Disiplin Positif, Tanggung Jawab Siapa?

, , 2 comments
Sangat beruntung kemarin aku bisa mengikuti Safari Seminar Disiplin Positif yang diadakan oleh Sekolah Alam Ramadhani Kediri. Seperti halnya Gerilya Nonton Bareng Film “The Beginning of Life, aku merasa dua acara ini wajib ikut. Selain karena temanya sangat dekat dengan Psikologi, juga aku berpikir bahwa caraku dalam menghadapi anak-anak (iya, anak-anaknya orang) juga masih sering terlalu kaku, sesuka hati sendiri, keliru, terlalu memaksa, keras, pemahaman yang kurang menyeluruh, dan sebagainya. Ditambah dengan yang menginisiasi acara ini adalah Pak Bukik Setiawan (konon bernama asli Budi Setiawan Muhammad), dosenku dulu di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, tambah semangat lah aku.


Suasana Seminar Disiplin Positif. Pendopo SA Ramadhani. Sumber: FB Pak Bukik
Para pembicara dari Kampus Guru Cikal. Sumber: FB Pak Bukik
Yang disampaikan dalam Seminar Disiplin Positif ini sebetulnya sesuatu yang mendasar dan sangat penting dalam dunia pendidikan. Kami dibagi dalam 12 kelompok, kemudian mendiskusikan apa itu makna “disiplin”. Sangat mudah, bukan? Tapi ternyata dalam diskusi dengan 6 orang anggota kelompokku, ada beberapa ide yang menarik mengenai disiplin itu sendiri.

Apakah disiplin itu sebuah konsep atau perilaku? Hwalah, ini jadi psikologis banget.
Apakah disiplin itu kepatuhan terhadap sesuatu?
Apa bedanya disiplin dan patuh, manut, taat?
Apakah disiplin selalu berhubungan dengan aturan (yang dibuat orang lain, pihak otoritas, norma masyarakat)?
Apakah orang yang bangun jam 4 pagi setiap hari termasuk disiplin pada diri sendiri (walau tidak ada yang memerintah, tidak ada pihak otoritas)? Atau disiplin hanya mencakup pada ketaatan pada rambu lalu lintas, masuk tepat waktu, mengerjakan PR, dll?
Apakah disiplin itu sebuah proses pembiasaan dan memerlukan waktu, atau bisa terbentuk seketika saat dihadapkan pada aturan tertentu?

Aku sih tidak sempat mencatat setiap detail yang disampaikan oleh pemateri, yaitu Pak Bukik, Bu Dewi, dan Bu Ratih dari Kampus Guru Cikal. Karena alat tulis dan hp kutinggal di luar ruangan sebab kupikir di dalam ruangan hanya untuk nonton film saja. Eaaa...
Mengelola kelompok secara "damai". Bisa tuh, ternyata. Sumber: FB Pak Bukik
Jadi kurang lebih, DISIPLIN POSITIF adalah sebuah penciptaan lingkungan positif melalui komunikasi yang membangun dan menguatkan. Iya nggak, sih? Hahaha.

Lalu, bagaimana cara mendisiplinkan anak secara positif?*
  1. Ajak anak (didik) untuk merefleksikan perilakunya sendiri. Apakah perilaku tersebut menguntungkan atau merugikan? Apakah mendatangkan hal baik bagi diri dan lingkungan, atau sebaliknya? Dalam komunikasi dengan anak, buatlah anak lebih banyak bicara daripada mendengar. Karena sejatinya yang butuh “penjelasan” adalah guru (orangtua), mengapa anak begini dan begitu. Cek-ricek, perilaku tersebut muncul karena apa, pada saat apa, bagaimana perilaku tersebut dilakukan, dan apa konsekuensinya.
  2. Tingkatkan harga diri anak (didik). Hindari melakukan kekerasan verbal maupun fisik terhadap anak ketika mereka membuat kesalahan. Ajak bicara dua arah (seperti poin 1). Buat dirinya merasa dipahami, dihargai, berdaya, dan bangga terhadap perilaku-perilaku positif yang pernah dilakukan.
  3. Ciptakan kondisi yang memungkinkan anak (didik) untuk bersikap disiplin secara positif. Kondisi disiplin yang terbangun atas dasar kesadaran pribadi mengapa harus berperilaku begini begitu, bukan kepatuhan karena ada orang dewasa di dekatnya, atau karena ingin mendapatkan hadiah (reward) maupun menghindari hukuman (punishment). Menurut Pak Bukik, reward and punishment tidak terbukti efektif untuk membuat perilaku individu menjadi lebih disiplin atau positif. Kesadaran dirilah yang memegang kunci utama dalam sebuah perubahan perilaku.
  4. Perlakukan anak (didik) secara berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam Psikologi, ini salah satu prinsip mendasar dalam memperlakukan orang lain, yaitu individual differences. Tiap anak itu unik, punya keinginan yang berbeda-beda, dan akan berkembang secara berbeda-beda pula ke depannya. Oleh karenanya, tidak ada satu cara yang efektif diterapkan untuk semua anak. Mungkin sebuah cara berhasil untuk satu anak, tapi gagal untuk mengatasi masalah anak lain. Dengan pemahaman yang baik akan hal ini, maka orangtua tidak akan mudah membandingkan satu anak dengan yang lain: mengapa anak itu baik, sedangkan anakku tidak?
  5. Libatkan orangtua dalam proses pengubahan perilaku anak menjadi lebih positif. Komunikasikan dengan orangtua tentang tujuan belajar anak, apa yang dapat dilakukan bersama antara guru dan orangtua, dan seterusnya. Karena kadangkala anak bermasalah juga disebabkan oleh lingkungannya, sehingga yang perlu diubah lebih dulu adalah lingkungannya alias akar masalahnya, bukan anak itu sendiri.
Diskusi pun berlangsung seru. Dan tidak mungkin memang waktu 2 jam cukup untuk menuntaskan seluruh permasalahan yang ada di seratus kepala yang hadir kemarin. Sedangkan satu kepala saja bisa jadi menghadapi belasan, puluhan, bahkan ratusan anak didik yang berbeda karakternya setiap hari.
Tanya jawab setelah nonton video singkat. Sumber: FB Pak Bukik

Seminar kemarin aku melihatnya hanya sebagai sebuah teaser untuk menuju sebuah diskusi ataupun kegiatan-kegiatan yang sifatnya lebih intens dengan jumlah peserta yang lebih sedikit. Baik itu berupa workshop, pelatihan, pendampingan, ataupun yang lain. Aku berharap Sekolah Alam Ramadhani dapat menjadi wadah berkumpulnya pada guru untuk belajar, misalnya dalam Komunitas Guru Belajar seperti yang disampaikan oleh Pak Bukik kemarin.

Yang jelas, belajar itu butuh proses. Guru butuh belajar. Belajar bukan hanya dari ahli, tapi juga belajar dari sesama guru. Belajar dari pengalaman, dari lingkungan, dari murid, dan berlangsung sepanjang hayat.

Jadi, siapa yang bertanggung jawab dalam pembentukan disiplin positif pada anak (didik)? Ya orangtua, guru, dan siapapun yang berada di lingkungan anak itu berada.

Nb: *disertai dengan penambahan penjelasan dari penulis seperlunya

2 comments:

  1. Jadi, siapa yang bertanggung jawab dalam pembentukan disiplin positif pada anak? Kita. *duh berat :D*

    ReplyDelete