Terjemahan judul: Mengapa Aku Menjadi Dosen?
Januari 2014.
“Ndhuk, ning endi?” suara ibuk memecah keheningan melalui ponsel.
(Nak, dimana?)
“Ning nggone kancaku, buk. Perpustakaan. Enek apa?” jawabku.
(Di tempat temanku, buk. Perpustakaan. Ada apa?)
“Ngene lho. Sampeyan ditimbali ustadz Fulan. Dienteni saiki ning kampus. Isa?”. Pembicaraan khas ibuku yang to the point.
(Begini lho. Kamu dipanggil ustadz Fulan. Ditunggu sekarang di kampus. Bisa?)
“Walah buk, mosok kudu saiki to? Lha iki acaraku rung mari lho. Enek apa aku diutus nyang kampus?” protesku.
(Ah buk, masak harus sekarang? Ini acaraku belum selesai. Ada apa aku diminta ke kampus?)
“Embuh. Wis ta, pokoke manuta. Tak matur ya, sampeyan isa rana jam pira. Jam pira?” tukas ibuk.
(Tidak tahu. Sudahlah, menurut saja. Aku bilang ya, kamu bisanya jam berapa. Jam berapa?)
“Sik sik. Lha iki klambiku elek lho. Mek kaus lengen dawa, clana jins, karo sepatu sandal. Piye? Mosok arep manggihi ustadz pacakan koyok ngene, buk?”, timpaku ragu.
(Sebentar, sebentar. Lha ini bajuku jelek. Hanya kaus lengan panjang, celana jeans, sama sepatu sandal. Bagaimana? Masak mau menemui ustadz dandananku seperti ini, buk?)
“Ora apa-apa. Matur ae apa eneke. Sampeyan pas dolan, trus ndadak rana. Wis ngono ya? Assalamu’alaikum”, kata ibuk memutus telepon.
(Tidak apa-apa. Bilang saja apa adanya. Kamu pas main, lalu mendadak ke sana. Sudah, begitu ya? Assalamu’alaikum.)
“Wa’alaikumsalam...”. Aku sedikit mendengus kesal.
Rencana ibuk untuk memintaku menjadi dosen memang sudah santer terdengar sejak beberapa lama. Mungkin karena ibuku dulu yang menjadi guru, atau juga mbakku yang juga menjadi dosen, entahlah. Yang jelas, begitu ustadz Fulan mengetahui aku beberapa kali ada di Kediri, ustadz (begitu kami biasa memanggil beliau, yang juga merupakan guru ngaji ibuk), menanyakan apakah kuliahku sudah selesai. Ibuk menjawab, sudah. Kemudian ustadz memintaku untuk melamarlelaki di kampus tempat beliau mengajar di Kediri, karena Psikologi sedang membutuhkan beberapa dosen tambahan semester itu.
Apakah aku menyambut baik tawaran itu? Tentu tidak! Aku tidak pernah bercita-cita menjadi dosen, guru, atau semacamnya. Pada saat itu, aku lebih memilih dan menikmati menjadi seorang profesional (seseorang yang memiliki profesi tertentu). Bahkan, keinginan untuk memiliki butik busana muslim tampak lebih menarik daripada menjadi dosen.
Berkali-kali selama beberapa hari setelah tawaran ustadz, ibuk mendesakku untuk mengajukan lamarankepada lelaki di kampus itu. Berkali-kali pula aku harus menghindar dan mengajukan berbagai keberatan, bahkan dengan alasan yang dibuat-buat, demi menghindari yang namanya “kembali ke kampus” dan menjadi dosen.
Seingatku, aku juga melakukan shalat istikharah. Makbul atau tidak makbul, aku melakukan istikharah jam berapapun aku ingat, tidak selalu malam sebelum tidur. Aku bukanlah tipe pemberontak yang senang beradu mulut dengan ibuku, walau dalam situasi yang sulit sekalipun. Oleh karenanya, aku berusaha berpikir berulang-ulang untuk menjernihkan hati dan otak. Aku menaikturunkan egoku, bergumul dan berdialog dengan diri sendiri, dan berusaha mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaanku sendiri yang membuatku masih ragu untuk menjadi dosen. Sungguh bukan sesuatu yang mudah.
Pernah malam hari ketika akan tidur, aku dan ibuk berbaring bersisian. Kami sering berdialog sebelum tidur. Aku bertanya, “Buk, apa ibuk bangga kalau anak ibuk mengajar di kampus itu? Itu kampus tua, milik yayasan, mungkin terkenal di Kediri, walaupun orang luar Kediri akan lebih mengenal semacam kampus IAIN yang hampir ada di setiap kota.”
“Menurut sampeyan gimana?”, balas ibuk.
“Entahlah. Aku masih senang menjalani kegiatanku yang sekarang. Aku juga masih malas kembali ke kampus dengan segala buku dan pelajarannya. Aku masih capek memegang buku, setelah tesis dan tetek bengek yang melelahkan. Aku tidak suka dengan birokrasi dan segala sesuatu aturan dalam organisasi yang tidak sesuai dengan keinginanku. Aku rasa, aku masih memiliki idealisme pribadi dalam hidupku yang serba tidak ideal. Aku tidak suka diatur oleh orang lain yang membelenggu. Dan... aku masih terngiang-ngiang dengan kegagalanku dalam seleksi masuk sebagai dosen di kampus terkenal di kota apel dulu itu. Kenapa ibuk tidak membiarkan aku (lagi) kali ini untuk menentukan jalan karirku sendiri?”
“Bukan begitu, Nduk”, kata ibuk sambil mengelus kepalaku.
“Ibuk mungkin memang tidak bangga punya anak yang ngajar di kampus di kota kecil macam Kediri seperti ini. Apalagi mungkin juga gajinya tidak besar. Penghasilan yang mungkin tidak bisa dibanggakan. Tapi ibuk akan bangga kalau anak-anak ibuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi lingkungannya. Bukan manusia yang pinter untuk dirinya sendiri. Yang shalehah untuk dirinya sendiri. Sejatinya, ilmu itu untuk diamalkan. Ilmu itu untuk diajarkan kepada orang lain yang membutuhkan.”
Aku berpikir (lagi) sejenak. Mungkin memang benar. Mengajar di kampus partikelir (swasta) seperti ini bukan untuk gaya-gayaan, bukan untuk kebanggaan, bukan untuk status sosial. Bagaimana menjadi status sosial, jika kamu memutuskan untuk tidak bercerita kepada tetangga kiri-kanan bahwa kamu adalah dosen?
Malam itu mungkin aku telah menemukan benang merahnya. Sebuah titik terang. Sebuah kesadaran.
“Hmmm... tapi memang ya, buk. Kalau aku hanya mengeluh tentang anak Kediri, yang ketika melihat orang-orang di sekitar kita yang tidak mampu mendidik anak-anaknya dengan benar, anak-anak SMP/SMA yang terpaksa menikah karena hamil terlebih dahulu, para tukang becak yang masih bisa mengepulkan asap rokoknya setiap hari tapi tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya dengan baik..... Dan aku hanya mengelus dada, siapa yang mampu mengubah keadaan ini?
Apalagi ketika aku memutuskan untuk tetap tinggal di Surabaya dengan segala hiruk pikuk kesibukan mencari uang, mengejar karir impian setinggi langit yang seolah tidak akan pernah puas, lalu memang tidak pantas aku mengeluh soal Kediri. Seorang pengeluh yang egois seegois-egoisnya. Kalau aku bisa mengeluh, harusnya aku juga bisa ambil bagian walau kecil, untuk turut bermanfaat bagi anak-anak di sini.”
“Nah, sekarang sampeyan paham, Ndhuk”, balas ibuk.
Aku mengangguk. Kemudian kami tertidur.
Siang itu setelah dari perpustakaan temanku, Taman Baca Mahanani di Mojoroto (yang paling kondang di seluruh Kediri raya), aku diantar temanku menuju kampus tempat ustadz memanggilku.
Di jalan, aku sempat ragu lagi. Aku bilang ke temanku, “Ris, aku ini gak pinter. Gimana mau ngajar anak-anak nantinya? Ya memang lah, mereka belum paham tentang materi yang akan aku ajarkan nanti. Tapi, siapa tahu mereka ternyata lebih cerdas pemikirannya daripada aku?”
“Sudahlah, Pet. Se-nggak pinter-nggak pinternya kamu, kamu tetep lebih pinter daripada mereka. Kamu lulusan Surabaya, mereka anak daerah. Kalau mereka pinter, itu bagus. Tapi pengalamanmu belajar dan bekerja selama ini pasti menjadi nilai tambah bagi mereka. Cerita saja tentang apapun yang kamu alami selama di Surabaya. Aku yakin mereka pasti suka mendengarkan”, timpal Riris yakin.
“Yakin?”, tanyaku tidak yakin.
“Haqqul yaqin!”
Akhirnya, sampailah aku di tempat ustadz (tetap dengan kaus panjang garis-garis hijau-abu, jilbab hijau, kardigan abu, celana jins biru, dan sepatu sandal abu-abu). Ustadz mengajar tidak se-fakultas dengan Psikologi. Ustadz lulusan S2 di Yaman, kalau tidak salah. Putranya 4 orang, dan sepertinya hafidz (hafal Al-Qur’an). Ah, aku merasa sangat bodoh bila bertemu dengan orang-orang ‘alim seperti beliau. Dan selama 27 tahun aku hidup, baru sekali-kalinya itu aku masuk ke kampus milik yayasan pondok pesantren yang namanya sudah moncer se-Indonesia itu (konon begitu).
Ustadz hanya sedikit memberiku pengantar mengenai kondisi kampus, para mahasiswa yang akan diajar, siapa jajaran dekanat Psikologi, dan dengan siapa nanti aku akan diwawancara. Ustadz juga memberi gambaran sebelum aku kaget duluan, bahwa gaji di sana memang sedikit. Tapi insya Allah membawa barokah, begitu kata ustadz. Para dosen di sana mungkin tidak kaya raya, tapi kalau mau haji, toh nyatanya bisa. Usaha lancar, rejeki terus mengalir, entah dari pintu yang mana. Aku mengangguk syahdu. Sesuatu yang tidak dapat kunalar pada saat itu, tapi entah bagaimana, aku yakin itu benar. Setidaknya, orang yang mulutnya setiap hari sibuk berdzikir dan membaca Al-Qur’an, ucapannya akan “berat” dan benar.
Setelah aku pamit, selang 10 meter dari ustadz berdiri, ustadz memanggilku.
“Mbak Fatma!”
“Ya, ustadz?”, aku menoleh dan bergegas berjalan balik.
“Tolong besok kalau diwawancarai rektor, pakai baju ala seorang dosen, ya”, pinta ustadz santai.
“Ah. Iya, iya, ustadz. Insya Allah”. Aku malu sekali.
Sambil berjalan menjauh, kuperhatikan sendiri dandananku. Celana, sepatu sandal. Sungguh bukan dandanan “ala dosen” muslimah yang cocok bekerja di yayasan berbasis agama Islam yang kental seperti yang ustadz sampaikan. Aku tersenyum geli sendiri.
Keluar dari gerbang kampus, ada sesuatu yang mengembang dalam hatiku. Perasaan bahagia entah karena apa. Ketenangan hati dalam melangkah. Mungkin ini adalah “barokah” pertama yang aku terima setelah membulatkan niat, bahkan sebelum aku melakukan apa-apa untuk kampus itu.
Januari 2014.
“Ndhuk, ning endi?” suara ibuk memecah keheningan melalui ponsel.
(Nak, dimana?)
“Ning nggone kancaku, buk. Perpustakaan. Enek apa?” jawabku.
(Di tempat temanku, buk. Perpustakaan. Ada apa?)
“Ngene lho. Sampeyan ditimbali ustadz Fulan. Dienteni saiki ning kampus. Isa?”. Pembicaraan khas ibuku yang to the point.
(Begini lho. Kamu dipanggil ustadz Fulan. Ditunggu sekarang di kampus. Bisa?)
“Walah buk, mosok kudu saiki to? Lha iki acaraku rung mari lho. Enek apa aku diutus nyang kampus?” protesku.
(Ah buk, masak harus sekarang? Ini acaraku belum selesai. Ada apa aku diminta ke kampus?)
“Embuh. Wis ta, pokoke manuta. Tak matur ya, sampeyan isa rana jam pira. Jam pira?” tukas ibuk.
(Tidak tahu. Sudahlah, menurut saja. Aku bilang ya, kamu bisanya jam berapa. Jam berapa?)
“Sik sik. Lha iki klambiku elek lho. Mek kaus lengen dawa, clana jins, karo sepatu sandal. Piye? Mosok arep manggihi ustadz pacakan koyok ngene, buk?”, timpaku ragu.
(Sebentar, sebentar. Lha ini bajuku jelek. Hanya kaus lengan panjang, celana jeans, sama sepatu sandal. Bagaimana? Masak mau menemui ustadz dandananku seperti ini, buk?)
“Ora apa-apa. Matur ae apa eneke. Sampeyan pas dolan, trus ndadak rana. Wis ngono ya? Assalamu’alaikum”, kata ibuk memutus telepon.
(Tidak apa-apa. Bilang saja apa adanya. Kamu pas main, lalu mendadak ke sana. Sudah, begitu ya? Assalamu’alaikum.)
“Wa’alaikumsalam...”. Aku sedikit mendengus kesal.
***
Rencana ibuk untuk memintaku menjadi dosen memang sudah santer terdengar sejak beberapa lama. Mungkin karena ibuku dulu yang menjadi guru, atau juga mbakku yang juga menjadi dosen, entahlah. Yang jelas, begitu ustadz Fulan mengetahui aku beberapa kali ada di Kediri, ustadz (begitu kami biasa memanggil beliau, yang juga merupakan guru ngaji ibuk), menanyakan apakah kuliahku sudah selesai. Ibuk menjawab, sudah. Kemudian ustadz memintaku untuk melamar
Apakah aku menyambut baik tawaran itu? Tentu tidak! Aku tidak pernah bercita-cita menjadi dosen, guru, atau semacamnya. Pada saat itu, aku lebih memilih dan menikmati menjadi seorang profesional (seseorang yang memiliki profesi tertentu). Bahkan, keinginan untuk memiliki butik busana muslim tampak lebih menarik daripada menjadi dosen.
Berkali-kali selama beberapa hari setelah tawaran ustadz, ibuk mendesakku untuk mengajukan lamaran
Seingatku, aku juga melakukan shalat istikharah. Makbul atau tidak makbul, aku melakukan istikharah jam berapapun aku ingat, tidak selalu malam sebelum tidur. Aku bukanlah tipe pemberontak yang senang beradu mulut dengan ibuku, walau dalam situasi yang sulit sekalipun. Oleh karenanya, aku berusaha berpikir berulang-ulang untuk menjernihkan hati dan otak. Aku menaikturunkan egoku, bergumul dan berdialog dengan diri sendiri, dan berusaha mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaanku sendiri yang membuatku masih ragu untuk menjadi dosen. Sungguh bukan sesuatu yang mudah.
Pernah malam hari ketika akan tidur, aku dan ibuk berbaring bersisian. Kami sering berdialog sebelum tidur. Aku bertanya, “Buk, apa ibuk bangga kalau anak ibuk mengajar di kampus itu? Itu kampus tua, milik yayasan, mungkin terkenal di Kediri, walaupun orang luar Kediri akan lebih mengenal semacam kampus IAIN yang hampir ada di setiap kota.”
“Menurut sampeyan gimana?”, balas ibuk.
“Entahlah. Aku masih senang menjalani kegiatanku yang sekarang. Aku juga masih malas kembali ke kampus dengan segala buku dan pelajarannya. Aku masih capek memegang buku, setelah tesis dan tetek bengek yang melelahkan. Aku tidak suka dengan birokrasi dan segala sesuatu aturan dalam organisasi yang tidak sesuai dengan keinginanku. Aku rasa, aku masih memiliki idealisme pribadi dalam hidupku yang serba tidak ideal. Aku tidak suka diatur oleh orang lain yang membelenggu. Dan... aku masih terngiang-ngiang dengan kegagalanku dalam seleksi masuk sebagai dosen di kampus terkenal di kota apel dulu itu. Kenapa ibuk tidak membiarkan aku (lagi) kali ini untuk menentukan jalan karirku sendiri?”
“Bukan begitu, Nduk”, kata ibuk sambil mengelus kepalaku.
“Ibuk mungkin memang tidak bangga punya anak yang ngajar di kampus di kota kecil macam Kediri seperti ini. Apalagi mungkin juga gajinya tidak besar. Penghasilan yang mungkin tidak bisa dibanggakan. Tapi ibuk akan bangga kalau anak-anak ibuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi lingkungannya. Bukan manusia yang pinter untuk dirinya sendiri. Yang shalehah untuk dirinya sendiri. Sejatinya, ilmu itu untuk diamalkan. Ilmu itu untuk diajarkan kepada orang lain yang membutuhkan.”
Aku berpikir (lagi) sejenak. Mungkin memang benar. Mengajar di kampus partikelir (swasta) seperti ini bukan untuk gaya-gayaan, bukan untuk kebanggaan, bukan untuk status sosial. Bagaimana menjadi status sosial, jika kamu memutuskan untuk tidak bercerita kepada tetangga kiri-kanan bahwa kamu adalah dosen?
Malam itu mungkin aku telah menemukan benang merahnya. Sebuah titik terang. Sebuah kesadaran.
“Hmmm... tapi memang ya, buk. Kalau aku hanya mengeluh tentang anak Kediri, yang ketika melihat orang-orang di sekitar kita yang tidak mampu mendidik anak-anaknya dengan benar, anak-anak SMP/SMA yang terpaksa menikah karena hamil terlebih dahulu, para tukang becak yang masih bisa mengepulkan asap rokoknya setiap hari tapi tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya dengan baik..... Dan aku hanya mengelus dada, siapa yang mampu mengubah keadaan ini?
Apalagi ketika aku memutuskan untuk tetap tinggal di Surabaya dengan segala hiruk pikuk kesibukan mencari uang, mengejar karir impian setinggi langit yang seolah tidak akan pernah puas, lalu memang tidak pantas aku mengeluh soal Kediri. Seorang pengeluh yang egois seegois-egoisnya. Kalau aku bisa mengeluh, harusnya aku juga bisa ambil bagian walau kecil, untuk turut bermanfaat bagi anak-anak di sini.”
“Nah, sekarang sampeyan paham, Ndhuk”, balas ibuk.
Aku mengangguk. Kemudian kami tertidur.
***
Siang itu setelah dari perpustakaan temanku, Taman Baca Mahanani di Mojoroto (yang paling kondang di seluruh Kediri raya), aku diantar temanku menuju kampus tempat ustadz memanggilku.
Di jalan, aku sempat ragu lagi. Aku bilang ke temanku, “Ris, aku ini gak pinter. Gimana mau ngajar anak-anak nantinya? Ya memang lah, mereka belum paham tentang materi yang akan aku ajarkan nanti. Tapi, siapa tahu mereka ternyata lebih cerdas pemikirannya daripada aku?”
“Sudahlah, Pet. Se-nggak pinter-nggak pinternya kamu, kamu tetep lebih pinter daripada mereka. Kamu lulusan Surabaya, mereka anak daerah. Kalau mereka pinter, itu bagus. Tapi pengalamanmu belajar dan bekerja selama ini pasti menjadi nilai tambah bagi mereka. Cerita saja tentang apapun yang kamu alami selama di Surabaya. Aku yakin mereka pasti suka mendengarkan”, timpal Riris yakin.
“Yakin?”, tanyaku tidak yakin.
“Haqqul yaqin!”
***
Akhirnya, sampailah aku di tempat ustadz (tetap dengan kaus panjang garis-garis hijau-abu, jilbab hijau, kardigan abu, celana jins biru, dan sepatu sandal abu-abu). Ustadz mengajar tidak se-fakultas dengan Psikologi. Ustadz lulusan S2 di Yaman, kalau tidak salah. Putranya 4 orang, dan sepertinya hafidz (hafal Al-Qur’an). Ah, aku merasa sangat bodoh bila bertemu dengan orang-orang ‘alim seperti beliau. Dan selama 27 tahun aku hidup, baru sekali-kalinya itu aku masuk ke kampus milik yayasan pondok pesantren yang namanya sudah moncer se-Indonesia itu (konon begitu).
Ustadz hanya sedikit memberiku pengantar mengenai kondisi kampus, para mahasiswa yang akan diajar, siapa jajaran dekanat Psikologi, dan dengan siapa nanti aku akan diwawancara. Ustadz juga memberi gambaran sebelum aku kaget duluan, bahwa gaji di sana memang sedikit. Tapi insya Allah membawa barokah, begitu kata ustadz. Para dosen di sana mungkin tidak kaya raya, tapi kalau mau haji, toh nyatanya bisa. Usaha lancar, rejeki terus mengalir, entah dari pintu yang mana. Aku mengangguk syahdu. Sesuatu yang tidak dapat kunalar pada saat itu, tapi entah bagaimana, aku yakin itu benar. Setidaknya, orang yang mulutnya setiap hari sibuk berdzikir dan membaca Al-Qur’an, ucapannya akan “berat” dan benar.
Setelah aku pamit, selang 10 meter dari ustadz berdiri, ustadz memanggilku.
“Mbak Fatma!”
“Ya, ustadz?”, aku menoleh dan bergegas berjalan balik.
“Tolong besok kalau diwawancarai rektor, pakai baju ala seorang dosen, ya”, pinta ustadz santai.
“Ah. Iya, iya, ustadz. Insya Allah”. Aku malu sekali.
Sambil berjalan menjauh, kuperhatikan sendiri dandananku. Celana, sepatu sandal. Sungguh bukan dandanan “ala dosen” muslimah yang cocok bekerja di yayasan berbasis agama Islam yang kental seperti yang ustadz sampaikan. Aku tersenyum geli sendiri.
Keluar dari gerbang kampus, ada sesuatu yang mengembang dalam hatiku. Perasaan bahagia entah karena apa. Ketenangan hati dalam melangkah. Mungkin ini adalah “barokah” pertama yang aku terima setelah membulatkan niat, bahkan sebelum aku melakukan apa-apa untuk kampus itu.
Kampus kami :) Sumber: google |
Bismillahirrohmanirrohim...
ReplyDeletelalu
Haqqul yaqin 😉
suwun lho, mbak Riris.
DeleteAllahumma baariklana fiimaa rozaqtanaa waqinaa 'adzaabannaar
luar biasa. sangat menginspirasi
ReplyDeleteweh, pak dosen.
Deletenyuwun sewu, kula nunut liwat
Alhamdulillaahh...
ReplyDeleteAndai ak ad d smpingmu kala itu. Lgsg dg tegas & "cerewet" utk mendesakmu menerima "lamaran" ustadz tsb :p.
Smg kita jd org yg bermanfaat dimanapun ya.. amin
wah, ngono yo mbak? lha nyapo kok aku kudu nrima lamaran kuwi?
Deleteaamiin ya Rabb :)
masya Allah....semoga barokah dek...amiin
ReplyDeleteaamiin, matur nuwun, mbak Diyana dongane :)
Deletesmngat pety...tulisanmu kena di hati, dosen dunia akhirat
ReplyDeletemuga2 aku ning akhirat dadi bidadari swarga ae mbak, aja dadi dosen :)
DeleteOhhh jadi gtu yah ceritanya, keren mbak, semangat ngajarnya, eh tp kok itu gambarnya lg upcara, kyk sekolahan?
ReplyDeletehmmm kayaknya itu mahasiswa lagi ospek deh kang.
Deleteakang pernah diospek juga? -____-
Ya pernah atuh neng, kan pembentukan mental.. tp biasanya orang psikologi menentang ospek, dengan berbagai alasan..
DeleteOSPEK alias orientasi alias inisiasi terhadap kampus tetap perlu. yang tidak disetujui oleh Psikologi (sesuai katamu) adalah perploncoannya. harusnya gak hanya Psikologi, tapi semua kini makin sadar kok kalau plonco itu gak berguna buat siswa.
DeleteJadi inget dl waktu ditawarin jadi dosen di bengkulu. Mikir seribu kali pun juga masih ga nyaut knp ada tawaran kek gitu. Entah lari dr kenyataan ato lari dr gaji yang kecil (hehe) akhirnya jadi nyantol di bali. Tapi insya allah setiap pekerjaan yang dilakukan dgn ikhlas dan cinta pasti akan barokah kok pet. Ya walopun aku sempet ngintip lembar dosenmu kemariinn. Hehe tetep semangat mbk bro.
ReplyDeletelha nyapo gak nyaut Va? pancen cita2mu dudu ngajar paling?
Deletebetuuul...aamiin muga2 mbarokahi juga kerjoanmu di Denpasar, Deva.
setidaknya, barokah nyawang ekspatriat ganteng ben dina -_-
Hihihihihi, aq syukak elo ndosen gahul [baca: your style] siy. Kepinteran elo lebih dr sekedar penampilan,Ma. Eh tp ga pantes yah klo ala begitu di situ...?
ReplyDeletelebih tepatnya, disana budaya organisasinya Islami mbak, jadi aku harus adaptif. ahahaha
DeleteSelamat ya Fatma :)
ReplyDeleteSelamat siang juga, mas Galih... #eh
Deletehahaha
Waktu itu aku dimana sih? Kok ga ada di mahanani? *salah fokus*
ReplyDeleteah, mbak Ria kan belum lahir waktu itu...
DeleteManteb Mbak, barokallah, sukses!
ReplyDeleteheuuu aamiin. makasih dek Galih :) sukses juga untukmuuu
Delete