Sore itu seseorang meneleponku. To the point, mengatakan sedang membutuhkan tambahan sedikit uang untuk keperluan tertentu. Karena kami sudah dekat, aku tanyakan berapa yang dibutuhkan. Dia bilang, dua blabla saja.
Kemudian aku menemuinya dan menyerahkan uang tersebut sambil berkata, “Benar, hanya 2 blabla yang dibutuhkan?”. “Iya”, jawabnya. Karena aku sedang membawa uang lebih, aku berikan lagi 1 blabla untuk ekstra, siapa tahu dapat digunakan untuk hal lain. Dia mengucapkan terima kasih.
Pali? P-A-L-I?
PALU? Sulawesi Utara?
Aku pastikan kembali: “Pali, mbak?” “Iya”, jawabnya.
Okelah, apapun itu, yang jelas bukan di Jawa. Aku langsung menyetujuinya. Aku selalu bersemangat apabila diajak jalan-jalan. Eh, jalan-jalan sambil kerja. Eh, kerja sambil jalan-jalan maksudku.
Tak dinyana, ternyata aku harus menjadi PIC (Person in Charge) dari proyek ini dan aku sendirian yang berangkat ke Pali dari Surabaya. Artinya, aku yang bertanggung jawab dan pergi untuk “mewakili” kantor, mulai dari operasional kegiatan, keuangan, dan administrasi. Tentu hal-hal lain lengkapnya telah disiapkan kantor, seperti tiket PP, keperluan asesmen, dan koordinasi dengan berbagai pihak. Aku yang bagian pelaksanaannya. Kira-kira begitu.
H-1 aku bahkan baru tahu bahwa yang akan di-ases (ini kegiatan asesmen pegawai) adalah para senior Pegawai Negeri Sipil. Eselon II dan III, untuk naik ke eselon I. Judulnya saja “Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama”. Ngeri benaaaar bagiku waktu itu.
Bismillah, hanya itu modalku.
Untungnya aku dipasangkan dengan asesor dari Jakarta yang sebelumnya pernah aku kenal, karena pernah sekamar di hotel selama kurang lebih seminggu di Palembang. Tapi itupun hanya satu orang. Dua asesor lain bahkan aku baru dengar namanya. Whatever lah. Aku terlanjur excited akan pergi “ke luar” sejenak. Lain-lain dipikir belakangan.
Dan ternyata sodara-sodara, dimanakah PALI itu?
Empat jam perjalanan darat dari kota Palembang, Sumatera Selatan. Huwow!
Aku yang terbiasa perjalanan darat Kediri-Surabaya tiga jam saja agak-agak pusing membayangkan lamanya.
Dan ya, PALI ternyata oh ternyata, adalah singkatan dari PENUKAL ABAB LEMATANG ILIR, gaeeessss! P-A-L-I. Tak heran jika orang-orang menulisnya menggunakan huruf kapital semua, karena memang merupakan akronim.
PALI adalah kabupaten yang baru terbentuk sekitar 5 tahun yang lalu, yang merupakan gabungan dari 5 kecamatan. Adalah Penukal, Abab, Ilir entahlah dan entahlah. Sampai aku lupa bagaimana penjelasannya. Pokoknya gitu deh.
Singkat cerita, yang kami ases adalah mayoritas para pejabat eselon II (kepala dinas, kepala badan, sekretaris daerah) dan sebagian eselon III (setingkat kepala bidang). Ada juga yang di Inspektorat, lupa eselon berapa tuh ya.
Ada tiga jabatan yang butuh diisi pimpinan baru. Dan untuk menjaga kerahasiaan dan keamananku, gak aku sebutkan jabatan apa saja ya, hehe. Dan aku juga baru tahu bahwa selevel itu, sebutan jabatannya adalah PIMPINAN TINGGI PRATAMA. Yah, apalah gue ini, banyak nggak tahunya.
Dengan asesmen jabatan yang mensyaratkan adanya multi-tools dan multi-rater, maka asesor yang dilibatkan dalam seleksi ini adalah dari tenaga ahli psikolog dan tenaga ahli SDM. Psikolognya terdiri dari aku sendiri, bu N, bu E, sedangkan dari tenaga ahli SDM ada pak S1 dan pak S2. Keempat asesor tersebut dari Jakarta.
Bu N dan bu E adalah psikolog senior (baik dari segi usia maupun pengalaman). Sedangkan pak S1 adalah profesor, dosen, praktisi SDM. Pak S2 adalah doktor.
Hiyaaaa... aku sendiri yang paling kecil dan cupu. Aku mah apa atuh.
Begitu malam sesampainya di PALI, ternyata di penginapan, kami sudah disambut oleh sekelompok bapak-bapak bertampang sangar yang satupun tak ada yang aku kenal. Ya iyalah, 2000 km dari Surabaya dan siapa yang aku kenal?
Ternyata beliau-beliau ini adalah ketua pansel (panitia seleksi jabatan ini), kepala BKD (Badan Kepegawaian Daerah) PALI, inspektur (dari inspektorat), anggota DPRD PALI, dan beberapa staf entahlah dari mana saja. Ada sekitar 10 orang.
Mereka menyambut dengan sangat ramah. Menanyakan apakah kami lelah, basa-basi sedikit, lalu langsung meminta kami makan malam bersama (yang mana beliau sengaja benar menunggu kami datang baru makan bersama, padahal itu sudah jam 9-an malam).
Lalu kami mengobrol mengenai gambaran acara besok, yang mana aku seolah baru tersadar dari lamunan dan terkesiap, bahwa akulah yang bertanggung jawab untuk “presentasi” agenda acara kepada beliau semua. Ada beberapa hal yang sedikit miss, yang belum dikomunikasikan kepadaku, sehingga aku membuka-buka lagi email di ponsel dan membaca lagi rundown acara serta agak bingung. Deg-degan. Blablabla, secara teknis sudah siap semua. Apa yang kami perlukan akan disediakan, dan clear. Kami tidur di kamar masing-masing.
Acara hari ke dua berjalan lancar juga. Sementara ibu-ibu yang lain menempati ruang ber-AC, aku harus legawa tetap di ruang kelas panas kemarin karena akulah yang paling kecil. Eaaa... Eh, bapak-bapak juga di ruang non AC ding.
Untuk hal ini, aku belum bisa komentar banyak, karena aku pernah juga mengalami sebagai “pemberi kerja” dan duit dari klien turunnya lama setengah mampus. Tapi setidaknya untuk diambil hikmahnya, ketika nanti aku punya kantor sendiri, aku harus banyak belajar soal manajemen keuangan. Keuangan rumah tangga. *mulai ngelantur*
Honor yang aku dapatkan kurang lebih sebesar 29 blabla. Dan aku baru sadar, bahwa 29 blabla adalah 29 kali lipat dari uang yang aku berikan ekstra kepada orang yang meminta bantuanku, sehari sebelum aku mendapat telepon untuk tugas luar pulau. Wow!
Apabila ditambah dengan uang-tak-tampak, yang hanya aku rasakan manfaatnya, rinciannya sebagai berikut:
Tiket pesawat PP = 25 blabla rupiah.
Hotel 4 hari 3 malam = 12 blabla rupiah.
Makan 3x sehari selama 4 hari = 12 blabla rupiah.
Transportasi selama di sana = 5 blabla rupiah.
Total = 83 blabla rupiah.
Benarkah jika kita berbuat satu kebaikan, maka Allah membalasnya sebanyak 70 kali kebaikan?
Apakah aku telah membuat satu kebaikan itu? Karena Allah menggantinya dengan 83 kali lipatnya. Dibayar kontan!
Itu yang berupa uang. Bagaimana dengan nilai-tak-tampak dari faktor keselamatanku selama perjalanan, kelancaran acara, kesehatan fisik, kepercayaan orang kantor, respek orang lain, dan sejumput rasa terima kasih dari mereka yang kuterima? Apakah masih dapat kuhitung?
“Maka jika kau mencoba menghitung nikmatKU, maka kau tak akan sanggup” --- semacam itu sabda Tuhan.
“Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan?” – Qur’an surat Ar-Rahman.
Sore itu ibuk meneleponku. To the point, mengatakan sedang membutuhkan tambahan sedikit uang untuk keperluan tertentu. Aku tanya, berapa yang ibuk butuhkan. Ibuk bilang, dua ratus ribu saja. Belum sempat ke ATM, tambahnya.
Kemudian aku menyerahkan uang tersebut sambil berkata, “Benar, hanya 200.000 yang ibuk butuhkan?”. “Iya”, jawab ibuk. Karena aku sedang membawa uang lebih, aku berikan lagi 100.000 untuk ekstra, siapa tahu dapat ibuk gunakan untuk hal lain. Ibuk mengucapkan terima kasih.
“Ndhuk, ibuk sedekahkan uang itu atas nama sampeyan di hadapan Allah, sambil berdoa semoga sampeyan mendapatkan jodoh yang baik dunia akhirat”, ujar ibuk pelan dalam sebuah obrolan di kamar.
Glek!
Aku terdiam cukup lama. Aku meneteskan sebutir air mata. Aku menghambur ke arah ibuk. Kucium pipi kirinya, pipi kanan, kening, dan aku memeluk ibuk sambil menangis tercekat.
Bagaimanakah aku tak juga paham begitu berliannya hati ibuk untuk anak-anaknya?
Dan sebenarnya juga sudah lama aku merasa bahwa segala yang kuterima hari ini, adalah karena doa ibuk dan doa siapapun juga yang pernah menyebut namaku dalam doanya.
Aku tak pernah merasa pintar, karena itu aku tak malu menyebut diriku bodoh. Walaupun orang kadang memujiku untuk ini dan itu, tetap saja aku merasa: aku mah apa atuh.
Segala kepercayaan orang lain untuk mau bekerjasama denganku, kadang sampai berkata “terserah mau kamu buat acaranya seperti apa, saya percaya kamu dan tim-mu 101%”, dan lain-lain, itu bukan karena aku yang terbaik diantara yang lain.
Ada ratusan psikolog di Surabaya. Ada ribuan psikolog seluruh Indonesia. IP ku hanya 3,34 dari skala 4, tidak ada yang menonjol dari otakku. Cum laude? Jauh.
Dan rasa syukurku tak terhingga dalam setiap kesempatan sekecil apapun yang numpang mampir dalam hidupku.
Dan aku tahu bahwa setiap amanah yang telah dan akan aku pikul, akan ditanya dan harus kupertanggungjawabkan di Hari Pengadilan kelak di hadapan Tuhan.
Yang aku percaya, doa ibuk dan doa orang-orang, mungkin juga kalian yang membaca tulisan ini, yang membuatku bisa tetap sehat, selamat, dan menikmati perjalanan hidup, dimanapun aku berada.
Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih.
Kemudian aku menemuinya dan menyerahkan uang tersebut sambil berkata, “Benar, hanya 2 blabla yang dibutuhkan?”. “Iya”, jawabnya. Karena aku sedang membawa uang lebih, aku berikan lagi 1 blabla untuk ekstra, siapa tahu dapat digunakan untuk hal lain. Dia mengucapkan terima kasih.
***
Esok paginya, ada seseorang dari kantor konsultan yang meneleponku meminta bantuan untuk sebuah proyek pekerjaan di Pali. Karena aku tidak dengar ketika ditelepon, beliau mengirim SMS kepadaku.Pali? P-A-L-I?
PALU? Sulawesi Utara?
Aku pastikan kembali: “Pali, mbak?” “Iya”, jawabnya.
Okelah, apapun itu, yang jelas bukan di Jawa. Aku langsung menyetujuinya. Aku selalu bersemangat apabila diajak jalan-jalan. Eh, jalan-jalan sambil kerja. Eh, kerja sambil jalan-jalan maksudku.
Tak dinyana, ternyata aku harus menjadi PIC (Person in Charge) dari proyek ini dan aku sendirian yang berangkat ke Pali dari Surabaya. Artinya, aku yang bertanggung jawab dan pergi untuk “mewakili” kantor, mulai dari operasional kegiatan, keuangan, dan administrasi. Tentu hal-hal lain lengkapnya telah disiapkan kantor, seperti tiket PP, keperluan asesmen, dan koordinasi dengan berbagai pihak. Aku yang bagian pelaksanaannya. Kira-kira begitu.
H-1 aku bahkan baru tahu bahwa yang akan di-ases (ini kegiatan asesmen pegawai) adalah para senior Pegawai Negeri Sipil. Eselon II dan III, untuk naik ke eselon I. Judulnya saja “Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama”. Ngeri benaaaar bagiku waktu itu.
Bismillah, hanya itu modalku.
Untungnya aku dipasangkan dengan asesor dari Jakarta yang sebelumnya pernah aku kenal, karena pernah sekamar di hotel selama kurang lebih seminggu di Palembang. Tapi itupun hanya satu orang. Dua asesor lain bahkan aku baru dengar namanya. Whatever lah. Aku terlanjur excited akan pergi “ke luar” sejenak. Lain-lain dipikir belakangan.
Dan ternyata sodara-sodara, dimanakah PALI itu?
Empat jam perjalanan darat dari kota Palembang, Sumatera Selatan. Huwow!
Aku yang terbiasa perjalanan darat Kediri-Surabaya tiga jam saja agak-agak pusing membayangkan lamanya.
Dan ya, PALI ternyata oh ternyata, adalah singkatan dari PENUKAL ABAB LEMATANG ILIR, gaeeessss! P-A-L-I. Tak heran jika orang-orang menulisnya menggunakan huruf kapital semua, karena memang merupakan akronim.
PALI adalah kabupaten yang baru terbentuk sekitar 5 tahun yang lalu, yang merupakan gabungan dari 5 kecamatan. Adalah Penukal, Abab, Ilir entahlah dan entahlah. Sampai aku lupa bagaimana penjelasannya. Pokoknya gitu deh.
Singkat cerita, yang kami ases adalah mayoritas para pejabat eselon II (kepala dinas, kepala badan, sekretaris daerah) dan sebagian eselon III (setingkat kepala bidang). Ada juga yang di Inspektorat, lupa eselon berapa tuh ya.
Ada tiga jabatan yang butuh diisi pimpinan baru. Dan untuk menjaga kerahasiaan dan keamananku, gak aku sebutkan jabatan apa saja ya, hehe. Dan aku juga baru tahu bahwa selevel itu, sebutan jabatannya adalah PIMPINAN TINGGI PRATAMA. Yah, apalah gue ini, banyak nggak tahunya.
Dengan asesmen jabatan yang mensyaratkan adanya multi-tools dan multi-rater, maka asesor yang dilibatkan dalam seleksi ini adalah dari tenaga ahli psikolog dan tenaga ahli SDM. Psikolognya terdiri dari aku sendiri, bu N, bu E, sedangkan dari tenaga ahli SDM ada pak S1 dan pak S2. Keempat asesor tersebut dari Jakarta.
Bu N dan bu E adalah psikolog senior (baik dari segi usia maupun pengalaman). Sedangkan pak S1 adalah profesor, dosen, praktisi SDM. Pak S2 adalah doktor.
Hiyaaaa... aku sendiri yang paling kecil dan cupu. Aku mah apa atuh.
Begitu malam sesampainya di PALI, ternyata di penginapan, kami sudah disambut oleh sekelompok bapak-bapak bertampang sangar yang satupun tak ada yang aku kenal. Ya iyalah, 2000 km dari Surabaya dan siapa yang aku kenal?
Ternyata beliau-beliau ini adalah ketua pansel (panitia seleksi jabatan ini), kepala BKD (Badan Kepegawaian Daerah) PALI, inspektur (dari inspektorat), anggota DPRD PALI, dan beberapa staf entahlah dari mana saja. Ada sekitar 10 orang.
Mereka menyambut dengan sangat ramah. Menanyakan apakah kami lelah, basa-basi sedikit, lalu langsung meminta kami makan malam bersama (yang mana beliau sengaja benar menunggu kami datang baru makan bersama, padahal itu sudah jam 9-an malam).
Lalu kami mengobrol mengenai gambaran acara besok, yang mana aku seolah baru tersadar dari lamunan dan terkesiap, bahwa akulah yang bertanggung jawab untuk “presentasi” agenda acara kepada beliau semua. Ada beberapa hal yang sedikit miss, yang belum dikomunikasikan kepadaku, sehingga aku membuka-buka lagi email di ponsel dan membaca lagi rundown acara serta agak bingung. Deg-degan. Blablabla, secara teknis sudah siap semua. Apa yang kami perlukan akan disediakan, dan clear. Kami tidur di kamar masing-masing.
***
Alhamdulillah secara umum acara berjalan lancar, terlepas kenyataan bahwa ruang asesmen tidak dilengkapi AC karena menempati sebuah ruang kelas SMA. Lumayan membakar kalori, pikiran positifku berusaha menenangkan. Baju basah oleh keringat dan lengket semua badan. Acara berlangsung dari pagi jam 8 hingga jam 7 malam. Aku yang biasanya malas mandi, langsung semangat mandi paket lengkap top to toe wash. Mandi plus keramas, membersihkan segala daki dan dosa-dosa masa lampau. Bersih dan siap tidur. Acara hari ke dua berjalan lancar juga. Sementara ibu-ibu yang lain menempati ruang ber-AC, aku harus legawa tetap di ruang kelas panas kemarin karena akulah yang paling kecil. Eaaa... Eh, bapak-bapak juga di ruang non AC ding.
***
Dan... tibalah saat menerima bayaran. Aku cintanya dengan kantor ini adalah bayarannya cash and carry. Halah, pokoknya ketika kegiatan luar kantor, bayaran langsung diberikan di hari terakhir kegiatan. Gak pake nunggu lama. Aku rasa pengelolaan keuangannya baik, atau sistemnya memudahkan para tenaga ahli untuk segera menerima honor atas pekerjaannya. “Bayarlah sebelum keringatnya kering”, kata hadist/ Qur’an demikian. Untuk hal ini, aku belum bisa komentar banyak, karena aku pernah juga mengalami sebagai “pemberi kerja” dan duit dari klien turunnya lama setengah mampus. Tapi setidaknya untuk diambil hikmahnya, ketika nanti aku punya kantor sendiri, aku harus banyak belajar soal manajemen keuangan. Keuangan rumah tangga. *mulai ngelantur*
Honor yang aku dapatkan kurang lebih sebesar 29 blabla. Dan aku baru sadar, bahwa 29 blabla adalah 29 kali lipat dari uang yang aku berikan ekstra kepada orang yang meminta bantuanku, sehari sebelum aku mendapat telepon untuk tugas luar pulau. Wow!
Apabila ditambah dengan uang-tak-tampak, yang hanya aku rasakan manfaatnya, rinciannya sebagai berikut:
Tiket pesawat PP = 25 blabla rupiah.
Hotel 4 hari 3 malam = 12 blabla rupiah.
Makan 3x sehari selama 4 hari = 12 blabla rupiah.
Transportasi selama di sana = 5 blabla rupiah.
Total = 83 blabla rupiah.
Benarkah jika kita berbuat satu kebaikan, maka Allah membalasnya sebanyak 70 kali kebaikan?
Apakah aku telah membuat satu kebaikan itu? Karena Allah menggantinya dengan 83 kali lipatnya. Dibayar kontan!
Itu yang berupa uang. Bagaimana dengan nilai-tak-tampak dari faktor keselamatanku selama perjalanan, kelancaran acara, kesehatan fisik, kepercayaan orang kantor, respek orang lain, dan sejumput rasa terima kasih dari mereka yang kuterima? Apakah masih dapat kuhitung?
“Maka jika kau mencoba menghitung nikmatKU, maka kau tak akan sanggup” --- semacam itu sabda Tuhan.
“Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan?” – Qur’an surat Ar-Rahman.
***
EPILOGSore itu ibuk meneleponku. To the point, mengatakan sedang membutuhkan tambahan sedikit uang untuk keperluan tertentu. Aku tanya, berapa yang ibuk butuhkan. Ibuk bilang, dua ratus ribu saja. Belum sempat ke ATM, tambahnya.
Kemudian aku menyerahkan uang tersebut sambil berkata, “Benar, hanya 200.000 yang ibuk butuhkan?”. “Iya”, jawab ibuk. Karena aku sedang membawa uang lebih, aku berikan lagi 100.000 untuk ekstra, siapa tahu dapat ibuk gunakan untuk hal lain. Ibuk mengucapkan terima kasih.
***
Sepulang dari PALI, ibuk baru mengatakan bahwa uang 100.000 rupiah ekstra yang aku berikan, sama sekali tidak dipakainya. Langsung dimasukkan dalam kotak sedekah di sebuah mushalla. Alih-alih menggunakan untuk kepentingan pribadi ibuk (mungkin 100.000 bisa digunakan untuk membeli beras atau sebuah jilbab?), ibuk lebih memilih untuk menyedekahkannya, untuk orang lain entah siapa yang membutuhkan, yang mendapat manfaat dari kotak uang di mushalla tersebut. Iya, pada dasarnya memang hanya 200.000 rupiah yang ibuk butuhkan. Tidak lebih.“Ndhuk, ibuk sedekahkan uang itu atas nama sampeyan di hadapan Allah, sambil berdoa semoga sampeyan mendapatkan jodoh yang baik dunia akhirat”, ujar ibuk pelan dalam sebuah obrolan di kamar.
Glek!
Aku terdiam cukup lama. Aku meneteskan sebutir air mata. Aku menghambur ke arah ibuk. Kucium pipi kirinya, pipi kanan, kening, dan aku memeluk ibuk sambil menangis tercekat.
Bagaimanakah aku tak juga paham begitu berliannya hati ibuk untuk anak-anaknya?
Dan sebenarnya juga sudah lama aku merasa bahwa segala yang kuterima hari ini, adalah karena doa ibuk dan doa siapapun juga yang pernah menyebut namaku dalam doanya.
Aku tak pernah merasa pintar, karena itu aku tak malu menyebut diriku bodoh. Walaupun orang kadang memujiku untuk ini dan itu, tetap saja aku merasa: aku mah apa atuh.
Segala kepercayaan orang lain untuk mau bekerjasama denganku, kadang sampai berkata “terserah mau kamu buat acaranya seperti apa, saya percaya kamu dan tim-mu 101%”, dan lain-lain, itu bukan karena aku yang terbaik diantara yang lain.
Ada ratusan psikolog di Surabaya. Ada ribuan psikolog seluruh Indonesia. IP ku hanya 3,34 dari skala 4, tidak ada yang menonjol dari otakku. Cum laude? Jauh.
Dan rasa syukurku tak terhingga dalam setiap kesempatan sekecil apapun yang numpang mampir dalam hidupku.
Dan aku tahu bahwa setiap amanah yang telah dan akan aku pikul, akan ditanya dan harus kupertanggungjawabkan di Hari Pengadilan kelak di hadapan Tuhan.
Yang aku percaya, doa ibuk dan doa orang-orang, mungkin juga kalian yang membaca tulisan ini, yang membuatku bisa tetap sehat, selamat, dan menikmati perjalanan hidup, dimanapun aku berada.
Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih.
Aku enjoy baca tulisanmu Fatmaa... Makasi ya udah diingatkan untuk selalu bersyukur atas segala nikmat Allah... :)
ReplyDeletealhamdulillah... mari terus saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran ya cyiiin Kiki :*
DeleteSemangat papetiiii... Allahu Akbar. Semoga Allah melindungi, menyayangi, dan memberkahi papeti dan eyang selalu,... peluk tium dari zafran :*
ReplyDeleteaamiin... makasih mama Zafran. Zafran ditinggal di kediri aja donk!
Deletewahhh udah asesor sekarang ya, selamat selamat mission accomplished hehe
ReplyDeleteemang dulu aku cerita apa ya?
Deleteoh mungkin mbak taunya pas aku masih sekolah ya? hihi. Alhamdulillah mbak...
tulisan ini sangat inspiratif mbak
ReplyDeleteiyo a mbak? aku mung nulis tok e.
Deletehehe.. alhamdulillah kalo gitu.
Apik mbak!
ReplyDeletesuwun, dek Bay :)
DeleteMenyenangkan baca blog mu ini dek Pet pas jenuh2 e sama kerjaan kantor. Keep sharing..
ReplyDeletemakasih mbak Lindraaa :)
ReplyDelete