Emosional di Kelas Inspirasi Kediri 4

, , No Comments

Memikirkan materi yang akan aku sampaikan ke adik-adik SDN Wonorejo 2 Puncu, Kabupaten Kediri kemarin, membuatku larut dalam emosi yang cukup dalam selama seminggu sebelumnya. Sebenarnya misi Kelas Inspirasi (KI) adalah mengenalkan beragam profesi kita kepada anak-anak SD yang bisa jadi mereka sama sekali belum pernah tahu, kemudian memotivasi mereka agar berjuang dan belajar tekun untuk mewujudkan mimpi-mimpi baiknya, apapun itu. KI bukan menyasar pemberian materi tertentu kepada mereka.


Briefing KI 4 bersama 200-an relawan pengajar, fotografer, dan videografer di Hall UNP Kediri
Bersama sebagian rombongan belajar (rombel) yang akan bertugas di SDN Wonorejo 2 Puncu, Kab. Kediri
Lalu aku kebingungan bagaimana menjelaskan soal profesiku kepada anak-anak SD. Relawan pengajar yang diterima, diutamakan bukan guru atau dosen. Mungkin pertimbangannya, anak-anak sudah sangat familiar dengan profesi guru, yaitu yang mereka lihat sehari-hari. Begitupun dosen, tinggal menambahkan penjelasan bahwa dosen adalah guru untuk murid-murid selepas SMA, di tingkat yang lebih tinggi. Termasuk strategiku juga, agar aku diterima dalam seleksi online KI yang telah diselenggarakan ke empat kalinya di Kediri ini, aku tidak mencantumkan bahwa profesiku adalah dosen. Dan yang paling memungkinkan adalah seorang psikolog. Tersuratnya, aku menulis profesiku adalah “associate psychologist (freelancer)”. Itu sudah yang paling pas.
Bersama pohon cita-cita dan alat peraga yang kubuat. Wajahnya yang nggambar anak-anak

Bagaimana menjelaskan ke level kognisi anak SD bahwa pekerjaanku adalah menyeleksi calon karyawan yang akan bekerja di perusahaan, dengan melakukan serangkaian asesmen psikologis yang meliputi tes psikologis (tes inteligensi, tes sikap kerja, tes kepribadian), memandu FGD/ LGD (focus group discussion/ leaderless group discussion), menilai presentasi materi studi kasus, menilai cara kandidat bermain-peran (roleplay), serta melakukan wawancara untuk penggalian data lebih lanjut, baik dengan teknik wawancara sederhana (10-15 menit per kandidat) maupun wawancara berbasis kompetensi/ competence-based interview/ CBI (45-60 menit per kandidat)???

Setelah pengambilan data selesai, aku membuat laporan hasil pemeriksaan psikologis (LHPP) yang berisi skor-skor kandidat serta membuat deskripsi diri subjek secara menyeluruh. Istilahnya, orang itu seperti apa sih kecerdasan intelektualnya, sikap kerjanya, serta bagaimana kepribadiannya. Dengan menyocokkan dengan standar dan syarat nilai minimal yang diminta klien, aku memberikan rekomendasi, apakah kandidat tersebut layak diterima atau ditolak. Keputusan akhir terhadap kandidat tersebut tetap di tangan manajemen klien. Setelah laporan kuserahkan, maka aku mendapat bayaran.

Jadi, pekerjaanku bukan spesialis di bidang konseling atau terapi selayaknya psikolog klinis atau pendidikan. Aku bekerja di bidang industri dan organisasi. Yah, walaupun tetap saja ada yang curhat-curhat sampai nangis, baik di rumah ataupun di kampus, aku tidak (atau belum) menjadikannya sebagai profesi untuk menarik bayaran atas kupingku yang kusediakan untuk mereka. Karena hampir seluruh orang yang curhat itu sudah aku kenal, maka akhirnya aku dan dia malah sharing, bagaimana kondisi dia, bagaimana dulu aku mempunyai masalah yang sama dan cara mengatasinya (jika kebetulan masalahnya sama), atau bagaimana pandanganku secara teori maupun praktis. Toh golku akhirnya adalah membuat mereka memiliki insight (aha! moment) tentang berbagai alternatif solusi, serta memilih solusi mana yang paling memungkinkan dan paling tepat menurut dia sendiri. Dan karena belum menjadikan sesi berjam-jam itu sebagai ladang mencari uang juga, maka aku memosisikan diri setara dengannya agar ia lebih nyaman untuk bercerita. Dan ya, dicurhati itu lebih menguras emosi lho, daripada pekerjaanku menyeleksi ratusan karyawan yang lebih banyak haha-hihi dan travelingnya sama teman-teman. #begitu

Kembali ke Kelas Inspirasi.

Selain agak kerempongan bila menjelaskan profesiku, aku tiba-tiba ingat bahwa di semester lalu, aku pernah menunjukkan sebuah video dari UNICEF dan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia kepada mahasiswa yang isinya tentang upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak-anak. Aku lupa mendapatkan video itu dari mana. Yang jelas terima kasih sekali bagi yang memberikanku video itu, semoga amal jariyah mengalir padamu. Aamiin.

Nah, kenapa aku tidak menyampaikan soal itu saja ke anak-anak? Toh video itu juga narasinya berupa bahasa yang sederhana, yang aku asumsikan bahwa ketika aku menjelaskan ke anak-anak kembali, materi itu bisa diterima seusia mereka.

Sempat ragu-ragu selama seminggu itu, apakah nanti kelas akan heboh? Atau malah krik-krik? Mengingat yang kusampaikan adalah soal seksual, soal anggota tubuh mereka, dan hubungannya dengan alat kemaluan. Tapi buru-buru kutepis keraguan itu, karena pendidikan seks sejak dini itu memang penting. Dan sedini apakah? Sedini anak bisa diajak berinteraksi dan berkomunikasi tentang itu, bertahap dari hal yang paling sederhana hingga kompleks.

Kalau paska kasus pelecehan seksual murid oleh orang dewasa di JIS dulu itu aku ikut geram dan langsung membahasnya dengan anak-anak tetangga yang masih SD yang sering main ke rumah, mengapa sekarang tidak? Sekarang justru lebih banyak kasus pemerkosaan dan tindakan sadis lainnya kepada anak-anak. Belum lagi meluasnya isu LGBT yang terjadi beberapa bulan silam, membuatku mantab bahwa pendidikan seks sejak dini bisa kulakukan segera ke anak-anak SD itu. Dan siapapun, bisa melakukannya jika memang peduli terhadap hal tersebut.

Semalam sebelum pelaksanaan Hari Inspirasi, kami menyebutnya demikian, aku begadang untuk membuat alat peraga atau media pembelajaran yang pas untuk anak-anak. Tadinya mau kutayangkan langsung video itu, tapi nanti bisa jadi minim interaksi saat di kelas. Maka, aku membuat gambar anak laki-laki di selembar karton besar, yang tingginya kurang lebih 1,2 meter. Lalu agar lebih lucu, aku membuat tambahan rambut dan rok yang bisa dilepas-pasang, jika anak-anak ingin tokohnya nanti berubah menjadi perempuan.

Aku yang tidak jago menggambar tentu kesulitan dan berkali-kali menghapus goresan pensilku di atas karton. Tapi bayangan bahwa besok aku akan melakukan hal yang menurutku penting (kalau terlalu berlebihan untuk dibilang urgent) untuk anak-anak di lereng Gunung Kelud itu, semangatku kembali menyeruak. Aku yang sejatinya sudah capek karena sejak pagi mengajar, siangnya mengurus pajak di KPP Pratama sampai sore, lalu beberes rumah karena ada teman dari Jogja yang mau nginep, lalu malamnya ada kondangan sampai jam 21.30, menguat-nguatkan mata untuk mengerjakan ini. Dan aku baru bisa tidur jam 01.30 dini hari. Alarm kusetel jam 03.30, tapi nyatanya aku baru bangun jam 04.30. Mandi dan bersiap dengan cepat, karena jam 05.15 harus sudah sampai Simpang Lima Gumul (SLG) dan berangkat bersama rombongan menuju Puncu.
***
Suasana kelas ramai. Aku yang sudah ikut ke dua kalinya di Kelas Inspirasi, masih saja merasa grogi menghadapi anak-anak yang kemriyek bersama koloninya. Tapi sejak KI 1 yang kuikuti akhir tahun 2013, praktis sudah hampir 2 tahun aku menjadi dosen, dan itu sangat bermanfaat dalam melatih kemampuan komunikasi, melontarkan dan menanggapi humor, meningkatkan kepercayaan diri, serta lebih mendalami lagi soal psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan. Dan tentu saja yang akan kusampaikan ini sangat erat kaitannya dengan bidang psikologi, bahkan pendidikan seksual masuk di dalamnya.

Setelah memperkenalkan diri dan ice breaking, aku mengenalkan profesiku. Untuk menghindari krik-krik dan deadlock, aku bilang bahwa psikolog itu kerjaannya jalan-jalan keliling Indonesia naik pesawat. Kelas seketika riuh rendah. Anak-anak bersemangat. Mungkin mereka tidak percaya bahwa ada pekerjaan yang tugasnya jalan-jalan. Ada cerita bahwa ketika aku selesai mengajar kelas itu, lalu dimasuki oleh relawan pengajar yang lain dan me-review apa pekerjaanku, anak-anak kompak menjawab bahwa pekerjaan Kak Fatma adalah jalan-jalan! #modyarrrrr
Menggambar pesawat terbang
Untuk kelas 5 dan 6, aku memberi contoh tentang bagaimana caraku menyeleksi, misalnya untuk guru di sekolah. Bagaimana kepala sekolah akan terbantu dengan kehadiran psikolog, untuk menentukan guru mana yang cocok untuk mengajar. Anak-anak sendiri yang mengajukan syaratnya, yaitu gurunya harus yang sabar, suka anak kecil, dan pintar. Syarat-syarat ini dalam psikologi biasa disebut “kriteria konseptual”.

Sedangkan di kelas 3 dan 4 yang digabung menjadi satu, kok ya pas aku masuk, saat perkenalan, ada salah satu siswi yang tiba-tiba membik-membik matanya merah. Sempat kudengar ada yang mengatainya “Papua! Papua!”. Tangannya mengusap-usap air mata yang keluar. Kuamati anak itu, kayaknya nggak cocok juga kalau dikatakan Papua, jika yang dimaksud adalah berkulit gelap. Anak itu berkulit coklat biasa layaknya teman-temannya. Rambut... juga tidak keriting. Malah lurus panjang. Lalu apanya ya? Kutanya apakah berasal dari Papua? Jawabannya tidak.

Kesempatan nih. Kubilang saja bahwa salah satu tugas psikolog, itu adalah sebagai teman bercerita. Psikolog juga bertugas membuat anak yang menangis menjadi tidak menangis lagi. Psikolog berusaha membuat anak-anak ceria, bahagia. Kalau ada yang mengolok-olok temannya, psikolog tugasnya mencari tahu kenapa itu terjadi, dan memberi tahu kepada pengolok tersebut, bahwa tindakannya itu ternyata membuat sedih temannya. Dan seterusnya. Suasana kelas menjadi lebih tegang sedikit dan lengang. Tapi kubiarkan saja. Pendidikan bukan hanya soal matematika dan bahasa mendapat nilai 100, tapi juga tentang membentuk karakter, mengenalkan perilaku baik dan buruk, pentingnya meminta maaf dan memaafkan, serta lebih peka terhadap perasaan orang lain.

Masuk ke materi soal pencegahan tindak kejahatan seksual tersebut, aku menempelkan gambar peraga di papan tulis. Singkatnya, aku menyampaikan bahwa ada 3 area yang tidak boleh dipegang oleh orang lain, bahkan oleh orangtuanya sendiri, kalau sudah masuk SD. Yaitu dada, alat kemaluan, dan pantat. Bagi anak yang tinggal bersama kakek nenek, paman bibi dalam satu rumah, maka orang-orang tersebut juga tidak boleh memegang-megang (untuk menyederhanakan bahasa memegang, meraba, dan meremas) 3 area itu. Hanya diri sendirilah yang boleh memegang 3 area itu, termasuk bagi anak kelas 1 SD yang sudah bisa mandi dan cebok sendiri.
Area dada disilang, artinya tidak boleh dipegang orang lain
Apa yang harus dilakukan apabila tiba-tiba ada orang yang memaksa memegang 3 area itu? Dipancing demikian, anak-anak mempunyai jawaban natural yang bagus: tangan orang itu digigit, dipukul, ditendang. “Bagus!” kubilang. Itu semua bisa dilakukan jika mereka merasa terancam. Aku bilang, anak-anak laki dan perempuan boleh lho untuk belajar bela diri, seperti silat dan taekwondo. Tujuannya agar bisa melawan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Kalau pelaku yang memegang itu orang dewasa atau bertubuh lebih besar dan cara melawan fisik yang pertama tidak berhasil, yang harus dilakukan adalah berteriak. “Bagaimana teriakannya, adik-adik?” pancingku. “Tolooooooong!” anak-anak kompak meneriakkan kata tolong. Mereka sambil tertawa-tawa, dan akupun ikut tertawa sepanjang penjelasanku tadi, agar anak-anak tidak merasa horor mengetahui hal baru yang cukup mengerikan (mungkin) seperti ini.

Jika sudah terjadi pemaksaan dan tubuhnya dipegang-pegang, anak-anak harus lapor ke orang terdekat, yaitu guru dan atau orangtua masing-masing. Berani untuk bercerita, maka orang lain akan turut meningkatkan kewaspadaan dan peduli untuk menjaga keselamatan anak-anak.
Aku tertawa-tawa dan tersenyum masuk ke kelas yang masing-masing berdurasi 40 menit itu. Tapi dalam hati dan otakku, emosional tak bisa kubendung selama melihat wajah-wajah polos mereka. Aku menjadi sangat bersemangat menjelaskan soal itu, karena dorongan antara emosi sedih, khawatir, dan senang. Sedih karena mengingat betapa banyak korban kejahatan seksual pada anak-anak. Khawatir bahwa mereka, termasuk aku, bisa sewaktu-waktu mengalami hal buruk walaupun tidak ada yang pernah meminta. Dan senang, karena optimisme bahwa apa yang kusampaikan memang penting, memang dibutuhkan anak-anak (aku konsultasi materi tersebut ke guru kelas dahulu saat briefing seminggu sebelumnya), dan harapan bahwa tidak ada satupun dari anak-anak di SD ini yang telah mendengarkan penjelasanku, yang sampai dewasa kelak menjadi korban selanjutnya dari kejahatan seksual, dimanapun mereka berada.

Tuhan, mungkin impianku terlalu tinggi, karena aku hanya berbuat sedikit sekali untuk anak-anak ini. Tapi tidak ada yang mustahil selama Engkau membersamai kami. Tuhan, jaga kami, lindungi kami, selamatkan kami dari makhlukMu yang jahat. Aamiin...

Foto-foto ber-watermark Kelas Inspirasi adalah hak milik KI Kediri 4, yang dipotret oleh para relawan fotografer. Sedangkan foto lainnya adalah memakai kamera ponselku. Kualitasnya jelas beda lah ya. Hahaha.
Terima kasih atas kesempatannya, Indonesia Mengajar, Kelas Inspirasi. Kebersamaan ini sangat berarti. Bukan hanya untuk kita dan kami, tapi untuk masa depan anak-anak Indonesia. Insya Allah. Kiri-kanan: mbak Galuh (banker), mas Fatih (fotografer), mbak Anggraini, mbak Revi, mbak Mijan, mbak Amira (semua yang berbaju oranye adalah fasilitator), mbak Devy (pengajar biola), aku, mas Mizan (ketua KI Kediri 4), mas Risky & mas Dony (fotografer), bawah mbak Ana (fotografer) 

Friends for life not just a summer or a spring... Amigos para siempre!
We had joy, we had fun, we had seasons in the sun
Penyematan mahkota "Duta Cita-cita" kepada perwakilan tiap kelas. Untuk saling menyemangati dengan teman-temannya dalam meraih impian setinggi langit

Penampilan puisi, tari, dan senam aerobik di akhir acara dari adik-adik. Terima kasih, kalian :)
Nb: Kelas Inspirasi yang kami laksanakan pada hari Sabtu, 30 April 2016 ini, hanya berselang dua hari sebelum berita tentang almarhumah Y*y*n (gadis 13 tahun) yang diperkosa 14 remaja mabuk dan dibunuh, lalu jenazahnya dibuang di tebing, di daerah Bengkulu. Emosiku seolah meledak lagi. 

0 komentar:

Post a Comment