Sampai sekarang pun, aku masih belum bisa membayangkan bagaimana perasaan Hida sekeluarga ditinggal ayahanda yang bergitu mendadak. Bisa jadi tanpa tanda-tanda atau isyarat yang terbaca jelas sebelum kepergian beliau.
Masih teringat bagaimana Hida begitu menyayangi, kagum, serta bangga terhadap ayahnya. Selalu menyenangkan ketika aku mendengarkan bagaimana seorang anak sangat mencintai orangtuanya. Ayah yang humoris, bertanggung jawab terhadap keluarga, baik hati, memberi nasihat-nasihat yang menguatkan sekaligus melembutkan hati, sukses di dunia, dan insya Allah juga nanti bahagia di akhirat. Bahkan Hida seingatku pernah cerita jika mencari sosok calon suami, ingin yang memiliki sifat-sifat baik seperti ayahnya. Aku yang sudah sangat lama ditinggal bapak, hanya bisa tersenyum dan mengangguk-angguk mendengar penuturannya kala itu.
Mungkin aku kurang beruntung belum sempat bertemu dengan ayahanda Hida secara langsung. Bisa jadi, sosok ayahanda sebenarnya lebih hebat daripada yang bisa diceritakan oleh Hida.
Dan kemarin ketika aku membaca tulisan Hida bahwa banyak sekali saudara, kerabat, sahabat, teman, dan tetangga yang takziyah hingga mengirimkan doa di rumahnya Balikpapan, aku semakin yakin ayahanda memanglah orang yang baik selama hidupnya. Aku sempat baca beberapa komentar di bawahnya, dan tersenyum sekaligus terharu melihat beberapa orang yang bersaksi bahwa ayahanda adalah orang yang senang bergurau, memiliki kepribadian yang menarik, ketua majelis ta’lim di lingkungannya, dan sebagainya. Kalau kalian tahu bedanya antara orang-yang-baik-saja dan orang-yang-meninggalkan-kesan-mendalam-terhadap-yang-ditinggalkan, yang ke dua itulah gambaran diri beliau.
***
Speaking of Hida, siapa sih Hida itu? Dia sahabatku yang kukenal sejak Ospek mahasiswa 11 tahun silam, tepatnya sekitar September 2005 di S1 Psikologi Unair. Kelompok Ospek kami bernama MASLOW (salah satu nama tokoh Psikologi dunia).
Pertemanan kami berlanjut ketika kami satu halaqoh/ kelompok mengaji bersama Putri Maharani, Ifa Nurdiyani, Afina Purnama Sari, Lutfa Hasanah, dan Ulfah Mariana. Mungkin di awal lebih banyak anggotanya, tapi lama-kelamaan menjadi lebih sedikit. Yang aku sebutkan di atas, sekarang sudah mencar kemana-kemana.
Kami juga satu organisasi di BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) di bawah pimpinan mas Sugiarto sekitar tahun 2007-2008 an. Ingeeet bener, pas aku jadi panitia Seksi Dana Usaha untuk sebuah kegiatan gede, kita jualan minuman bareng di depan kampus. Karena mas yang bikin esnya telat dan udah deket banget waktu berbuka puasa, akhirnya es kita banyak yang nggak laku. Orang-orang sudah pada beli takjil di tempat lain. Trus kita balik ke gazebo kampus, dan aku nangis sesenggukan di bahumu. Aku bilang, aku sedih, aku gagal jualan hari itu, es kita yang masih segentong mau dikemanain. Wakakakakak. Romantis yah kita :p
Tidak banyak yang tahu, bahwa aku dan Hida sampai sekarang masih saling memanggil “ukhti” jika bertemu atau chatting. Hahaha. Kebiasaan yang dimulai sejak ngaji bareng dulu. Cuma kalau ada orang lain saja kami saling memanggil nama, dan itu rasanya malah aneh.
Meskipun dipanggil ukhti begitu, tidak selamanya kami ini “lurus”. Kadang kami somplak (gila, gokil) barengan, tapi dia lebih somplak lagi sih. Dia menyebutku sebagai orang yang gampang banget dibikin tertawa. Hal kecil yang mungkin menurut orang lain nggak lucu, sudah bisa bikin aku tertawa. Dan katanya, kalau sudah ketawa, aku susah diamnya.
Pertemuan beberapa kali setelah sama-sama lulus lebih banyak diwarnai oleh nuansa pekerjaan, proyekan. Di luar itu, beberapa kali kami makan dan nonton bareng, bersama Sariri, sahabat kami yang lain.
Melihatnya sebagai wanita yang mandiri, menikmati hidup, senang berbagi, mencintai kaluarga, sudah pasti itu karena dukungan dan teladan dari orangtuanya. She’s happy with her own way.
Mendengar ceritanya tentang ayah dan ibunya yang akhir-akhir ini lebih sering di Jawa daripada Kalimantan, tentang adiknya yang juga mengambil S1 Psikologi dan ia turut memotivasi untuk mencapai prestasi terbaik, juga tentang ibunya yang senang membuat kue, menjahit, ikut pengajian, menjadi sosok ibu rumah tangga yang dicintai anak-anaknya. Sayangnya juga, aku belum sempat bertemu ibunya secara langsung. Mungkin suatu hari nanti, jika Allah berkehendak.
Hida, aku pikir kamu tidak butuh banyak nasihat saat ini tentang kepulangan ayahmu. Sudah banyak yang menguatkanmu secara langsung di Kalimantan, seperti yang kamu tulis kapan hari. Kamu, adikmu, dan ibumu, aku yakin bisa kuat lebih dari yang kami bayangkan. Didikan ayahmu tentang agama, aku rasa lebih dari cukup untuk menuntunmu selepas kepulangan beliau.
Teriring doa semoga ayahanda diberikan nikmat kubur, dimudahkan saat hisab di Padang Mahsyar kelak, dan mendapatkan surga beserta kamu, adik, ibumu, dan orang-orang yang kalian cintai nanti.
Ayah tidak pergi, tapi ayah PULANG. Kepada yang memilikinya. Yang paaaaling mencintainya dibandingkan seluruh jagad raya ini.
Senyummu indah, dan akan selalu indah, ukhti.
Salam somplak!
MasyaaAllah... Jadi haru biru membacanya... :')
ReplyDeletehe em mbak :)
Delete