40 Hari Bersama Bapak

, , 8 comments
“Ibuk, ibuk, lihat. Aku pengen dijemput sekolah sama bapak!”, gadis itu merajuk ke ibunya, menunjuk ke teman-teman TK nya yang begitu keluar gerbang sekolah, langsung disambut oleh ayah-ayah mereka dengan senyuman, lalu dinaikkan ke boncengan motornya.
“Ini kan sudah dijemput ibuk, nduk? Ibuk atau bapak kan sama saja?” balas ibunya sambil berlutut di hadapan anak gadisnya.
“Tapi buk, aku bosan naik becaknya Pak Ran! Aku mau dijemput bapak!”

Ibunya menghembuskan napas pelan. Diusapnya rambut cepak gaya Demi Moore anaknya yang lurus tipis sambil tersenyum.
“Ayo nduk, pulang. Kalau kesiangan nanti panas. Ngajinya nanti sore sudah sampai juz berapa?” si ibu berusaha mengalihkan perhatian anak gadis.
“Sepuluh!” jawab si gadis singkat dengan bibir manyun.

***


“Ibuuuk!” anak gadis yang kini sudah kelas 3 SD menghambur ke arah ibunya sepulang sekolah dengan napas terengah-engah.
“Ibuk! Aku tadi lihat di rumah mbah Uti, ada perempuan dadah-dadah ke bapak. Membukakan pintu gerbang, trus bapak naik motor pergi kerja. Siapa perempuan itu, buk? Ibuk harus jelaskan ke aku. Sekarang!”

Ibunya tertegun mendengar penuturan anak gadisnya. Perempuan? Mengantar bapak kerja? Siapa?

“Ibuk nggak tahu, nduk. Sampeyan kapan lihatnya?”
“Tadi pagi, pas berangkat sekolah naik becak. Aku cuma lewat depan rumah mbah Uti. Kalau ibuk nggak tahu, ibuk harus telpon mbah Uti sekarang!”
Si ibu geleng-geleng melihat kelakukan anaknya siang ini. Anak yang cerdas, yang memiliki kosakata lebih banyak daripada kakaknya, yang suka protes, dan emosinya meledak-ledak.

“Iya, oke, sebentar. Sampeyan ganti baju dulu, makan dulu, baru ibuk mau telepon mbah Uti. Gih”, perintah ibunya.
Anak gadis berlari melepas baju, cuci tangan dan kaki, lalu makan.
Sejurus kemudian, sudah duduk di sebelah telepon rumah, menagih janji ibunya.

“Assalamu’alaikum, bu. Menika kula ingkang telepon. Panjenengan sehat, bu? Bapak njih sehat? Alhamdulillah...”
Mekaten, bu. Nyuwun duka sakderengipun. Kala wau gendhuk crita, pas wangsul sekolah, dhawahe ngertos bapakipun badhe tindak kantor, nanging diteraken kaliyan tiyang estri ngantos dugi gerbang. Ngapunten menawi lancang, gendhuk namung pengen mangertos, sinten ingkeng estri menika, bu?” si ibu sangat berhati-hati memilih kalimat.

Anak gadis masih diam menatap lurus ibunya yang sedang berbicara di telepon. Si ibu menatap bergantian, antara anaknya dan lantai di hadapannya. Ibunya diam mendengarkan jawaban dari seberang sana.

“Oh, mekaten bu. Injih, matur nuwun kabaripun. Assalamu’alaikum.”

Si gadis menatap ibunya dengan pandangan menyelidik.
“Gini, nduk. Itu tadi adalah ibuk baru... buat bapakmu”, si ibu berusaha menata kalimat.
“Ibuk baru? Maksudnya?”
“Ibuk sudah nggak serumah sama bapak, kan? Nah, bapak perlu ada yang ngopeni, nduk. Ya ibuk baru tadi yang ngopeni bapak.”

Bagai tersambar petir, si gadis berdiri dari hadapan ibunya dan berbicara dengan lantang, “Oke! Tapi ibuk harus tanya lagi ke mbah Uti. Siapa namanya, dia kerja apa, rumahnya dimana, biar aku tahu, dia pantes buat bapak apa enggak!”
“Sudahlah, nduk. Apakah itu semua perlu?” ibunya tidak berselera melanjutkan obrolan.
“Tentu perlu, buk.”

Ya Tuhan. Anakku. Dia tidak tahu apa-apa, ya Allah. Batin si ibu.

***

Ruang tamu ramai oleh anak-anak bermain tenda-tendaan. Bantal kursi dijadikan tempat tidur di lantai dan diatapi beberapa lembar taplak meja yang disusun sedemikian rupa. Si gadis, kakaknya, dan dua orang sepupu laki-lakinya bermain di sana. Ini adalah liburan sekolah. Sepupu-sepupunya dari luar kota yang kurang lebih seumuran selalu berlibur di rumah eyangnya.
Gelak tawa membahana, hingga eyang putri berdehem kemudian meminta cucu-cucunya makan siang lalu tidur. Hal paling menyebalkan ketika bermain tenda-tendaan adalah ketika acara itu selesai.

Di tengah kegembiraan itu, tiba-tiba sepupu bertanya kepada si gadis, “Dik, bapak sama ibukmu cerai, kan?”
Si gadis terdiam dari aktivitasnya. Kepalanya sedikit dimiringkan dan dahinya berkerut. “Cerai?”
“Iya.”
“Nggak, tuh. Kata siapa?”
“Mmmm... tapi pokoknya iya. Aku pernah dengar kok.”
“Bapak sekarang cuma tinggal di rumah mbah Uti di sana. Tuh”, tangan si gadis menunjuk arah utara. “Mbah Uti dan Yang Kung sendirian di rumah, jadi ditemani bapak di sana. Bapak nggak tidur di sini”, jawab gadis itu enteng. Memang benar kok, ibunya selalu bilang begitu.
“Ooo...” sepupunya tidak melanjutkan pembicaraan.

Ruang tamu lebih lengang dari sebelumnya.

***

Tahun berganti tahun. Si gadis tumbuh menjadi remaja yang cukup pintar di sekolahnya. Ibunya selalu berpesan, si gadis harus terus belajar, harus meraih rangking 3 besar di kelasnya. Lebih baik lagi kalau selalu menjadi rangking satu. Ibunya bilang, kalau mau dapat SMA yang bagus, harus bisa sekolah di SMP yang bagus. Dan biar masuk ke SMP yang bagus, maka sejak SD harus berprestasi. Tiada hari tanpa belajar.

Sejak SD, menjelang ujian atau ulangan apapun itu, gadis kecil ini duduk tekun belajar di mejanya. Bukunya tidak melimpah, tapi cukup. Ia seringkali harus rela diwarisi buku oleh kakaknya. Sama saja isinya, begitu kata ibunya. Kelas 5 dan 6 SD, si gadis sering tidur larut malam, jam 11 atau 12, untuk belajar. Sering ia mendapati pamannya yang baru pulang dari nongkrong, khas anak muda, ketika ia jatuh tertidur di atas kursi dengan buku masih didekap di dadanya. Begitu pintu ditutup, ia melanjutkan lagi membaca untuk ujian besok. Tentu saja ibunya sudah tidur setelah lelah seharian bekerja.

“Hei, kok aku nggak pernah lihat bapak kamu di rumah?”, tanya teman SMP nya suatu kali.
“Iya, bapak di rumah mbah. Nemani mbah yang sendirian di sana.”
“Ooo...”

Si gadis bersyukur tidak ada yang bertanya macam-macam soal bapaknya. Lha dia sendiri cuma punya 1 kalimat itu sebagai jawabannya.

***

Hingga si gadis berhasil duduk di perguruan tinggi dengan jurusan pilihannya, si ibu mengajaknya berbicara. Mereka berbaring bersisian, seperti kebiasaan yang telah mereka lakukan sejak si gadis masih bayi sampai hendak dewasa.

“Nduk, sekarang sampeyan sudah gede. Ibuk mau cerita sesuatu. Ibuk rasa, sampeyan sudah berhak tau, sekaligus siap mendengarnya.”
“Apa buk?”

Kisah itu dimulai dengan helaan napas panjang dari ibunya.

“Jodoh itu seperti hujan dari langit, nduk. Nggak bisa dipaksa minta, juga nggak bisa ditolak. Dulu ibuk sama bapakmu nggak pacaran. Rumah bapak yang ternyata setiap hari ibuk lewati kalau pergi kerja, tidak sekalipun ibuk pernah kecekluk atau jatuh di depannya. Mana ibuk tahu kalau ternyata anak si pemilik rumah itu yang jadi suami ibuk.
Sebelumnya, seperti sampeyan sudah tahu, ibuk pernah punya teman dekat lelaki. Tampan, cerdas, tegas, seperti keinginan ibuk. Tapi ternyata Allah tidak menjodohkan ibuk dengan dia, malah dengan bapakmu, yang ibuk sama sekali nggak kenal sebelumnya, dia itu siapa, anaknya siapa, dan seterusnya.”

Anak gadis mengangguk pelan. Ibunya melanjutkan bercerita.

“Akhirnya ibukmu ini menikah dengan bapak, bukan disertai cinta yang menggebu-gebu seperti anak muda zaman sekarang. Ibuk cuma merasa, memang sudah saatnya untuk menikah. Bismillah, ibuk menikah di hadapan mbah Kung, bapaknya ibuk, yang sedang sakit. Tak lama setelah itu, mbah Kung meninggal.”

Si gadis mengangguk lagi. Ia sudah pernah mendengar cerita itu.

“Alhamdulillah, setelah menikah, ibuk langsung hamil. Ibuk senang sekali, bapakmu terlebih lagi. Bapakmu itu sayang banget sama ibuk, nduk”, si ibu tersenyum tipis saat mengatakan bahwa suaminya menyayanginya.
“Kami dulu nggak hidup mewah, nduk. Tinggal di rumah sangat sederhana, bapak bekerja, dan ibuk juga bekerja. Bapakmu selalu tanya, ibuk ngidam apa saat hamil. Apapun akan bapak lakukan untuk memenuhi keinginan ngidam ibuk. Sayangnya, ibuk memang nggak ngidam apa-apa. Dipaksa juga tetep nggak ketemu pengen apa.”

Gadis itu membenarkan posisi berbaringnya.

“Sembilan bulan kemudian, kakakmu lahir. Kami sangat bersuka cita. Bayinya putih bersih, lucu, lengkap anggota tubuhnya, alhamdulillah tidak kurang suatu apapun. Ketika cuti melahirkan ibuk habis, kakakmu sering dijemput om atau tante, diajak main ke rumah mbah Uti dan Yang Kung selama ibuk bekerja.”

“Namanya rumah tangga, nduk, mulai ada masalah-masalah, dari yang kecil hingga besar. Ibuk dan bapak sering berbeda pendapat tentang suatu hal. Ibukmu ini keras, sedangkan bapakmu lemah lembut. Ibuk dididik dengan pola asuh yang keras dan serba kekurangan, sebaliknya bapakmu, dari keluarga berada dan tak kurang kasih sayang. Tapi nduk, setidak cocok apapun ibuk sama bapak, tidak pernah sekalipun bapak membentak ibuk dengan kata-kata yang keras atau kasar. Dan tangannya, juga tak pernah sekalipun menyakiti fisik ibuk. Bapakmu menyayangi ibuk dan anaknya... dengan caranya sendiri.”

Si gadis menelan ludah. Ibunya berhenti sebentar.

“Saat kakakmu umur beberapa bulan, permasalahan semakin meruncing. Ibuk sulit menemukan kesamaan langkah dengan bapakmu dalam hidup. Ibuk pengen A, bapak pengen B. Rumah tangga nggak bisa begitu, nduk. Dulu ibuk belum mengenal Allah sedekat sekarang. Hasilnya, ibuk galau yang berlarut. Ibuk berkonsultasi ke teman ibuk yang ustadzah, tapi dia juga tidak berani menyarankan sesuatu. Ibuk hanya disuruh terus meminta jawaban dari Allah.”

“Di tengah kebingungan, eh ibuk ternyata hamil lagi. Hamil sampeyan”, kata ibunya sedikit terkekeh, sambil mengelus rambut panjang si gadis.
“Ternyata ini jawaban dari Allah, nduk. Ibuk diminta sabar untuk sementara waktu, karena di perut ibuk sudah ada amanah yang dititipkanNya lagi kepada ibuk dan bapak. Tahu ibuk hamil anak ke dua, bapakmu senang bukan main. Lagi-lagi bapakmu bertanya, ibuk ngidam apa. Yah daripada tidak, ibuk bilang pengen nasi dan daging empal. Bapakmu buru-buru membelikannya ke tukang nasi. Begitu sampai di rumah, bungkusannya dibuka, eh lha kok dikasih bawang goreng segala. Mencium bau bawang goreng, ibuk langsung nggak nafsu makan. Ibuk nggak jadi makan nasi dan empal goreng itu. Hahaha...”

Si gadis dan ibunya tertawa bersamaan. Gadis itu membayangkan pasti bapaknya dulu kecewa berat karena usahanya membelikan nasi dan empal berakhir sia-sia, kemudian bapaknya merengut.

“Lalu sampeyan lahir. Alhamdulillah, anggota badannya lengkap, walau kulitnya coklat tua”, si ibu pura-pura mencibir anak gadisnya. Si gadis tertawa lagi.

“Tapi kebahagiaan karena sampeyan lahir itu, ternyata tidak membuat bapak bisa mengubah sifat dan sikapnya yang ibuk kurang sukai, nduk. Selain sibuk mengurus sampeyan dan kakak yang masih umur 1,5 tahun, ibuk juga sibuk meminta jawaban dari langit, apa yang harus ibuk lakukan selanjutnya. Genap 40 hari setelah sampeyan lahir, dengan berat hati, ibuk meminta bapakmu mengantar kita bertiga –ibuk, kakak, sampeyan- pulang ke rumah mbah, ibuknya ibuk.”

“Bapak mau?” tanya si gadis.

“Tentu tidak. Bapakmu masih dan selalu menyayangi kita bertiga, nduk. Tapi ibuk memaksa. Ibuk sudah mengambil keputusan. Prinsip ibuk waktu itu, lebih baik ibuk tetap hidup dan mengasuh anak-anak ibuk sendirian, daripada ibuk ‘mati’ karena bersama bapakmu yang sudah tidak sejalan. Bapak sempat mengajukan usul, bagaimana kalau kakakmu ikut bersama bapak, sedangkan sampeyan ikut ibuk, karena sampeyan masih menyusu ibuk. Lalu ibuk tolak. Ibuk tidak bisa membayangkan akan jadi seperti apa nanti anak-anak ibuk jika diasuh secara terpisah. Saat itu ibuk merasa saatnya untuk egois. Ibuk yakin bisa membesarkan kedua anak ibuk dengan baik, walau tanpa bapakmu.
Sejak itulah, nduk, sejak sampeyan berumur 40 hari, bapak dan ibuk pisah rumah.”

Si gadis tertegun.
Pantas saja ia tidak dapat membayangkan bagaimana postur bapaknya, bagaimana garis wajah bapaknya yang kata orang-orang sangat mirip dengannya, bagaimana kulit coklat bapaknya yang diwariskan ke dirinya, bahkan tak pernah terekam dalam memori gadis remaja ini bagaimana bau keringat bapaknya. Yah, karena sejak usia 40 hari, si gadis sudah terpisah dari bapaknya.

“Lalu, kapan tepatnya ibuk dan bapak bercerai?” si gadis ingin tahu. Sudah saatnya ia tahu lebih banyak.

“Beberapa tahun kemudian. Ibuk sebenarnya masih menunggu bapakmu untuk berubah. Ibuk mencoba menenangkan diri, dan sekaligus ibuk menjadi stres. Besar sekali tekanan yang ibuk alami waktu itu. Ibuk punya teman-teman kantor, yang bisa saja sewaktu-waktu bertanya mengenai pernikahan ibuk. Juga keluarga besar. Bapak dan ibu mertua sangat menyayangkan keputusan yang ibuk buat, tapi ibuk bergeming. Masa depan kalian, anak-anak ibuk, lebih penting untuk diselamatkan daripada apapun hal penting di dunia ini. Hanya kalian harta satu-satunya yang ibuk miliki.”

Ibu si gadis melanjutkan, “Dalam sidang di pengadilan, pasti ada mediasi. Bapak mengajukan keberatan dan ingin rujuk dengan ibuk. Tapi ibuk nggak bisa menerima bapakmu lagi, nduk. Ibuk sudah memikirkan konsekuensinya mulai A sampai Z, dan insya Allah menurut ibuk, itulah keputusan terbaiknya. Ibuk dengar, bapak bilang pada seseorang begini, ‘Istri saya sungguh orang baik. Hatinya seperti emas. Tidak ada perempuan lain yang seperti itu. Hanya perkataannyalah yang mau saya dengar. Perkataannya selalu merasuk di hati saya, walaupun saya tidak pernah mengatakan kepadanya.’

Si gadis menimpali, “Tapi buk, selama ini, aku tidak pernah melihat atau mendengar bapak sama ibuk bertengkar?! Kan kita sekali dua kali pernah bertemu dengan bapak lagi. Bagaimana bisa ternyata bapak dan ibuk menyembunyikan masalah yang begitu besar dari kami?”

Ibunya tersenyum. Ia merengkuh kepala anak gadisnya.
“Nduk, ibuk dan bapak memang tidak pernah bertengkar di hadapan kalian. Buat apa? Bahkan ketika kalian masih bayi dan belum tahu apa-apa pun, kami tidak pernah memperdengarkan keributan kepada kalian. Ketika kalian sudah terlelap tidur, bapak dan ibuk masuk kamar. Kami berdebat habis-habisan di sana, tanpa berteriak. Suara kami tahan agar anak-anak tidak mendengar apapun. Ibuk tidak membanting-banting barang seperti di sinetron itu, pun bapakmu tidak pernah menyakiti kulit ibuk barang sesenti. Itulah cara kami menyelesaikan masalah. Dengan berbicara empat mata.”

Si gadis mengangguk. Ibunya ternyata menceritakan soal ini secara perlahan, sesuai umur dan kemampuan si gadis menangkap maksudnya.

***

EPILOG

Kepala ibuk melongok ke dalam kamarku.

“Lagi apa, dek Pety?”
“Nulis, buk.”
“Ooo... nulis apa?”
“Nulis di blog.”
“Tentang?”
“Tentang masa lalu kita, buk.”
“Bagian yang mana?”
“Bagian perceraian ibuk dan bapak.”

Ibuk terdiam sebentar. Kemudian masuk kamarku, memperhatikan laptopku.
“Apa cerita itu berguna bagi orang lain?”
“Mungkin iya, mungkin enggak, buk.”
“Memangnya selama ini teman-teman sampeyan belum tahu tentang cerita ini?”
Not even my very best friend, buk. Kalau menduga sih, entah ya, tapi aku belum pernah bercerita langsung kepada mereka. May I?”
"Yes, please", jawab ibuk.

“Jadi, kenapa baru sekarang sampeyan mau menulisnya?”
“Yah... ternyata butuh waktu selama 29 tahun untuk membuatku melihat semuanya lebih jelas, buk. Aku cuma pengen bilang terima kasih kepada ibuk, yang telah berjuang sendirian selama 30 tahun ini merawat dan mendidik aku dan mbak Mama dengan sangat baik. Ibuk selalu bilang, menghidupi kita bertiga dengan keringat ibuk sendiri, sungguh tidaklah mudah. Apalagi ibuk berkeras hati, bahwa jangan sampai anak-anak ibuk makan dari uang haram, yang mana perut kita saja tidak akan merasakan semilir angin surga.
Terima kasih untuk tidak membuatku menjadi seorang-anak-yang-seperti-broken-home, karena kenyataannya dalam pengasuhan ibuk, we never be break at all. Aku mengikuti berbagai organisasi seperti layaknya anak ‘normal’, aku bisa bergaul dengan teman-teman yang baik, aku kuliah dan lulus tanpa hambatan berarti, dan aku bisa bekerja sesuai keinginanku. Keluarga kita, kita bertiga, tidak pernah berantakan. Dan semua berkat ibuk. Tentu atas izin Allah yang menguatkan ibuk."

“Alhamdulillah ya, nduk. Dan ingat dek, untuk semua urusan kita, kita bertiga selalu punya kalimat mujarab...”, lanjut ibuk.

“Kita...” kata ibuk.
“Kita...” kataku bersamaan.
“...tidak mempunyai sepeserpun harta di dunia ini. Kita...menjadi manusia bermartabat bukan karena kekayaan. Kita...akan selalu baik-baik saja selama saling memiliki. Dan kita...insya Allah akan bersama sampai ke surga nanti. Aamiin”, ucap kami berdua.

"Buk, setelah bapak meninggal 15 tahun yang lalu, kira-kira sekarang bapak bahagia nggak ya, melihat anak-anaknya sudah gede seperti ini?" tanyaku.

"Insya Allah, nduk, insya Allah. Kita doakan sama-sama, bapak mendapat nikmat kubur sampai nanti", jawab ibuk.

Ibuk mencium keningku.

8 comments:

  1. sangat inspiratif! mudah-mudahan ceritanya bermanfaat untuk mereka yang orang tuanya (terpaksa) berpisah juga. ahhhh, jadi terharuuuuu. ibukmu wanita yang sangat luar biasa yaaaaa.... titip sungkem buat beliau! :-)

    ReplyDelete
  2. 😊 pingin meluk erat kamu seperti pagi 14 Dzulhijjah 1436H dan ganti tergugu dipundakmu 😊

    #sambilngusapairmata

    ReplyDelete
    Replies
    1. ah, semua ujarmu hanyalah palsu, mbak Riris. Bagaimana mungkin aku memercayainya?

      Delete
  3. Hemmm aku gtw apa yang harus dikomenin...

    ReplyDelete
  4. terimakasih banyak, sangat menarik sekali...

    ReplyDelete