“Ibnu,” katanya tanpa menoleh ke arahku.
Aku memandang wajahnya di keremangan malam setengah pekat. Hanya
lampu teplok yang membuat siluet tubuhnya pada pagar rumah. Ah, keterlaluan
sekali. Lelaki ini bertahun-tahun melintas di depan rumah, tapi bahkan aku baru
tahu namanya malam ini.
Tubuhnya mungil, jika tidak disebut kurus dan pendek. Parasnya
masih sama dengan 20 tahun lalu ketika ia mengaku pertama kali menyisir kampung
ini. Mungkin sekarang sudah bertambah tiga-empat kerutan di sekitar mata dan
bibirnya, juga puluhan uban di rambutnya... jika saja aku bisa melihatnya di
siang hari. Ditambah topi bundar, yang selalu menjadi ciri khasnya sejak dulu.
“Pak Ibnu?”
“Ya, Mbak.”
Anaknya satu, kelas 4 SD sekarang. Ah, betapa sudah
terlampau lewat sejak aku menggemari rasa masakannya itu, setahun sebelum
tumbangnya rezim Soeharto. Anak istrinya tinggal di Nganjuk, sedangkan ia
ngekos di Kediri. “Sebulan sekali pulangnya, Mbak”, jawabnya ketika aku tanya
setiap berapa lama ia pulang menemui keluarga kecilnya.
Dulu aku berpikir orang yang tinggal jauh dengan keluarga
itu kurang bahagia. Bagaimana mengatur keuangannya, belum lagi menangani istri
dan anak kala jauh. Mengapa menikah jika harus tinggal berjauhan? Mengapa harus
jauh jika salah satu bisa pindah kota demi keluarga yang “tampak” kompak?
Pak Ibnu tetap asyik mengulek bumbu kacang, bawang, dan
petis di cobeknya. Sesekali ia membalik tahu setengah matang di penggorengan
panas.
Sejak malam kemarin, pikiranku berubah. Aku tidak bisa
memprasangkakan sesuatu yang tidak aku ketahui betul keadaannya.
Aku melihat Pak Ibnu mencintai pekerjaannya. Mengayuh sepeda-gerobak
mulai habis magrib hingga malam. Menerjang hujan dan angin demi memenuhi
perut-perut orang lapar yang malas memasak di rumah. Berteduh jika guyuran air
langit begitu deras. Dan cukup tinggal di kosan jika sedang tidak enak badan.
Sikapnya santun kepada setiap pembeli. Tidak pernah bertanya
macam-macam, dan bahkan tidak bicara jika tidak ditanya. Sepertinya tidak
terlalu tertarik pada urusan orang lain.
Karena jarang bicara ngalor ngidul pula, tak pernah
sekalipun selama 20 tahun ini aku mendengar sepotong keluhan keluar dari
mulutnya. Jalanan becek kah, capek kah, pembeli sepi kah, harga cabe naik kah,
atau apapun yang bisa dikeluhkan dari hidup ini.
Anaknya sekolah. Ia ingin anaknya pintar. Ia rutin
mengunjungi keluarganya sebulan sekali, walau sejak sebelas tahun lalu hidup
berjauhan dengan anak istrinya. Ia bertanggung jawab.
Kadang wajahnya memang terlihat lelah. Tapi setiap kali kusapa
sekelebatan jalan, “Paak!”, ia selalu menoleh dan tersenyum dengan menunjukkan
gigi-gigi gingsulnya. Dan mulai sekarang aku berjanji, jika suatu saat bertemu
di jalan, aku akan menyapa dengan menyebutkan namanya: “Pak Ibnuuuu!”
Nah, pesananku telah selesai dimasak. Aku menikmati tahu
lontongku seharga lima ribuan. Bumbunya tetaplah sempurna. Tidak berubah sejak
setahun sebelum tumbangnya rezim Soeharto, ketika harganya masih tiga ratus
rupiah.
oooh, pak ibnu toh, namanya... masih melintas depan rumah juga? hebat! 5000? alhamdulillah....
ReplyDeleteiyaaaaak..
Deletebayangkan suara teng-teng-nya, antara sutil beradu dengan wajan, untuk memanggil pelanggan :)))