Budaya

, , No Comments
Mungkin tidak ada yang menyangka bahwa aku mendambakan perjalanan ini selama 15 tahun terakhir dalam hidupku. Aku selalu bermimpi untuk terbang kembali ke belahan bumi timur Indonesia.

Ya, Papua.

Pertama (dan satu-satunya kepergian ke Papua saat itu) adalah ketika aku SMP. Berangkat naik kapal penumpang dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, berlayar dengan kepasrahan total apakah akan hidup atau mati di tengah samudera selama 7 hari 7 malam. Pulangnya naik pesawat Hercules, yang saat itu lazim untuk penerbangan awak sipil, mampir di Biak 1-2 malam entah untuk mengambil anggota TNI-AU atau loading barang penumpang, dan mendarat di bandara Iswahyudi Madiun.

Kali ini aku tidak akan menceritakan beberapa tempat wisata yang kukunjungi selama di Papua seperti yang sudah-sudah. Kali ini aku hanya akan bicara sedikit soal budaya orang-orang setempat.

Perjalanan dari Jakarta yang kutempuh kemarin mampir di Sorong hanya untuk berganti pesawat. Berangkat tengah malam jam 00.05 WIB dan sampai Sorong jam 06.15 WIT. Dengan perbedaan waktu dua jam lebih cepat di Papua, sebenarnya aku hanya menempuh perjalanan selama 4 jam saja. Mata terkantuk berat dan suhu udara dingin bagai menembus tulang. Aku juga baru tahu untuk perjalanan tengah malam, maskapai menyediakan selimut tebal untuk dipinjamkan. Kututup badanku mulai kepala hingga kaki.

Sesampai di bandara Domine Eduard Osok (DEO) Sorong, aku melapor ke bagian transit untuk lanjut dengan nomor penerbangan lain. Masuk kembali ke waiting room, aku sangat kaget dengan orang-orang yang seenak jidat dan udel bodongnya menyerobot antrian. Kadang jika mood, aku akan mengatakan dengan tegas bahwa ia (mereka) harus antri dan aku datang lebih dulu dari ia (mereka), sehingga ia (mereka) harus ada di belakangku. Tetapi karena kemarin jalanku masih setengah nyawa karena ngantuk dan masih ternganga dengan kondisi itu, aku jadinya diam saja.
Bandara Domine Eduard Osok, Sorong, Papua Barat

Satu orang menyerobot, oke lah. Kemudian ada sekeluarga menyerobot lagi, aku mulai heran. Jika pintu yang tersedia cukup lebar, sebenarnya bisa saja antrian menjadi 2 atau 3 lajur sekaligus. Tapi masalahnya, mesin pemindai barang yang tersedia saat itu hanya ada satu. Artinya, orang yang ada di sebelah kiri mepet dengan mesin pemindai, itu adalah orang yang lebih dulu antri. Mereka maju pelan-pelan karena sudah in-line dengan mesin.

Lalu apa harapan orang yang menyerobot dari sisi kanan itu? Bukankah ia pasti akan memotong jalan orang yang sudah antri di sebelah kiri? Sementara ia tahu posisi di pintu itu sudah ramai. Si ibu yang menggendong bayinya, dengan tanpa dosa menghalangi langkahku dan masuk ke lajur antrian pas di depan mukaku. Lah! Kemudian selangkah di belakangnya ada suaminya yang menggendong anak lain, juga ikut maju. Mau mengingatkan, tapi buru-buru tampak olehku pistol yang menggantung di sisi kanan celananya. Kulihat sepatu boot-nya, juga celana cokelat tua dan seragam yang digunakannya.

Oh, polisi?
Oh, polisi kelakuannya nyerobot antrian begitu?
Oh, baiklah.

Mengingat sabar itu subur dan aku ingin subur, maka aku membiarkan mereka mendahului jalanku. (sebenarnya takut ditembak di tempat aja sih). Lama-lama... lho lho, kok makin banyak yang nyerobot antrian? Mulai dari ibu-ibu berjilbab, ibu-ibu nggak berjilbab, bapak-bapak kulit sawo matang, mas-mas kulit gelap, ibu keriting, mbak berambut lurus, dan seterusnya.

Sesampaiku di depan petugas pemindai, petugas itu repot berteriak-teriak, “Ibu... biasakan antri, ibu! Bapak, biasakan antri, bapak! Kakak, antri di belakang, kakak! Adek, antri, antri. Kembali ke belakang dulu!” “Biasakan antri... biasakan antri!”

Ealah... ternyata gak cuma aku saja yang menyayangkan terjadinya serobot-menyerobot seperti ini. Mbak petugas bandara yang setiap hari melayani calon penumpang pun ternyata prihatin dengan perilaku demikian. Padahal aku yakin teriakan dia bukan hanya sekali saat aku melintas saja. Bisa jadi setiap saat, sebelum dan sesudah aku menyaksikannya sendiri. Dan penyerobotan antrian tetap berulang, lagi dan lagi, sepanjang tahun, bertahun-tahun, dan akhirnya membudaya. Aku juga yakin orang-orang itu tidak sekali-dua kali saja naik pesawat atau kendaraan umum apapun. Perilaku yang telah terpola, sulit untuk mengubahnya kecuali ada kesadaran yang booom! tiba-tiba mampir di otaknya.

Setidaknya kejadian kemarin, baru satu-satunya kulihat seorang petugas bandara berkata berkali-kali mengingatkan soal antri dengan ekspresi jengkel yang natural.

Budaya ke dua yang kuamati adalah mudahnya orang-orang meludah pinang dimana-mana. Pinang adalah buah dari... pohon pinang (?)

Orang Papua senang mengunyah pinang. Kata temanku, selain untuk memperkuat gigi (sekaligus memberi efek ombre oranye-kehitaman gimanaaa gitu di gigi dan bibir), juga berfungsi seperti viagra untuk memperkuat kejantanan. Hmmm... Oleh karenanya, para lelaki dan wanita asli Papua senang mengunyah pinang dicampur dengan beberapa bahan lain entah apa

Buruknya, mereka senang meludahkan pinangnya sembarang tempat. Iya, pinang itu tidak ditelan. Setelah digosok-gosokkan ke gigi dan dikunyah-kunyah, pinang itu dibuang (diludahkan). Mungkin ada sensasi lega dan bangga ketika mereka bisa meludah jauh. Tjuuuuuh! Akibatnya, lantai-lantai berbercak oranye. Tidak hanya itu, di jalan beraspal, beberapa di dinding, dan di tanah juga mudah sekali ditemukan bercak pinang. Dari bentuknya yang kuamati, khas sekali itu sesuatu yang dikeluarkan dari mulut dengan penuh perasaan. Tjuuuuh, dan bentuk di lantai menjadi oranye merekah seperti bunga.

Tidak heran bila di banyak tempat umum, seperti hotel dan bandara, kerap tertulis himbauan agar tidak meludahkan pinang di sembarang tempat. Sebegitunya. Bisa jadi tulisan itu dibuat karena dulunya tempat tersebut pernah ada “kejadian buruk” soal per-pinang-an. Atau juga sebagai langkah antisipasi agar kerjadian buruk itu tidak sampai terjadi.
Himbauan di Hotel Valdos, Manokwari, tempatku menginap

Yah, sebenarnya sih noda pinang sudah aku temukan sejak 15 tahun yang lalu ketika aku naik kapal penumpang ke Jayapura. Semakin ke wilayah timur Indonesia, Ambon dan Papua, semakin banyak ludahan pinang merah dan oranye mewarnai sisi-sisi kapal kami. Juga di jalanan, di pasar, dimana pun.

Kalau hal tersebut sudah terjadi belasan bahkan puluhan tahun lalu dan terjadi hingga hari ini, apa namanya jika bukan budaya?

Bukan rasis, tapi tergantung masyarakat dan individu setempat, apakah mau mempertahankan budaya tersebut ataukah tidak.

Apakah budaya menyerobot antrian dan meludah pinang itu baik ataukah buruk? Tergantung juga bagaimana orang yang “mengomentari” budaya itu memandangnya. Dari mana komentator itu berasal, bagaimana kebiasaan kesehariannya, kesediaan untuk memaklumi apapun yang ada di luar dirinya, dan seterusnya.

nb: Ditulis pada ketinggian 33.000 kaki di atas permukaan laut, dalam perjalanan dari Sorong ke Makassar.

0 komentar:

Post a Comment