Terjemahan judul: Penasaran dengan Penjual Ayam.
“Buk, ibuk sik eling enek wong dodol pitik ning njero kae, sing tak arani nggantheng?”, tanya saya pada ibuk, sesaat sebelum memasuki pintu pasar Setono Bethek Kediri.
“Sing endi to? Nggir endi?”, balas ibuk.
“Alah, sing ning jalur awake dewe biasa liwati kae. Rada pojokan. Wonge putih nggantheng, dhuwur, tegap. Eling to, buk?", jawab saya mendeskripsikan fisik sang penjual ayam.
“Oalah, kae to? Ho oh. Nyapo?”. Aku senang ibuk ingat.
“Engko mbok tulung diinterview ngono buk. Pengen ngerti aku, nyapo wong nggantheng kok gelem dodol iwak pitik ning pasar”, jawabku merayu.
“Trus lek wis ngerti nyapo?”, tanya ibuk diplomatis.
“Yo rapopo to. Mung penasaran ae. Kudune dhek’e pantes dadi model lho.”
“Hmmm... Karo tuku pitik pisan ora?”
“Ah, aku sih ora buk. Awak wis lemu ora perlu tambahan gizi iwak pitik aku ki. Kecuali lek sate ayame Pak Siboen, naaah lagi gelem aku.”, jawabku yang memang sejak beberapa bulan ngidam sate ayam paling kondang se-Kediri itu.
“Yowis, oke. Takon-takon thok lho yo?”, ibuk memastikan.
“Yo.”
Seperti biasa, ketika aku pulang ke Kediri, kalau stok sayur-mayur di rumah sedang habis dan perlu membeli sayur dan sembako yang agak banyak sekalian, ibuk mengajakku ke pasar Setono Bethek. Sebenarnya ada saja penjual sayur obrok yang lewat di depan rumah. Ada juga yang lebih modern, menjajakan dagangannya menggunakan sepeda motor bak terbuka di belakangnya, macam Tosa tapi lebih besar.
Ada satu penjaja sayur langganan sejak mbah kami masih ada dulu, yang artinya sejak aku SD, yang bernama mbak Tin. Kalau di mbak Tin, sistem pembayarannya dia minta memang periodik. Dia sebetulnya tidak menolak sepenuhnya kalau belanjaan langsung dibayar, tetapi dia akan lebih senang kalau belanjaan dikumpulkan dulu selama 1 bulan atau sampai nominal tertentu, kemudian ditotal, baru dibayar belakangan. Biasanya sekali bayar, ibu memberi uang 100 ribu-an. Kalau di provider telepon, namanya paskabayar. #hmmm
Pagi itu, ibuk pengen ke pasar dengan berjalan kaki. Letak pasar Setono Bethek memang tidak terlalu jauh dari rumah kami. 3 menit menggunakan motor, atau 15 menit berjalan kaki. Jaraknya sekitar setengah kilometer saja. Alasan ibuk, ibuk sedang butuh banyak gerak, karena sudah lama vakum mengikuti SSI (Senam Sehat Indonesia), yang berisi para lansia.
Kalau ada yang kepo (biasanya aku sih yang kepo-an), usia ibukku saat ini 62,5 tahun. Tapi melihat masih trengginas dan semangatnya yang seringkali menyala bak kembang api tahun baru, banyak yang mengira ibuk masih dinas. Padahal ibuk sudah pensiun 6,5 tahun yang lalu. Banyak juga yang melihat prejengan ibuk langsung menebak dengan sotoy-nya, bahwa ibuk adalah guru. Tidak jarang di tempat umum, seperti bank, orang-orang bertanya (lagi-lagi dengan sotoy-nya): Guru di sekolah mana bu?
Pertanyaan yang hendak aku jawab dengan spontan, “Gura-guru mbahmu kuwi!”, langsung kuurungkan, mengingat aku adalah wanita pendiam pemalu yang harus menjaga wibawa di depan khalayak ramai. Tapi dulu saat masih bujang, memang ibuk pernah jadi kepala sekolah TK di Porong, Sidoarjo. Juga pernah menjadi Guru Bahasa Inggris di SMEA Dhoho Kediri dekat rumah. Itu waktu mbakku masih bayi. Setelah itu, ibuk full time menjadi Pe-eN-eS di Kediri hingga pensiun.
Ibuk dengan lihainya pura-pura bertanya seputar ayam dagangan pak nggantheng: ayamnya apa saja, apa bedanya ini dan itu (ternyata ada ayam kampung, ayam petelur/ horn, dan bebek), berapa harga masing-masing, sampai menyampaikan bahwa dulu ibuk berlangganan di mbak Partini, tetapi sekarang beliau sudah meninggal. Pak nggantheng juga tahu mbak Partini, karena masih satu area jualan dengan almarhumah, dan memang hubungan antarpenjual ayam sudah sangat dekat layaknya Tom dan Jerry. Selalu dekat tapi sebetulnya penuh persaingan. #uopo
Selain bertanya mengenai hal-hal standar dan beralasan “sedang mencari penjual ayam langganan baru”, ibuk mulai menanyakan hal-hal yang kurang penting, seperti rumahnya dimana dan berjualannya dengan siapa. Sungguh seorang ibu yang sangat perhatian kepada sesama manusia. Nilai toleransi dan empati ibuk tinggi di pelajaran PKn.
Sementara ibuk (yang tak pernah kehabisan bahan obrolan) masih berinteraksi dengan pak nggantheng, aku secara sembunyi-sembunyi menjepretkan kamera ponsel ke arah pak nggantheng sambil sedikit gemetar karena grogi. Grogi karena tidak ingin ketahuan, tidak ingin ia curiga yang berakhir dengan dirampasnya ponselku dan dibuang ke lantai sambil dimaki-maki seperti sinetron, juga grogi karena kegrogian itu sendiri. Aku hanya berhasil menjepret 2 foto setengah blur dan 1 foto blur (yang akhirnya kuhapus).
Untuk pak nggantheng yang mungking selo banget dan kesasar di blogku ini dan tidak berkenan fotonya kumuat, silakan sampaikan kepadaku ya pak, nanti kuhapus fotonya. Aku malu untuk minta izin ke panjenengan langsung, pak. #ihikihik
Ketika di atas becak yang membawa kami pulang ke rumah, ibuk tiba-tiba nyeletuk, “Ndhuk, aku mau kok yo nakoni omahe barang ki yo nyapo yo?”
“Lha iyo buk. Ivestigasi-ne ibuk wis koyok seleksi golek calon mantu ae”, jawabku polos.
“Lha jare sampeyan mau kon nakoni sing komplit?”
“Yowis, sip lah buk. Tapi yo tetep gung konangan sih, nyapo wong nggantheng ngono gelem dodol pitik ning pasar. Arep takon langsung kok yo sungkan rasane. Motif-e iso akeh. Sing mesti unik.”
“Yo kapan-kapan sampeyan mara rana neh, karo nggawa kertas, pulpen, recorder ngono. Nggae deep interview to istilahe? Eh tapi aku kok yo lali nakoni jenenge sopo to. Mbalik neh po piye?”, gestur ibuk sudah ingin balik badan dan bersiap menghentikan laju becak.
“Halah ora usaaaaaaah!”, pekikku tertahan menahan malu.
“Buk, ibuk sik eling enek wong dodol pitik ning njero kae, sing tak arani nggantheng?”, tanya saya pada ibuk, sesaat sebelum memasuki pintu pasar Setono Bethek Kediri.
“Sing endi to? Nggir endi?”, balas ibuk.
“Alah, sing ning jalur awake dewe biasa liwati kae. Rada pojokan. Wonge putih nggantheng, dhuwur, tegap. Eling to, buk?", jawab saya mendeskripsikan fisik sang penjual ayam.
“Oalah, kae to? Ho oh. Nyapo?”. Aku senang ibuk ingat.
“Engko mbok tulung diinterview ngono buk. Pengen ngerti aku, nyapo wong nggantheng kok gelem dodol iwak pitik ning pasar”, jawabku merayu.
“Trus lek wis ngerti nyapo?”, tanya ibuk diplomatis.
“Yo rapopo to. Mung penasaran ae. Kudune dhek’e pantes dadi model lho.”
“Hmmm... Karo tuku pitik pisan ora?”
“Ah, aku sih ora buk. Awak wis lemu ora perlu tambahan gizi iwak pitik aku ki. Kecuali lek sate ayame Pak Siboen, naaah lagi gelem aku.”, jawabku yang memang sejak beberapa bulan ngidam sate ayam paling kondang se-Kediri itu.
“Yowis, oke. Takon-takon thok lho yo?”, ibuk memastikan.
“Yo.”
***
Seperti biasa, ketika aku pulang ke Kediri, kalau stok sayur-mayur di rumah sedang habis dan perlu membeli sayur dan sembako yang agak banyak sekalian, ibuk mengajakku ke pasar Setono Bethek. Sebenarnya ada saja penjual sayur obrok yang lewat di depan rumah. Ada juga yang lebih modern, menjajakan dagangannya menggunakan sepeda motor bak terbuka di belakangnya, macam Tosa tapi lebih besar.
Ada satu penjaja sayur langganan sejak mbah kami masih ada dulu, yang artinya sejak aku SD, yang bernama mbak Tin. Kalau di mbak Tin, sistem pembayarannya dia minta memang periodik. Dia sebetulnya tidak menolak sepenuhnya kalau belanjaan langsung dibayar, tetapi dia akan lebih senang kalau belanjaan dikumpulkan dulu selama 1 bulan atau sampai nominal tertentu, kemudian ditotal, baru dibayar belakangan. Biasanya sekali bayar, ibu memberi uang 100 ribu-an. Kalau di provider telepon, namanya paskabayar. #hmmm
Pagi itu, ibuk pengen ke pasar dengan berjalan kaki. Letak pasar Setono Bethek memang tidak terlalu jauh dari rumah kami. 3 menit menggunakan motor, atau 15 menit berjalan kaki. Jaraknya sekitar setengah kilometer saja. Alasan ibuk, ibuk sedang butuh banyak gerak, karena sudah lama vakum mengikuti SSI (Senam Sehat Indonesia), yang berisi para lansia.
Kalau ada yang kepo (biasanya aku sih yang kepo-an), usia ibukku saat ini 62,5 tahun. Tapi melihat masih trengginas dan semangatnya yang seringkali menyala bak kembang api tahun baru, banyak yang mengira ibuk masih dinas. Padahal ibuk sudah pensiun 6,5 tahun yang lalu. Banyak juga yang melihat prejengan ibuk langsung menebak dengan sotoy-nya, bahwa ibuk adalah guru. Tidak jarang di tempat umum, seperti bank, orang-orang bertanya (lagi-lagi dengan sotoy-nya): Guru di sekolah mana bu?
Pertanyaan yang hendak aku jawab dengan spontan, “Gura-guru mbahmu kuwi!”, langsung kuurungkan, mengingat aku adalah wanita pendiam pemalu yang harus menjaga wibawa di depan khalayak ramai. Tapi dulu saat masih bujang, memang ibuk pernah jadi kepala sekolah TK di Porong, Sidoarjo. Juga pernah menjadi Guru Bahasa Inggris di SMEA Dhoho Kediri dekat rumah. Itu waktu mbakku masih bayi. Setelah itu, ibuk full time menjadi Pe-eN-eS di Kediri hingga pensiun.
***
Aku dan ibuk sengaja benar berhenti di depan lapak ayam milik pak nggantheng itu. Pak nggantheng yang awalnya duduk (biasanya sih utak-atik hpnya), langsung berdiri mengetahui ada pembeli yang mendekati lapaknya.Ramah, informatif, rapi. Ciri excellent service. |
Ibuk dengan lihainya pura-pura bertanya seputar ayam dagangan pak nggantheng: ayamnya apa saja, apa bedanya ini dan itu (ternyata ada ayam kampung, ayam petelur/ horn, dan bebek), berapa harga masing-masing, sampai menyampaikan bahwa dulu ibuk berlangganan di mbak Partini, tetapi sekarang beliau sudah meninggal. Pak nggantheng juga tahu mbak Partini, karena masih satu area jualan dengan almarhumah, dan memang hubungan antarpenjual ayam sudah sangat dekat layaknya Tom dan Jerry. Selalu dekat tapi sebetulnya penuh persaingan. #uopo
Selain bertanya mengenai hal-hal standar dan beralasan “sedang mencari penjual ayam langganan baru”, ibuk mulai menanyakan hal-hal yang kurang penting, seperti rumahnya dimana dan berjualannya dengan siapa. Sungguh seorang ibu yang sangat perhatian kepada sesama manusia. Nilai toleransi dan empati ibuk tinggi di pelajaran PKn.
Sementara ibuk (yang tak pernah kehabisan bahan obrolan) masih berinteraksi dengan pak nggantheng, aku secara sembunyi-sembunyi menjepretkan kamera ponsel ke arah pak nggantheng sambil sedikit gemetar karena grogi. Grogi karena tidak ingin ketahuan, tidak ingin ia curiga yang berakhir dengan dirampasnya ponselku dan dibuang ke lantai sambil dimaki-maki seperti sinetron, juga grogi karena kegrogian itu sendiri. Aku hanya berhasil menjepret 2 foto setengah blur dan 1 foto blur (yang akhirnya kuhapus).
Aslinya lebih ganteng daripada ini. Tinggi 180-an cm. |
Untuk pak nggantheng yang mungking selo banget dan kesasar di blogku ini dan tidak berkenan fotonya kumuat, silakan sampaikan kepadaku ya pak, nanti kuhapus fotonya. Aku malu untuk minta izin ke panjenengan langsung, pak. #ihikihik
***
Ketika di atas becak yang membawa kami pulang ke rumah, ibuk tiba-tiba nyeletuk, “Ndhuk, aku mau kok yo nakoni omahe barang ki yo nyapo yo?”
“Lha iyo buk. Ivestigasi-ne ibuk wis koyok seleksi golek calon mantu ae”, jawabku polos.
“Lha jare sampeyan mau kon nakoni sing komplit?”
“Yowis, sip lah buk. Tapi yo tetep gung konangan sih, nyapo wong nggantheng ngono gelem dodol pitik ning pasar. Arep takon langsung kok yo sungkan rasane. Motif-e iso akeh. Sing mesti unik.”
“Yo kapan-kapan sampeyan mara rana neh, karo nggawa kertas, pulpen, recorder ngono. Nggae deep interview to istilahe? Eh tapi aku kok yo lali nakoni jenenge sopo to. Mbalik neh po piye?”, gestur ibuk sudah ingin balik badan dan bersiap menghentikan laju becak.
“Halah ora usaaaaaaah!”, pekikku tertahan menahan malu.
Atuhlah Neng, da aku teh orang sunda, ini maksudnya apaaaaa? Gak ngerti..
ReplyDeleteah, gue capek kalo harus ngetik artinya sekalian, kang. Sementara terimalah nasibmu dulu yak. Pokoknya gitu lah ceritanya :)))
Deletebwahahahaaaa.... untung aku wong njowo dadi ngerti persis arti postingan iki. eh, ibukku kan juga jualan di pasar toh, trus dulu tuh yg suka nyetok ngirimi plastik bungkus ke kios-kios di seluruh pasar, termasuk kios ibukku juga orangnya ngguanteng lho, dan masih muda. banyak yg naksir, ibu-ibu yg jualan di kios-kios langganan plastiknya, (termasuk ibukku hahaha) dan banyak yg godain. kulitnya putih juga, tinggi semampai, tapi ya itu tadi, jualan plastik di pasar. motivasinya ya katanya nyari kerjaan lain ga dapet2, dan dia suka saja menjalani pekerjaannya sehari-hari.
ReplyDeleteho oh. semacam passion ngono yo mbak? :D
Deletelha ning inggris kono, enek bakul pitik berwajah manis indonesia ora mbak? :))
aku malih penasaran (juga) karo bakul pitik'e,hehee...
ReplyDeletehahaha kapan-kapan mainlah ke setono bethek, nof. Golekono sing paling ganteng diantara bakul pitik liyane :))
DeleteNguakak mbak, kok saget-sagete moto :P
ReplyDeletesaged nooo... Aku og. wakakaka. Ndhredheg jeh
Deleteterus jawabane iki opo pet? :
ReplyDelete“Engko mbok tulung diinterview ngono buk. Pengen ngerti aku, nyapo wong nggantheng kok gelem dodol iwak pitik ning pasar”
wah, rung nemu jawabane Jok. lha kesusu ra fokus e, baik pertanyaan maupun jawabane :))) kapan2 ae dolan rana neh, kan iso dadi modus. #mureeeee
DeleteIdiiihh..motifnya blm nemu.buruan ditnyin dong ma, penasaran nih..hihi.
ReplyDeleteDitunggu blog lanjutanny ya.
motifnya polkadot, Sar :)))
Delete