Rating 4/5.

Ini buku @andreahirata__ pertama yang kubaca tuntas. Dulu sempat membaca beberapa halaman Laskar Pelangi dan urung melanjutkan karena sudah keduluan nonton filmnya. Apalagi setelah itu Sang Pemimpi dan Edensor juga rilis di bioskop.

Novel dengan tiga alur yang berbeda, yang membuat bingung di awal. Baru setelah halaman 80an ke atas, aku mulai bisa menikmati pelintiran-pelintiran plotnya. Antara plot Tara dan Tegar, plot Hob dan Instalatur Suruhudin, juga plot si pohon delima.

Aku rasa, Andrea menabrak banyak sekali tatanan EYD dan tata tulis baku bahasa Indonesia. Banyak kata berulang dalam satu kalimat, pemisahan dan penggabungan kata yang semena-mena, juga penempatan tanda baca seenak jidat. Tapi justru itu yang membuat menarik. Rasa bahasa yang berbeda dari novel kebanyakan.

Sirkus Pohon cerita soal fenomena yang umum terjadi (bersetting di tanah Melayu) dengan analogi sebuah sirkus. Walau juga ada cerita tentang pertunjukan sirkus betulan juga di dalamnya. Bagaimana Tuhan membuat rencana-rencana rahasia yang sulit dipahami manusia, yang kalau dipikir-pikir mirip sirkus: unik, tak terduga, bikin deg-degan, dan terkadang berakhir manis ataupun pahit. Suka-suka sutradaranya.

Secara umum aku bisa menikmati buku ini dan mengakui kepiawaian Andrea dalam mengolah kata.

Btw, Museum Kata Andrea Hirata di Belitung bagus loh. Pariwisata Belitung moncer sejak Laskar Pelangi booming. Bukunya telah diterjemahkan dalam 40 bahasa dan diedarkan ke 130 negara. Aku sudah jatuh cinta duluan dengan sosok Andrea sebelum membaca karyanya. Ahey!

Rating 4/5.

Buku pertama Leila S. Chudori yang kubaca. Pasti setelah ini kupertimbangkan untuk membaca novelnya yang lain berjudul Pulang.

Sejak tahu Leila adalah wartawati majalah berita Tempo dari 1989 hingga sekarang, sudah kuduga sosok Nadira yang menjadi sentral cerita ini tak jauh2 dari kehidupan asli dia. Leila yang pernah kuliah di Victoria, Kanada, barang tentu fasih sekali menceritakan detail seting di sana. Juga soal suka duka menjadi reporter dan kehidupan jurnalistik Indonesia.

Membaca novel ini seolah suram sekali. Gelap, sedih, getir, dan penuh teka-teki. Entah kenapa kecepatan membacaku menurun. Mungkin spasi antar baris yang lebih rapat, atau alur yang butuh dicerna lebih baik.

Aku membayangkan Leila membuat plot maju-mundur dengan repot sekali. Tokohnya banyak. Alurnya banyak. Setiap tokoh tak luput dari pendeskripsian yang unik mengenai sebab-akibat dari suatu kejadian.

Ada alur soal Kemala dan Bram tahun 1963, lalu meloncat ke alur ketika Kemala mati bunuh diri tahun 1991, kemudian tahun 1974 ketika Arya, Nina dan Nadira masuk masa remaja, hingga tahun 2011 yang menjadi pungkasan cerita.

Tokoh Utara Bayu sang pimred majalah Tera, Tito sang konglomerat, Niko Yuliar sang aktivis dan penyair, Gilang Sukma si koreografer dan Satimin si office boy turut diceritakan dengan menarik.

Secara psikologis, novel ini membantu pembaca untuk menyadari bahwa tidak ada penyebab tunggal dari suatu kejadian. Ada benang ruwet di belakang kisah masing2 orang yang saling berkait dan menyumbang munculnya sebuah pemikiran, perasaan dan perbuatan tertentu. Apakah akhirnya Nadira tahu alasan ibunya memutuskan mengakhiri hidup?

Mbak Leila, you made it!
Selasa, 14 Maret 2017.

Selepas shalat Dhuhur jam 14.00 WIT, perut saya keroncongan. Sebetulnya sudah ngantuk dan lelah dengan senam jantung soal penginapan yang ternyata terletak di Lorong Arab, sebuah gang sempit yang tidak kearab-araban sama sekali di Ambon, Maluku. Namun waktu menuju senja masih panjang. Rugi rasanya jika hanya dihabiskan untuk tidur di penginapan.

Dengan menahan rasa kantuk dan membulatkan tekad, saya menyiapkan tas punggung. Laptop dan dompet ditinggal di dalam koper, di tengah-tengah tumpukan baju, menggembok, dan menyimpan kuncinya baik-baik. KTP selalu saya bawa, dengan asumsi jika terjadi apa-apa, misal kecelakaan atau meninggal, orang akan dengan mudah mengenali identitas saya. Tidak perlu protes soal ini, karena seperti itulah yang saya pikirkan setiap kali bepergian. Bersiap untuk hal terburuk sekalipun. Saya hanya membawa uang receh beberapa puluh ribu karena memang tidak berencana beli-beli, hanya ingin jalan kaki dan menikmati Ambon sore sendirian.

Saya mengganti sepatu kerja dengan sandal jepit seharga Rp 13.000,- di toko kecil ujung Lorong Arab, di daerah Waihaong. Saya mencari-cari makanan halal apa yang sekiranya ada di sekitar sana. Mie ayam cukup menggoda untuk mampir ke kedai yang sepi, di sebelah Masjid Raya Al-Fattah. Harganya Rp 15.000,- dan masih cocok untuk kantong.

Benteng Victoria yang Menipu
Setelah kenyang, saya membuka google map dan melacak keberadaan Benteng Victoria yang dijanjikan mbak resepsionis sangat dekat dengan hotel. Ternyata benar, hanya 3 menit berjalan kaki dari tempat saya makan. Saya kembali ke Lorong Arab yang sebelah selatan, dan memanglah benar bahwa di Indonesia masih buruk soal fasilitas untuk para pejalan kakinya. Trotoar dipenuhi orang-orang yang menjajakan dagangan atau sekedar menggeret kursi untuk duduk santai sambil mengobrol dengan temannya. Di tepi jalan yang sempit, mobil-mobil pengunjung/ tamu/ pembeli berparkir paralel dari ujung ke ujung. Saya terpaksa harus berkali-kali melihat ke belakang karena khawatir terserempet kendaraan yang lewat. Tampak ada lebih dari sepuluh penginapan di sana. Beberapa namanya pernah saya baca di internet selama proses pencarian penginapan kemarin. Saya asumsikan, mereka adalah penginapan murah yang memang dikhususkan untuk tamu yang tidak terlalu mencari fasilitas mewah. Hanya sekedar numpang tidur. Bahkan saya bertemu dengan backpacker dari Batam yang juga menginap di Lorong Arab dengan harga kamar Rp 80.000,-/malam. Haha kalah jauh saya kalau soal berani-beranian tidak nyaman begitu.

Saya yang terbiasa berjalan agak cepat, terus mengikuti arahan dari google map. Sampai di persimpangan, saya bingung ini petanya mengarah kemana. Tampak sudah dekat betul, tapi saya tidak melihat ada tanda-tanda, plang, atau tulisan benteng apapun di sana. Berbekal nekat, saya belok kiri. Agak jauh, kok malah melenceng dari peta. Bahkan sampai mentok lagi ke pelabuhan. Saya tanya mbak-mbak yang sedang parkir di SPBU dimana letak Benteng Victoria, dia hanya menggeleng. Keanehan pertama terjadi. Oke, saya memutuskan untuk berbalik arah dan mengikuti peta lagi. Saya tanya ke mas-mas penjaga toko, tapi cukup dongkol karena mendapat jawaban serupa. Ketika petunjuk di map sudah dekat, ternyata saya kembali ke titik awal ketika saya bingung tadi. Oh, saya jadi bisa mengimajinasikan bentuk daerah itu. Dimana penginapan saya, dimana pelabuhan, dan dimana perempatan sumber nyasar tadi. Bentuknya kotak saja.

Akhirnya saya memutuskan belok kiri, tapi mentok juga. Bapak-bapak bilang dekat SPBU khusus marinir. Sudah ketemu SPBU nya, tapi kok ya cuma seperti itu, tidak tampak benteng sama sekali. Belok kiri sekali lagi untuk mencari orang yang bisa ditanyai, ada ibu-ibu yang mengangkat bahunya ketika saya tanya. “Ibu asli orang sini?” tanya saya jengkel. Padahal google map saya jelas-jelas sudah membunyikan “You are arrived!” Tiga orang saya temui dan tidak ada jawaban yang memuaskan. Akhirnya saya bertemu dengan anggota TNI dan dia bilang masuk bentengnya dari depan. Saya berputar sekali lagi, mencari mana depan yang dimaksud si bapak. Melewati ATM BRI, belok kiri, ada pos penjagaan di sana. Saya mengatakan ingin mengunjungi benteng Victoria, mereka ganti bertanya saya siapa dan ada keperluan apa. Lhah!

Sebetulnya malas sekali menjelaskan saya dari blablabla, untuk tujuan blablabla ke Ambon, dan seterusnya. Tapi daripada nanti dibedhil senjata laras panjang di pundak mereka, terpaksalah saya beramah-tamah dalam kondisi kaki setengah mau copot seperti itu. Saya hanya mengatakan berasal dari Jawa dan ingin cari tempat wisata, googling, nemulah nama Benteng Victoria, dan ingin melihatnya. Sesederhana itu. Bapak penjaga piket bilang, saya masih harus jalan lurus, nanti ada pos piket lagi di dalam. Kok aneh ya? Ke dalam, berarti saya masuk ke kompleks TNI dong? Karena penasaran, jalan lagilah saya. Di pos dalam, ditanya ulang saya ini siapa, dari mana, mau apa ke benteng. “Wartawan, ya?” tebaknya. “Bukaaaaaan! Saya cuma orang biasa pak, mau jalan-jalan aja, mau lihat benteng yang terkenal di internet itu loh!”

Ternyata oh ternyata, lokasi Benteng Victoria memang di dalam kompleks TNI dan harus ada surat izin dari pos piket sebelah entahlah mana lagi. Kecuali saya berombongan, akan lebih mudah memintakan surat izinnya. Dulu memang pernah dibuka untuk umum, tapi sekarang tidak. Seperti menjadi lokasi yang dilindungi ketat. Saya yang melihat jam sudah semakin sore, tidak sudi untuk jalan ke pos selanjutnya hanya untuk ditanya hal serupa dan dioper-oper lagi demi mendapatkan surat izin masuk benteng.

Jadi, apakah saya merekomendasikan Benteng Victoria untuk dikunjungi selama di Ambon? TENTU TIDAK! Kecuali Anda datang berombongan, dengan tujuan tertentu yang “jelas”, memiliki surat izin dari pos piket yang resmi, atau memberitahukan akan kunjungan Anda beberapa hari sebelumnya, bolehlah mencoba keberuntungan ke sana. Jadi kalau ingin lihat gambar bentengnya seperti apa, cari di internet sendiri ya, hehehe. 

Taman Pattimura (Pattimura Park), Lokasi Pahlawan Nasional Thomas Matulessy Digantung
Berjarak seperseberangan jalan dari Kompleks TNI yang bikin sewot, ada Taman Pattimura yang terkenal. Saya yang tidak suka sejarah, seolah baru tersadar kembali bahwa Pattimura alias Thomas Matulessy adalah pahlawan yang berasal dari Ambon, Maluku. Dan tersadar untuk ke dua kalinya, bahwa Pattimura meninggal dengan cara digantung pada tahun 1817, kemudian konon jenazahnya ditenggelamkan di lautan. Tidak ada makam Pattimura di Ambon.

Tamannya luas, dengan pohon-pohon besar di sekelilingnya. Ada dua lapangan basket yang biasa dibuat olahraga para pemuda Ambon, tepat di depan patung yang berdiri menjulang kokoh seolah menyebarkan semangat untuk terus berjuang sampai akhir hayat ini. Di bawah patung, ada relief yang menceritakan perjuangan Pattimura zaman dahulu. 


Lapangan Pattimura
Yang paling bikin merinding, di prasastinya yang dibuat pada 15 Mei 2008 dan ditandatangani oleh Walikota Ambon pada saat itu, Drs. M. J. Papilaja, MS, tertulis seperti ini:
“Pattimura Park (Taman Pattimura) ini adalah apresiasi penghargaan atas semangat kejuangan Kapitan Pattimura dan kawan-kawan, agar kita selalu mengingat pesan terakhir Kapitan Pattimura sebelum menaiki tiang gantungan pada tahun 1817 di tempat ini, bahwa “Beta akan mati..., tapi nanti akan bangkit Pattimura-Pattimura muda yang akan meneruskan beta punya perjuangan...”

Relief yang menceritakan Pahlawan Pattimura digantung



Wow! Saya menarik nafas panjang. Perjuangan yang gigih dan impian yang optimis. Tidak mengenal takut, dan lebih memilih mati daripada harus menyerah pada penjajah Belanda. Hati rasanya gerimis. 

(bersambung)