Ibnu

, , 2 comments


“Ibnu,” katanya tanpa menoleh ke arahku.

Aku memandang wajahnya di keremangan malam setengah pekat. Hanya lampu teplok yang membuat siluet tubuhnya pada pagar rumah. Ah, keterlaluan sekali. Lelaki ini bertahun-tahun melintas di depan rumah, tapi bahkan aku baru tahu namanya malam ini.

Tubuhnya mungil, jika tidak disebut kurus dan pendek. Parasnya masih sama dengan 20 tahun lalu ketika ia mengaku pertama kali menyisir kampung ini. Mungkin sekarang sudah bertambah tiga-empat kerutan di sekitar mata dan bibirnya, juga puluhan uban di rambutnya... jika saja aku bisa melihatnya di siang hari. Ditambah topi bundar, yang selalu menjadi ciri khasnya sejak dulu.

“Pak Ibnu?”

“Ya, Mbak.”

Anaknya satu, kelas 4 SD sekarang. Ah, betapa sudah terlampau lewat sejak aku menggemari rasa masakannya itu, setahun sebelum tumbangnya rezim Soeharto. Anak istrinya tinggal di Nganjuk, sedangkan ia ngekos di Kediri. “Sebulan sekali pulangnya, Mbak”, jawabnya ketika aku tanya setiap berapa lama ia pulang menemui keluarga kecilnya.

Dulu aku berpikir orang yang tinggal jauh dengan keluarga itu kurang bahagia. Bagaimana mengatur keuangannya, belum lagi menangani istri dan anak kala jauh. Mengapa menikah jika harus tinggal berjauhan? Mengapa harus jauh jika salah satu bisa pindah kota demi keluarga yang “tampak” kompak?

Pak Ibnu tetap asyik mengulek bumbu kacang, bawang, dan petis di cobeknya. Sesekali ia membalik tahu setengah matang di penggorengan panas.

Sejak malam kemarin, pikiranku berubah. Aku tidak bisa memprasangkakan sesuatu yang tidak aku ketahui betul keadaannya.

Aku melihat Pak Ibnu mencintai pekerjaannya. Mengayuh sepeda-gerobak mulai habis magrib hingga malam. Menerjang hujan dan angin demi memenuhi perut-perut orang lapar yang malas memasak di rumah. Berteduh jika guyuran air langit begitu deras. Dan cukup tinggal di kosan jika sedang tidak enak badan.

Sikapnya santun kepada setiap pembeli. Tidak pernah bertanya macam-macam, dan bahkan tidak bicara jika tidak ditanya. Sepertinya tidak terlalu tertarik pada urusan orang lain.
Karena jarang bicara ngalor ngidul pula, tak pernah sekalipun selama 20 tahun ini aku mendengar sepotong keluhan keluar dari mulutnya. Jalanan becek kah, capek kah, pembeli sepi kah, harga cabe naik kah, atau apapun yang bisa dikeluhkan dari hidup ini.

Anaknya sekolah. Ia ingin anaknya pintar. Ia rutin mengunjungi keluarganya sebulan sekali, walau sejak sebelas tahun lalu hidup berjauhan dengan anak istrinya. Ia bertanggung jawab.

Kadang wajahnya memang terlihat lelah. Tapi setiap kali kusapa sekelebatan jalan, “Paak!”, ia selalu menoleh dan tersenyum dengan menunjukkan gigi-gigi gingsulnya. Dan mulai sekarang aku berjanji, jika suatu saat bertemu di jalan, aku akan menyapa dengan menyebutkan namanya: “Pak Ibnuuuu!”

Nah, pesananku telah selesai dimasak. Aku menikmati tahu lontongku seharga lima ribuan. Bumbunya tetaplah sempurna. Tidak berubah sejak setahun sebelum tumbangnya rezim Soeharto, ketika harganya masih tiga ratus rupiah.

2 comments:

  1. oooh, pak ibnu toh, namanya... masih melintas depan rumah juga? hebat! 5000? alhamdulillah....

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaaaaak..
      bayangkan suara teng-teng-nya, antara sutil beradu dengan wajan, untuk memanggil pelanggan :)))

      Delete