Catatan 19 Ramadhan 1437 H: SUDDEN DEAFNESS

, , 3 comments
DISCLAIMER: Harap tidak menjadikan tulisan ini sebagai bahan rujukan dalam menyusun karya ilmiah, baik oleh siswa maupun mahasiswa segala jurusan. Juga tidak untuk mendiagnosis sebuah penyakit. Penulis tidak memiliki latar belakang sama sekali di bidang kedokteran dan hanya menyarikan dari berbagai sumber untuk kepentingan pribadi. Data yang disajikan mungkin tidak valid karena keterbatasan sumber bacaan.

***

Rabu pagi ibuk akhirnya melakukan audiometri atau tes pendengaran di RS Gambiran.


Sebetulnya dr. Syamsul Arief, Sp. THT-KL memberi rujukan untuk melakukan tes di Klinik S, sebelah selatan Gambiran. Kami kesana, sudah menunggu antrian beberapa orang, dan ternyata alat yang dimaksud sedang... rusak. Tapi tenang saja, aku sudah melabrak protes ke mbak di lobinya, bilang bahwa seharusnya ia mengetahui kondisi alat yang rusak, sehingga ketika ada pasien yang kebutuhannya untuk tes pendengaran, bisa langsung diberi informasi bahwa hari itu sedang tidak bisa melayani pengetesan. Bukannya apa-apa sih, tapi kondisi ibuk untuk bangun dari kasur juga masih susah payah karena vertigonya masih ada setelah seminggu. Kan sayang kalau disana sudah nunggu, ternyata hasilnya nihil.

Karena tidak membawa surat rujukan dari Puskesmas dan agak kapok dengan pelayanan pasien peserta Askes karena lamanya, maka aku memutuskan untuk melakukan audiometri ibuk sebagai pasien “umum” (berbayar mandiri). Bedanya hanya kami tidak memerlukan surat rujukan dari Puskesmas dan membayar karcis poli sebesar Rp 50.000,-. Antrinya sih ternyata... tetep. Oya, kalau ada yang ingin tahu, biaya audiometri Rp 120.000,-. Kalau pakai Askes (atau BPJS) mah semua gratis tis tis.

Tiba gilirannya, ibuk masuk ke dalam sebuah kotak kecil dan blabla aku nggak ngerti karena disuruh nunggu di luar. Kata ibuk, pertama dipasangkan semacam headset di kedua telinga lalu diperdengarkan nada-nada. Bukan lagu ya, tapi semacam not aja. Kalau bisa mendengar, ibuk diminta memencet tombol yang dibawanya. Jika tidak, tidak usah memencet. Ada beberapa nada yang diperdengarkan. Selanjutnya, ada alat yang lebih kecil yang ditempelkan satu di bagian pelipis kiri dan satu di belakang telinga kanan, lalu diperdengarkan kembali beberapa nada dan diminta memencet tombol apabila dapat mendengar. Kemudian ganti, alat diletakkan di pelipis kanan dan belakang telinga kiri dst. Beberapa menit kemudian, hasilnya sudah keluar dan kami diberikan printout yang disebut audiogram alias diagram audio. Penampakannya seperti ini:
Contoh audiogram. Sumber: google.com
Pertama baca aku sama sekali tidak tahu maksudnya apa. Ya iyalah, itu ranahnya dokter spesialis THT yang bisa menjelaskan secara detail. Tapi berbekal kekepoan yang amat sangat, aku sempat bertanya kepada petugas yang mengetes ibuk, bagaimana hasilnya (makna dari diagram itu). Petugasnya bilang, telinga sebelah kiri sudah tidak bisa dengar sama sekali, sedangkan yang sebelah kanan masih dengar walau sedikit. Kucocokkan dengan diagram yang kupegang, oh ternyata benar, yang ada tanda silangnya berarti artinya tidak bisa mendengar. Sedangkan yang lain ada tanda bulat-bulatnya, yang artinya masih bisa dengar.

Secara umum, begini cara membaca diagram (atau aku lebih familiar menyebutnya grafik) contoh di atas:
  • Aksis vertikal menunjukkan volume/ intensitas suara yang dinyatakan dalam satuan desibel/ decibel (dB). Semakin garis hasil tesnya ke bawah, gampangannya semakin besar volume yang dibutuhkan seseorang untuk dapat mendengar suara. Grafik ibuk untuk telinga sebelah kanan ada di angka rata-rata 80, yang artinya tingkat hearing-loss (gangguan pendengarannya) severe atau parah. Sedangkan telinga kiri rata-rata di angka 100, yang artinya sudah benar-benar tidak dapat mendengar (profound).
  • Zero decibel di bagian atas menunjukkan suara paling halus/ kecil yang masih dapat didengar oleh telinga normal, yaitu berkisar antara 0-25 dB. Semakin grafik ke bawah, semakin tidak dengar. Singkatnya demikian.
  • Aksis horizontal menunjukkan frekuensi/ nada yang diukur dengan satuan Hertz (Hz). Semakin ke kanan di grafik, semakin tinggi frekuensi nada yang diperdengarkan. Seperti tuts piano, semakin ke kiri nada yang dihasilkan semakin rendah, dan semakin ke kanan nadanya semakin tinggi. Percakapan biasa manusia (bukan berbisik maupun berteriak) berkisar antara 500-3000 Hz. Jadi grafik pada angka horizontal 500-3000 lah yang dibaca/ dianalisis ketika membaca sebuah audiogram.
***

Sepulang dari tes audiometri, penasaranku semakin meningkat tentang apa yang dikatakan oleh petugas RS tadi. Jadi, ibuk benar-benar tidak bisa mendengar di telinga kirinya? Jujur aku agak kaget, tapi juga agak tidak kaget. Sejak awal dokter bilang ada kemungkinan-kemungkinan terburuk yang menyertai vertigo dan telinga berdenging dulu, sebetulnya aku sudah menyiapkan diri untuk segala konsekuensinya.

Bicara dengan mbakku, dia mendorong untuk cepat dan segera bergerak melakukan pemeriksaan, perawatan dan apapun yang perlu dilakukan. Kalau perlu, tidak usah pakai Askes jika pelayanannya lelet. Langsung ke praktik pribadi dokternya saja. Do the best, and do it fast!

Aku sedikit berbohong ketika ibuk tanya bagaimana hasil tesnya. Duh Gusti, ngapunten kula ngapusi ibuk. Aku bilang, aku nggak bisa baca diagramnya, nanti konsultasi lagi hasilnya dengan dr. Syamsul. Untung ibuk percaya saja. Padahal aku sudah tahu sedikit.

Sesampai di rumah, aku browsing... browsing... dengan berbagai kata kunci yang mungkin terkait, seperti:
  • Vertigo, maag, dan gangguan pendengaran;
  • Hubungan antara vertigo, sakit lambung, dan telinga;
  • Hubungan THT, syaraf, dan penyakit dalam;
  • Telinga berdenging, kehilangan pendengaran;
  • Pengaruh hipertensi terhadap syaraf telinga;
  • Pengaruh hipertensi terhadap vertigo;
  • Dll dll yang sesuai dengan keluhan ibuk di awal, yaitu sakit maag, vertigo, hipertensi, dan gangguan pendengaran.

Semua penjelasan dokter umum sejak di IGD kemarin jumat hingga dokter THT didukung oleh banyak artikel yang aku temukan di internet. Ketiga keluhan ibuku memang logis terkait satu sama lain, dan ujungnya memang dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Cari lagi... baca lagi... coba kata kunci baru lagi... dan tiba-tiba aku stuck di artikel berbahasa inggris yang seolah-olah semua penjelasan yang kubaca sebelumnya merujuk pada sebuah istilah yang sangat mengerikan bagiku:

SUDDEN DEAFNESS!

Sudden deafness??!! Tuli mendadak??!!

My eyes stared at my cellphone’s screen. My heart just like stopped beating.

Aku baca dengan seksama tentang apa itu sudden deafness. Ternyata banyak sekali artikel yang menjelaskan tentang ketulian yang terjadi secara tiba-tiba seperti yang dialami oleh ibuku. Kemudian kucoba mengganti kata kunci berbahasa inggris untuk mendapatkan penjelasan yang lebih memuaskan lagi, seperti:
  • What is sudden deafness?
  • What is Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSHL)?
  • What is the difference between SSHL and sudden deafness?
  • Relation between vertigo and sudden deafness
  • Severe dizziness and deafness
  • Hypertension urgency and sudden deafness
  • Symptoms , cause of sudden deafness
  • One-side deafness
  • Tinnitus, meniere -- karena aku dengan dokter IGD sempat bilang tentang tinnitus dan meniere yang saat itu aku sama sekali tidak paham maksudnya
  • Is sudden deafness normal by age?
  • How many cases of sudden deafness in the world?
  • Treatment to sudden deafness patients
  • Etc etc

VERTIGO
Apa sih vertigo itu? Dalam istilah kedokterannya, vertigo adalah sensasi berputar (semacam pusing), yang mana penderitanya menjadi kurang terkoordinasi gerakannya (ya karena rasanya seperti terbalik di roller coaster, atau dari lantai atas gedung bertingkat lalu melihat ke bawah dan mau jatuh aja rasanya). Bayangkan aja kalau mata melek dalam kondisi berdiri, sedangkan dunia di sekitar berputar cepat. Tentu saja bisa langsung nggeblak. Jangankan berdiri, untuk membuka mata ketika berbaring saja akhirnya jadi takut. Hal ini disebabkan karena patologi di dalam telinga, otak, atau jalur syaraf sensori.

Peripheral vertigo merujuk pada vertigo yang disebabkan karena masalah telinga dalam. Sedangkan central vertigo disebabkan karena disfungsi sistem syaraf pusat.

Jadi vertigo hanyalah gejala, bukan sebuah kondisi medis itu sendiri. Gejala yang menyertai vertigo antara lain hilangnya pendengaran, tinnitus, mual, muntah, atau rasa penuh dalam telinga.

Nah, jadi kalau aku cerita ibuk mengalami vertigo, ya begitulah keadannya. Bisa bayangkan?

MENIERE’S DISEASE
Kalau Meniere itu, merupakan penyakit yang sifatnya jangka panjang, progresif, dan mempengaruhi keseimbangan dan organ pendengaran di telinga sebelah dalam. Gejalanya berupa serangan vertigo akut (pusing yang sangat), tinnitus (telinga rasanya penuh/ bergemuruh/ gemrebek bahasa Jawanya), merasa ada tekanan dalam telinga, dan ketulian yang semakin meningkat.

Meniere dapat terjadi pada 1:1500-an populasi penduduk dan dapat menyerang baik perempuan maupun laki-laki pada semua usia. 7-10% yang terserang, ternyata memiliki sejarah keluarga/ keturunan penyakit itu.

Nah, apa penyebabnya? Antara lain karena adanya peningkatan tekanan cairan di endolymphatic sac (mbuh opo iki), faktor alergi pada telinga bagian dalam, atau FAKTOR YANG TIDAK DIKETAHUI. Hubungan antara faktor-faktor tersebut dan peningkatan keparahan penyakit Meniere TIDAK JELAS.

SUDDEN SENSORINEURAL HEARING LOSS (SSHL) or SUDDEN DEAFNESS alias TULI MENDADAK
SSHL adalah kondisi dimana seseorang mengalami penurunan pendengaran yang sangat cepat, dan biasanya hanya menyerang satu telinga, walaupun ada kasus yang menyerang dua telinga sekaligus. Sangat cepat itu artinya sekitar 72 jam (3 hari 3 malam), dan semakin tidak bisa mendengar dalam waktu beberapa hari tersebut.

Di Amerika Serikat, ada 4.000 kasus SSHL setiap tahunnya, dan menyerang orang berusia antara 30-60 tahun. Jadi, hati-hati ya semua kalau sudah masuk usia tersebut. Oya, ibuku sendiri usianya hampir 64 tahun saat ini.

Sebagian besar penderita bisa sembuh dengan cepat ketika dapat didiagnosis dan ditangani segera, dan 15% nya mengalami kondisi yang lebih buruk dari waktu ke waktu. Ada teknologi untuk membantu penderita dapat mendengar lebih baik lagi, yaitu hearing aids (alat bantu dengar/ ABD) atau melakukan bedah dan pasang implan di koklea-nya (organ di dalam telinga berbetuk rumah siput yang berisi syaraf-syaraf pendengaran dan berhubungan dengan otak). Jadi singkatnya, SSHL ini menyerang syaraf di telinga bagian dalam, bukan sekedar tidak bisa mendengar karena tersumbat kotoran di telinga luar ataupun gendangnya rusak.
Anatomi telinga. Persis deh seperti yang dijelaskan dr. Syamsul. Dokternya kok tahu ya? #menurutNgana??? Jadi, telinga ibuk yang diserang adalah bagian inner ear (cochlear & semicircular canals, yang bentuknya menyerupai rumah siput). Sumber: google.com

Apa penyebab SSHL? Ternyata ada lebih dari 100 penyebab yang mana seseorang (atau dokter sekalipun) tidak bisa memastikan penyebab apa yang telah dialami oleh pasiennya. Yeah... pantas saja dokternya tadi juga ketika kudesak bertanya sebenarnya apa penyebab ibuku sampai mengalami ini, dijawab dengan santainya: TIDAK TAHU. Sempet gemes juga sih, kan situ dokter, dan gue bukan, kok situ nggak tahu? Ternyata memang... dari banyak artikel yang kubaca, penyebabnya tidak tahu, tidak jelas, tidak dapat diidentifikasi (unknown, unclear, can’t be identified exactly).

Tapi berikut beberapa kemungkinan mengapa SSHL terjadi:
  1. Malformasi(?) pada telinga dalam
  2. Luka di kepala atau trauma
  3. Paparan suara bising/ keras dalam jangka waktu lama
  4. Penggunaan ototoxic drugs (obat-obatan yang berbahaya bagi sel sensori dalam telinga)
  5. Kondisi neurologis
  6. Penyakit sistem imun tubuh, seperti sindrom Cogan
  7. Penyakit Meniere, yang memengaruhi telinga dalam
  8. Bisa dari gigitan ular (what???)
  9. Adanya pertumbuhan jaringan abnormal atau tumor
  10. Penyakit berkaitan dengan aliran darah
  11. Penuaan/ karena usia
  12. Dll dll dll dll dll banget
***
So... demikianlah ceritanya. Saat ini ibuk sedang melakukan pengobatan (obat minum) dan akan melakukan fitting alat bantu dengar untuk telinga kanannya minggu depan. Sedangkan telinga kirinya kalau menurut hasil audiometri dan konsultasi dengan dokter THT-KL semalam, memang sudah tidak dapat berfungsi lagi.

Kutanya juga bagaimana mempertahankan/ menjaga fungsi telinga kanan agar tidak terjadi seperti telinga kiri lagi, dokternya juga bilang tidak tahu. Geleng-geleng. Tidak bisa dipastikan. Tidak ada yang menjamin. Gemes kuadrat. Aku tanya lagi, apakah dengan menjaga tekanan darah stabil akan cukup membantu? Iya, bisa saja, jawabnya.

Mohon doanya lagi ya teman-teman, agar apapun kondisi ibuk, ibuk bahagia dan ikhlas menerimanya. Dan kamu, kamu, kamu... iya, kamu semua, jaga kesehatan dimanapun berada ya, guys! Salam cinta :)

Sumber referensiku:
  1. https://www.nidcd.nih.gov/health/sudden-deafness
  2. http://emedicine.medscape.com/article/856313-overview
  3. http://american-hearing.org/disorders/sudden-hearing-loss/
  4. http://www.healthline.com/health/sensorineural-deafness#Overview1
  5. http://www.healthline.com/health/hearing-loss-on-one-side#Overview1
  6. http://www.menieres.org.uk/information-and-support/symptoms-and-conditions/menieres-disease
  7. http://www.medicalnewstoday.com/knowledge/160900/vertigo-causes-symptoms-treatments
  8. http://www.hear-it.org/High-blood-pressure-can-lead-to-hearing-loss
  9. http://www.hear-it.org/Impressions-of-hearing-loss-and-Tinnitus-
  10. http://www.hear-it.org/Audiogram-
  11. Wawancara dengan dokter sp. THT-KL, dokter sp. Penyakit Dalam, petugas audiometri, dokter umum di Puskesmas, dan dokter Elok Widya Kirana nun jauh di Tangerang.

3 comments:

  1. oh ya, jadi inget mbak olla :)
    http://www.tribunnews.com/seleb/2015/04/28/olla-ramlan-hanya-mendengar-dari-satu-telinga-gara-gara-kena-pukul

    ReplyDelete
    Replies
    1. wow. ya Allah, ternyata memang ada kasus2 kayak gini ya. kalau ibuk gak kejadian kayak gini, mungkin aku gak belajar dan baca2, Jok

      Delete
  2. I was happy to read this article after searching at google , after reading I have written a piece of article about :what to do for chronic back pain Thank you for the article and helping me.

    ReplyDelete