. Tuhan Maha Pemurah.”

Ibu, pada usia ini//
Aku telah memiliki segaaaaala apa yang Tuhan ingin aku miliki saat ini//
Aku punya teman-teman yang baik/ mahasiswa-mahasiswi yang baik/ perpustakaan yang penuh buku, seperti impianku saat sekolah dulu/ pekerjaan yang baik/ penghasilan yang halal/ dan lingkungan yang baik pula.
Sedangkan apa yang belum aku miliki pada usia ini, seolah Tuhan berkata, “AKU memang belum menginginkanmu memiliki itu!”
Dan aku tidak berani menggugatnya.

Engkau selalu berkata, “Sabar, nduk. Cukuplah Allah bagi kita. Allah Maha Tahu, sedangkan kita tidak tahu apa-apa.”
Kemudian tidak ada kata lain selain selalu bersyukur/ berbaik sangka/ dan berbuat kebajikan//

Ibu/ doakan aku menjadi wanita hebat sepertimu//
Yang teguh pendirian/ yang sedikit mengeluh/ yang selalu memikirkan nasib orang lain/ yang profesional dalam bekerja/ yang mencintai anak-anak dengan tulus//
Bukan hanya cinta yang lebih banyak/ tetapi cinta yang lebih baik//
Menjadi wanita yang mudah memaafkan/ yang tidak berkata kecuali yang benar/ yang kuat menghadapi segala ujian hidup/ sekeras apapun itu//

Doakan aku mewujud seperti doamu sejak kami kecil dulu: MENJADI WANITA YANG BERGUNA BAGI NUSA, BANGSA DAN AGAMA//
Menjadi orang yang berdampak luas pada masyarakat//
Doakan aku menjadi pendampingmu di surga/ seperti mimpimu selalu/ untuk dapat bersanding dengan Rasulullah kelak di sana///
=========================================================


nb: Proses penulisan puisi di atas berlangsung beberapa jam, menjelang hingga lewat tengah malam. Semalam sebelum aku bacakan di depan teman-teman dosen dan mahasiswa di rumah. Ditemani lagu Virgoun berjudul "Surat Cinta untuk Starla" yang aku putar berulang kali. Semakin dalam aku renungi liriknya, semakin menunjukkan betapa besar cinta seorang ayah (Virgoun) untuk anaknya (Starla). Dan ini menambah inspirasi sekali mengenai hubungan cinta antara orangtua dan anak.

Kutuliskan kenangan tentang… caraku menemukan dirimu.
Tentang apa yang membuatku mudah… berikan hatiku padamu.
Takkan habis sejuta lagu… untuk menceritakan cantikmu.
Kan teramat panjang puisi... tuk menyuratkan cinta ini.