Pulang.
Tidak pernah ada dalam kamusku dulu bahwa aku akan kembali pulang. Ke kota kelahiranku, Kediri.
Cita-citaku dulu tinggi: lulus kuliah dengan nilai bagus kemudian bekerja di ibukota Jakarta.
Mendefinisikan kesuksesan sebagai berharta banyak, menaklukkan tantangan-tantangan di hiruk-pikuk kota besar.
Seperti teman-temanku terdahulu.
Keren adalah memiliki pekerjaan mentereng, berbaju parlente, bersepatu hak 10 senti, bergaji dua digit, dan ketika ditanya bekerja dimana, akan kujawab dengan penuh kebanggaan, “Jakarta!”
Hingga pada suatu titik ketika segalanya berubah terbalik.
Nasib, mudahnya demikian menyebutnya.
Kemudahan-kemudahan justru kudapat ketika ada tawaran bekerja di Kediri.
Kediri, yang bahkan dulu kuanggap tidak memiliki lapangan kerja yang memadai.
Aku lebih meyakini bahwa rapal mantra doa ibuku jauh lebih manjur daripada segala daya dan upaya yang kumiliki untuk menjauhi Kediri yang tak berpengharapan masa depan bagi karirku.
Bagaimana bisa tiba-tiba aku mendapat kesempatan untuk mengajar di sebuah kampus dengan sangat mudahnya, jika bukan karena pilinan doa ibu di langit?
Proses masuk di kampus ke dua pun juga sangat mudah, semudah sebuah telepon di siang bolong yang dengan santainya berbicara, “Hai, sedang dimana? Apakah kamu mau menjadi dosen di kampus kami? Kami sedang membutuhkan. Datang saja kita mengobrol, surat lamarannya boleh masuk kapan-kapan!”
Hati ibu sorak-sorai mendengar kabar anaknya akan pulang satu setelah ini.
Menemani, tidak lebih daripada itu bahagianya.
Sedangkan hatiku masih penuh penyangkalan atas keputusan yang kubuat sendiri, mengapa aku mau pulang.
Aku kebingungan, aku kelimpungan.
Aku menangis pada sisa-sisa hari yang sadis.
Aku seperti orang linglung yang canggung pulang ke kotanya sendiri.
Kubuka-buka arsip doaku, dimanakah terselip takdir begini.
Ketemu!
Setahun dua tahun lalu, aku gemar berdoa bahwa aku ingin selalu dekat dengan ibu.
Merawat jika ibu sakit, saling menyemangati, saling menemani, bahkan aku kaget bahwa doaku tertulis bahwa jika aku sakaratul maut, aku ingin yang menuntunku membaca tahlil adalah ibuku, dan sebaliknya.
Bahkan janji untuk merawat hingga usia tuanya tiba-tiba terasa lebih sakral daripada cita-cita bekerja di Jakarta dengan segala ambisiku.
Sesampainya di Kediri, aku tidak punya teman sebaya untuk mengobrol karena hampir semua temanku sudah merantau ke luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri.
Temanku hanya anak-anak tetangga, para dosen dan staf di kampus yang baru kukenal, serta tumpukan novel di atas meja.
Aku bingung mau bergaul dengan siapa.
Dan aku tahu jika terus-menerus dalam keadaan begini, aku akan semakin tidak bahagia.
Maka mulailah aku mencari kenalan-kenalan baru lewat media sosial.
Sesiapa saja yang sudi menghubungkan kegemaran yang sama, aku jadikan teman.
Memang tidak semua seumuran, tapi paling tidak masih bisa terjangkau 10 tahun di atas dan 10 tahun di bawah umurku. Masih bisa aku terima.
Aku ikuti beberapa perbincangan santai juga kegiatan-kegiatan lokal yang menarik.
Tidak seluruhnya aku pahami, tapi setidaknya aku tahu aku punya teman-teman baru.
Aku datangi beberapa pagelaran buku di sebuah gedung yang rata-rata relatif sepi pengunjung, dan di sana aku baru tahu bahwa Kediri punya komunitas yang sangat beragam dan banyak.
Aku ingat sekali pernah melihat lomba standup comedy di sebuah bazar buku, yang mengisi mas-mas dari Kediri dan sekitarnya. Guyonannya sungguh garing. Aku melipat dahi, kemudian justru tertawa terbahak-bahak saking tidak lucunya.
Sedetik kemudian, aku tahu bahwa aku akan baik-baik saja di sini.
Aku bisa mengikuti ritme detak jantung kota Kediri.
Butuh waktu setahun untukku bisa menikmati kepulanganku.
Aku bertemu dengan para remaja, mahasiswaku, yang unik dan selalu menarik untuk diceritakan.
Sementara teman-temanku mengajar remaja kota yang memiliki fasilitas penuh, buku lengkap, orangtua yang mendukung, di sini aku mengajar para remaja yang tidak terlambat masuk kuliah saja sudah syukur, yang tidak punya cukup uang untuk membeli buku, yang sering lupa mengerjakan tugas, yang memakai sarung, sandal, dan kopyah ketika kuliah, serta latar belakang keluarga yang beraneka ragam.
Sampai di titik ini aku tidak bisa lagi menjual nama almamaterku untuk masuk ke dalam dunia mereka.
Sulit awalnya untuk tidak terjebak dalam ruang nostalgia bernama kejayaan-kejayaan masa lalu ketika aku begini dan begitu di kota besar.
Aku selalu masuk dan keluar sekolah dengan kepala tegak penuh kebanggaan. Tapi lagi-lagi itu cuma dulu.
Toh nyatanya yang orang lihat saat ini adalah aku bersama masa sekarangku.
Bagaimana aku mengajar di depan anak-anak, mendidik, memarahi, memuji, bermain, dan belajar bersama mereka, itulah yang dinilai.
Aku sangat senang ketika anak-anak bersemangat saat kuajar.
Lontaran-lontaran pertanyaan yang tak terduga yang kadang membuat gelagapan, aku pikir niscaya ada pada keseluruhan waktu nanti.
Aku juga cukup kaget ketika suatu siang yang panas, anak-anak memintaku untuk bercerita tentang hidupku daripada mengisinya dengan pelajaran. Mereka sedang bosan kuliah, katanya.
Ada juga anak yang berlari menghampiriku dan mengucapkan terima kasih. Untuk apa, kutanya. Katanya, dia habis membaca blogku dan itu berguna baginya dalam menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi. Yang masalahnya apa pun, aku tak tahu.
Ada yang memilihku menjadi teman curhatnya yang paling rahasia. Yang begitu duduk berhadapan, tumpahlah seluruh air mata menggenangi jilbabnya.
Aku menemukan diriku menjadi manusia yang berguna, justru ketika berhadapan dengan anak-anak ini.
Aku harus mendefinisikan ulang kesuksesan versi nuansa Kediri.
Ukuran keberhasilanku bukanlah ketika semua anak mendapat nilai A di mata kuliah yang kuajar.
Tapi seberapa banyak mahasiswa yang mampu terhubung secara hati denganku.
Karena ketika sudah terhubung, maka apapun yang kusampaikan dari hati, akan sampai juga ke hati mereka.
Selamat tinggal, ruang-ruang nostalgia.
Aku sudah tidak hidup di dalammu lagi.
Aku hidup sepenuhnya saat ini, di sini, dengan segenap kekuatan yang kumiliki dari Tuhan.
Untuk menjadi manusia hari ini yang bahagia.
248 per hari
2 days ago
ruang nostalgiamu itu belum boleh ditinggalkan pet.... jangan hanya diisi dengan mimpi cita2 atau tetek bengek yang mengatasnamakan kejayaan... tapi pengalaman berbagi, pengalaman pahit, susah, senang, dan hati #eaaa #tetep. Jadi kunci saja dulu rapat2, buka lagi saat kita lupa untuk bersyukur... berkaca berbenah berubah
ReplyDeletewoh, ngono ya Va? sipsip.
Deleteyawis, tak kuncine sik lek ngono. Kapan2 dibuka maneh ngge golek hikmah :D
Mantab Pety... kurang lebih pengalamanmu sama sepertiku. Aku juga memilih untuk dekat dgn Ibu. Mumpung beliau masih ada. Semangat ya Pety.. :)
ReplyDeletemakasih mas.
Deleteabotan perjuanganmu ya. ben dina Sidoarjo-Madura PP. lha aku mung 10 menit omah-kampus. haha
mantab dik Pety, aku bangga padamu 😍
ReplyDeleteaku juga bangga padamu, mbak.
Deletedan makin pengen ke Enggres nih. kayaknya negara yang eksotis peninggalan sejarahnya :))
Bu pety salah sarapan? kok tetiba melow parah
ReplyDelete*mari komen mlayu ndelik ngisor wit pelem
pe... sarapanku panggah sega tumpang. wareg.
Deletesekarang jenengan dimana bu? koq mboten nathe kepanggeh tg kampus ?
ReplyDeletekampus mana?
Deletesaya di psikologi kok mbak