Aku hampir melompat dari tempat duduk begitu mendapat kabar aku akan ditugaskan ke Belitung. Dengan nada tidak percaya, aku kembali mengulang beritanya, “Belitung??? Seriuuuusss???”. “Iyes!” jawaban singkat yang membuatku sujud syukur karenanya.
Belitung, atau ada yang menyebutnya Belitong, sebuah kepulauan di timur-utara Sumatera. Sejak sekitar 2 tahun lalu saat aku ditugaskan ke Bangka, aku sudah sangat ingin mengunjungi Belitung. Kupikir, kalau ke Bangka, kenapa tidak sekalian ke Belitung? Dan ternyata... impianku kandas begitu tahu lama perjalanan darat dan laut dari Bangka ke Belitung adalah 8 jam. Dan kami tidak punya waktu untuk itu.
Sampai hari-H keberangkatan, aku masih tidak percaya. Seperti rasanya ketika aku akan berangkat ke Tidore (Maluku Utara) atau ke Thailand. Aku menenangkan hatiku sendiri dengan terus berkata, “Iya, aku akan benar-benar ke sana. Iya... iya... benar.”
Sesampai di
Bandara H. AS. Hanandjoeddin (tadinya kupikir bernama Has Hanandjoeddin), aku baru percaya kalau aku benar-benar sudah menginjakkan kaki di
Negeri Laskar Pelangi ini. Bandara yang tidak terlalu luas, khas di daerah kecil di luar Jawa, membuat pesawat mengerahkan usaha yang lebih besar untuk mengerem di landasan pacu yang pendek. Aku lebih senang menyebutnya sebagai “pendaratan
epic”. Tubuh sampai terguncang ke depan walau sabuk pengaman sudah rapat, yang beberapa detik kemudian pesawat sudah melambat dan berbelok arah untuk parkir dengan sempurna di hanggar. Hanya sekian detik dari ujung ke ujung landasan aspal, jika tidak ingin pesawat
nyusruk ke luar lintasan.
|
Bandara kecil dengan interior dan suasana modern. Aku rasa makin banyak pengunjung ke Belitung, makin dibangunlah infrastruktur yang memadai dan layak untuk umum. Foto: aku. |
Entah benar atau salah menurut sejarah lokal, bahwa Belitung mulai dikenal oleh sebagian besar rakyat Indonesia (untuk tidak mengatakannya seluruh) sejak terbitnya novel LASKAR PELANGI yang ditulis oleh Andrea Hirata lebih dari delapan tahun silam. Lebih meledak lagi ketika digarap sebuah film dengan judul yang sama, yang mengangkat cerita berdasarkan novel tersebut. Dan lebih
moncer lagi namanya setelah novel Laskar Pelangi diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa asing di seluruh dunia (setidaknya itu yang kuhitung dari cetakan buku berbahasa asing yang dipampang di dalam museum). Jika sudah demikian, bule mana yang tidak tahu tentang Laskar Pelangi (
Rainbow Troops)? Bule mana yang belum pernah mendengar nama “Belitung”? Ya mungkin ada saja sih, dunia kan luas banget yah. #antiklimaks
Berikut adalah beberapa lokasi yang aku kunjungi selama di Belitung:
1. Waroeng Kopi Ake dan Warung Mie Belitung
Teman-temanku bersemangat untuk ngopitiam (meminum kopitiam) di Belitung. Dan entah kenapa aku baru tahu kalau
kopitiam adalah kopi khas sana. Aku tahunya cuma “Bangi Kopitiam”, sebuah kedai kopi yang punya banyak cabang dimana-mana, dan kupikir itu hanya sekedar penamaan kedai yang suka-suka pemiliknya saja dinamai apa.
|
Siluet pemandu kami. Kami duduk di kursi dan meja sederhana di depan warung. Ramenya masya Allah. Muda-mudi yang sekedar nongkrong, atau mungkin juga ada turis dari daerah lain seperti kami. Foto: aku. |
Aku yang tidak hobi ngopi, ingin sekedar mencicipi sesesap dua sesap kopi kondang itu. Hanya ingin tahu apa bedanya dengan kopi biasa. Warung Kopi Ake adalah yang dipilih oleh pemandu kami (sebenarnya beliau ada
driver perusahaan klien). Dengan harapan yang tinggi bahwa kopinya gimanaaaa gitu. Aku harus menerima kenyataan pahit sepahit kopi, bahwa yang dihidangkan di depan kami adalah... kopi susu! Yak, kalian tidak salah baca, KOPI SUSU GITU AJA, SISSSS!
Rasa kecewa tidak bisa dikatakan. Kucicipi bagaimana rasanya, dan masih berharap rasanya beda, misalnya ternyata itu kopi susu rasa durian atau rasa bebek goreng mentega, atau rasa apalah apalah. Dan ternyata rasanya seperti... kopi susu. Benar-benar dengan sombongnya aku membatin, ini sih yang biasa kubuat jaman dulu di rumah. Sekedar kopi dicampur susu kental manis putih. #dongkol
|
Kopi susu (dengan bahan kopitiam) yang kondangnya ngalah-ngalahi Syahrini pakai bulu mata antibadai. Susu kental manis sengaja belum diaduk penjualnya. Mungkin biar bisa bagus warna kontrasnya. #yakali |
Masih tidak terima kenapa kopi susu rumahan begitu bisa kondang banget di seluruh Belitung. Hampir di setiap warung, kedai, restoran, tempat duduk di sepanjang pantai Tanjung Pandan, selalu punya menu bernama “kopitiam”. Ada yang kopi hitam murni, ada yang dicampur susu seperti punya kami tadi.
Mungkin bagi penggemar kopi, akan ada bedanya rasa kopi Belitung dengan kopi lainnya. Tapi memang aku sempat merasakan kopi hitam cap Kuda Terbang yang kami beli langsung dari pabriknya (konon itu yang paling terkenal). Rasanya memang beda, misal dibandingkan dengan kopi Kapal Api atau kopi-kopi di Jawa. Dan rasanya lebih... aneh. Seperti ada material yang mengambang ketika kopi diseduh. Pokoknya kurang cocok lah di lidahku.
Selain kopitiam, kuliner khas yang kami cicipi adalah
Mie Belitung. Ini adalah campuran dari mie lurus kuning, cacahan mentimun segar, udang kecil-kecil, tahu dan seperti cakue yang dipotong-potong, dengan kuah kaldu kental dicampur petis yang rasanya manis-gurih-asam yang seger sekali. Dilengkapi dengan emping melinjo. Wah kalau ini sih, favoritku banget. Yiey!
|
Mie Belitung. Endang bambang... (bukan nama orang). Foto: aku. |
2. Replika Sekolah Laskar Pelangi
Sudah di Belitung, mubadzir rasanya kalau tidak ke sekolahnya Bu Muslimah dan para muridnya yang menamakan diri sebagai Laskar Pelangi. Entah kenapa, pemilihan nama laskar pelangi ini menurutku keren banget. Sebenarnya ini bukan sekolah aslinya si Ikal zaman kecil (novel ini
based on true story), tetapi replika atau bangunan tiruan yang didirikan untuk kepentingan syuting film Laskar Pelangi yang digawangi oleh Riri Riza dan Mira Lesmana. Lokasinya kini sudah ramai karena banyak orang berjualan di sepanjang jalan masuknya. Ada toko cinderamata, kamar mandi, dan semacam galeri lukisan di kompleks yang tidak terlalu luas itu.
|
Lapak penjual makanan. Seluruhnya pasir putih. Foto: aku. |
|
Semacam galeri yang isinya segala sesuatu tentang Laskar Pelangi. Ada cinderamata, lukisan, dan spot untuk foto. Tidak terlalu besar dan lengkap. Foto: aku. |
|
Ini SD-nya ada beneran nggak ya? Wah, lupa tanya. Foto: aku. |
|
Dindingnya penuh lukisan. Foto: aku. |
Sekali lagi, aku rasanya masih tidak percaya kalau benar-benar bisa menginjakkan kaki di sini. Tidak main-main, rasanya seperti pergi ke lokasi syuting Hobbit di Australia atau
temple di Thailand tempat syuting Angelina Jolie. Rasa syukurku kembali membuncah hingga ubun-ubun.
Bangunan sekolahnya yang sengaja dibuat reyot ini kalau aku tidak salah ingat hanya terdiri dari dua buah ruangan berukuran sedang. Lantai tanah bergelombang dan berdebu, beberapa meja dan kursi kayu murid yang penuh coretan dan sedikit miring, sepasang meja-kursi guru, papan tulis kapur, serta sebuah lemari kusam menjadi pemandangan yang seketika menyirapku menuju bayangan berpuluh tahun silam ketika Ikal benar-benar hidup dan sekolah di tempat tersebut, SDN Muhammadiyah Gantong. Jarak rumah-sekolah jauh, yang di tengah jalan masih sempat-sempatnya dihadang buaya yang lewat di antara semak belukar. Perjuangan yang mungkin aku sendiri tidak kuat untuk melaluinya. Benar-benar syahdu.
|
Halaman SDN Muhammadiyah Gantung (dilafalkan: Gantong). Akhirnya... kamu selalu punya alasan untuk bersyukur, bukan?. Foto: Imelda. |
|
Di dalam kelas sekolahnya yang dibuat syuting film Laskar Pelangi itu tuh. Gimana nggak terharu, coba? #lebay. Foto diambil oleh: mbak Hera. |
3. Museum Kata Andrea Hirata
Sejak dari
facade/ tampilan muka bangunannya, museum ini sudah unik. Tiga bagian depannya tampak tematik walau tidak padu, baik secara bentuk, warna, maupun material yang digunakan. Paling kiri adalah kayu dan batako, bagian tengah berwarna kuning mencolok dari susunan batu (juga berfungsi sebagai gerbang masuk pengunjung), dan samping kanan adalah kayu yang dicat warna-warni.
|
Fotonya menceng ye bo'. Soalnya seberang jalan sudah rumahnya orang. Dan motretnya sambil terburu-buru. Foto: aku. |
|
Lokasi: masuk gerbang, belok kiri. Masuknya gratis tis. Kalau mau menyumbang untuk kebersihan, bisa masukkan uang di kotak yang tersedia di depan pintu masuk sebelah dalam. |
|
Lokasi: masuk gerbang, lurus aja. Ada perahu mangkrak. Di balik jendela kaca itu, berbagai cindermata dijual: magnet kulkas, kaus, buku, gantungan kunci, dll. |
Ohhhh... biarlah aku dikatakan berlebihan, tapi sekali lagi aku masih merasa tidak percaya bisa sedekat ini dengan Andrea Hirata. Tidak langsung dengan orangnya karena ia tidak tinggal di sini, tetapi dekat, bahkan sangat intim, dengan karya-karyanya.
Bangunan ini sungguhlah tidak mewah. Tapi seluruh elemen dan dekorasinya menunjukkan siapa Andrea Hirata sebenarnya. Puluhan, bahkan mungkin ratusan poster,
quotes, buku-buku, piala penghargaan, sertifikat rekognisi, foto-foto proses syuting film, dan lembar-lembar pertama dari saduran novel Laskar Pelangi berbahasa asing terpampang nyata di setiap jengkal dindingnya. Ia tidak mengekspos museum ini dengan material dan
finishing mewah nan megah. Namun, siapa butuh kemewahan fisik ketika karya penulis bertaraf internasional seperti ini sudah menyihir seluruh pengunjung dan membuatnya angkat topi?
|
Tampak familiar dengan anak lelaki di foto di belakang kami? :) Dan lembaran kertas yang ditekuk-tekuk di dinding itu adalah beberapa halaman awal novel Laskar Pelangi yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Satu baris adalah dari satu bahasa. Dan di ruangan lain masih banyak lembar kertas seperti itu. Antara lain terjemahan dalam bahasa Korea, Hungaria, Brazil, Kanada, Belanda, Australia, Portugis, Penguins, Turki, Cina, dll. Ada yang ingin jadi penulis juga? Foto: Imelda. |
Bilik-bilik kecil menjadi bagian khas dari bangunan berlantai satu memanjang ke belakang ini. Setiap biliknya menampilkan kata-kata dan potret yang ber-nas dan membuat orang mengangguk-angguk setuju. Kutipan semangat untuk terus berani bermimpi tinggi dan bekerja keras mewujudkannya, serta isu kemanusiaan dan kasih sayang antarsesama, kental mewarnai pikiran orang-orang yang memang mau membaca dan tidak sekedar foto-foto
selfie maupun
wefie di dalamnya.
|
Kenapa aku baru tahu kalau Andrea sudah dapat gelar honoris causa ya? |
|
Poster yang lain. |
|
Even you can feel the emotion along the Laskar Pelangi shooting process. The speaking-picture always steal my heart :* |
Agak ke dalam, terdapat dapur yang tampak sengaja dibuat sesederhana mungkin. Menyajikan kopi khas Belitung dan jajanan ringan bagi para pengunjung yang sejenak ingin rehat di kursi-kursi dan meja kayu bundar di sekitarnya.
Di belakangnya lagi, ternyata masih ada ruang yang luas dan cenderung terbuka. Hanya tiang-tiang penyangga yang tampak. Tiap ruangan pun memiliki tema dan peruntukan yang berbeda. Yang aku perhatikan, ada ruang untuk pentas seni dan unjuk bakat. Ada ruang dengan tema anak-anak yang ceria, selebihnya adalah ruang ekspresi lain-lain. Aku tidak sempat menanyakan kepada penjaga di sana tentang apakah ruang-ruang tersebut memang dibuka, disewakan, atau digratiskan untuk acara-acara umum maupun komunitas yang ingin unjuk karya, atau sekedar menunjukkan bahwa Andrea Hirata selain seorang penulis, juga peduli pada seni lainnya. Yah, sebenarnya aku juga tidak tahu siapa yang “
mbaurekso” dan petugas museum yang bisa dimintai informasi lengkap, selain seorang mas-mas penjaga toko cinderamata yang duduk di bagian depan.
|
Kalo desainer interiornya nggak ngerti estetika, nggak mungkin susunan ornamen, dekorasi, warna, dan ide dasarnya seunik ini. Foto diambil oleh: mas Syahrul. |
|
Ini nih, panggung pendek sebelah kanan foto yang di atas foto ini. Coba, kira-kira untuk apa ya ruangan ini? Foto: Imelda. |
Entah kalian percaya atau tidak, sebenarnya tidak satupun buku Andrea Hirata yang tuntas aku baca. Hanya yang berjudul “Laskar Pelangi” yang aku buka-buka dan sekedar membaca beberapa kalimat. Aku punya beberapa bukunya di rumah (lebih tepatnya diberi oleh temanku), tapi masih belum berminat membacanya. Mungkin karena era kegemilangan kisah Laskar Pelangi sudah berlalu, jadi aku tidak merasa wajib untuk turut membacanya. Aku hanya melihat film Laskar Pelangi dan seri ke duanya, Sang Pemimpi. Eh, atau Edensor ya? Aku lupa. Tapi aku memang pecinta dan pengoleksi buku-buku sih, walau belum banyak.
Sekalipun demikian, aku sangat salut kepada Andrea Hirata dengan segala ke-magis-an kecerdasan dan ketukan tangannya di
keyboard komputer, sehingga mampu menghasilkan mahakarya yang mendunia.
|
Buku-bukunya Andrea. Sebagian dijual di toko cinderamata sebelah depan. Foto: aku. |
|
Andrea Hirata mengangkat nama Belitung lewat karya nyata. Foto: aku. |
|
Museum Literasi PERTAMA di Indonesia. Baru tahu juga. Jalan-jalan juga menambah wawasan banget kan ternyata? Bukan hanya senang-senang. Foto diambil oleh: mbak Hera. |
Mas Hirata, dimanapun kamu berada saat ini, izinkanlah aku berterima kasih dari lubuk hati yang terdalam, karena telah membuat Belitung dikenal tidak hanya oleh rakyat Indonesia, tetapi juga oleh bule mancanegara. Terima kasih telah mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia, sehingga dunia tidak hanya menganggap Indonesia itu negara setengah miskin dengan ribuan koruptor dan agama Islam yang dituduh teroris. Tidak hanya menilai Indonesia sebagai negara kaya hasil bumi yang dengan mudahnya dikeruk asing, negara yang diisi pemuda-pemuda pemabuk dan otaknya
mengsle sehingga hobi mencabuli orang lain, dan negara dengan para anggota dewan yang antara janji-janji kampanye dan realitanya nggak
mathuk.
Terima kasih mas, terima kasih. Mohon maaf kalau aku sok kenal dengan memanggilmu “mas”, walaupun kita belum pernah jumpa. Sepertinya kamu sudah menjadi "bapak-bapak".
I love you, i love your language-intelligence, i love how you contribute to your country, and i love how you care to humanbeing.
(bersambung...)
Semoga cepet sembuh, Keren, dan aku mau kesana..
ReplyDeleteBtw Aku pikir mbak jalan2 pake sendal hotel lho.. ternyata emang sendal lepek gtu.. XD
makasih...
Deletehoneymoon kesana gih kalian :D
apa kamu bilang? sendal lepek, kang? itu sandal beli di carrefour yooo *entah kenapa harus bangga*
Aku sempet mobat-mabit baca tulisan ini, sebelas hari aku melanglang buana di Belitong Timur.
ReplyDelete