Cerita 5 Ramadhan 1436H: KURSI KOSONG

, , 4 comments
“Mbak, agak sana ya. Ini ada orangnya nanti”, kata seorang ibu yang kujumpai di shaf ke dua di sebuah mushala.

“Oh, iya bu”. Akupun duduk agak ke sebelah kiri setelah tahu bahwa sepetak shaf yang akan kutempati ternyata sudah “dipesan” oleh orang lain.

Si ibu meletakkan tangannya di atas kursi kosong di sebelah kirinya, tempat yang akan kugunakan tadi.

“Maaf bu, ini kursinya siapa?” tanyaku penasaran.

“Ada mbak pokoknya nanti. Ibu-ibu tua. Biasanya dia kemari duduk di kursi ini. Kayaknya orang belum datang”, jawabnya.

“Oh... ya ya...”, kataku mengerti.

Namun, hingga shalat tarawih selesai, tak kujumpai seorang pun yang duduk di kursi kosong tersebut, seperti yang si ibu katakan. Hal ini berulang di malam berikutnya. Kursi kosong itu tetap ada pada tempatnya, di shaf ke dua jamaah wanita. Mungkinkah si ibu sedang sakit? Sedang tidak enak badan, sehingga tidak dapat hadir di mushala? Pikirku. Entahlah.


IBUK

Melihat kursi kosong yang selalu disediakan oleh jamaah lain untuk si-ibu-entah-siapa-yang-hingga-kini-belum-kuketahui-yang-mana-orangnya tersebut, aku menjadi ingat dengan ibuku sendiri di rumah.

Ibuk yang usianya hampir 63 tahun, tentu memiliki fisik yang tidak sekuat zaman masih mudanya dulu. Wajar, ada penurunan vitalitas dan penuaan organ-organ tubuhnya seiring bertambah usia. Kadang kaki ibuk sakit, yang kata orang-orang semacam pengeroposan tulang. Oke, jika istilah ini terlalu mengerikan, ada penipisan kalsium dalam tulangnya. Hal ini menyebabkan persendian kadang nyeri. Apalagi jika ibuk sedang kurang fit kondisinya.

Kadang kudapati ibuk shalat dalam keadaan duduk bersimpuh di sajadah. Ibuk mempunyai matras empuk (yang dulu digunakannya untuk alas senam saat masih bekerja kantoran) yang dilapisi sajadah untuk alas shalatnya. Kata ibuk, matras bisa menghangatkan tubuhnya dari dingin dan kerasnya lantai. Aku sih tidak masalah.

Ibuk shalat karo lenggah?”, tanyaku sewaktu melihat ibuk sejak rakaat pertama sudah dalam posisi duduk.
(Ibuk shalat sambil duduk?)

Iyo, ndhuk. Ibuk pas gak kuat ngadeg”, jawabnya.
(Iya, ndhuk. Ibuk pas tidak kuat berdiri)

Aku hanya mengangguk dan menghela nafas kecil. Betapa ibuk sudah melewati begitu panjang perjalanan hidup yang berliku-liku, dan semakin lama semakin tampak bahwa ibuk, mau tidak mau, menjadi semakin tua. Sesuatu yang membuatku semakin tidak tega untuk membuatnya sedih atau kecewa atas sikap-sikapku yang mungkin kurang berkenan di hatinya.

Kali lain, ketika ibuk mengalami vertigo (sakit kepala yang hingga untuk membuka mata saja rasanya sekeliling seperti berputar 180 derajat), ibuk hanya bisa berbaring di tempat tidur.

Aku tahu betul rasanya vertigo, walau mungkin dalam tingkat kesakitan yang jauh lebih ringan daripada yang ibuk rasakan. Waktu itu aku mungkin masih SMP atau SMA. Badan lemas tak bertenaga, yang mana ketika aku bangun tidur, aku langsung berteriak dan berpegangan kasur kuat-kuat karena aku seperti naik roller coaster, aku mengira kasurku terbalik dan aku menghadap ke lantai. Namun ketika aku kembali memejamkan mata sambil napas tersengal-sengal, semua tampak kembali normal. Beruntung hanya sekali itu saja aku mengalami vertigo.

Kadang tak tega membangunkan ibuk yang sedang tertidur pulas ketika sudah memasuki waktu shalat. Ibuk bukanlah orang yang suka tidur (tidak seperti aku) jika memang tidak benar-benar capek. Tapi demi mengingat bahwa shalat adalah kewajiban, maka dengan pelan aku membangunkan ibuk.

Buk, wayahe ashar”, kataku di dekatnya.
(Buk, waktunya ashar)

Kadang tak cukup sekali aku membangunkan ibuk. Pun sekali dua kali aku enggan menyentuh badannya untuk membangunkan. Karena bila ibuk kaget dan langsung siaga, itu juga tidak baik untuk kesehatan jantung.

Ndhuk, aku tak shalat nek kene ae ya. Tak tayamum”, pinta ibuk.
(Ndhuk, aku shalat di sini aja ya. Aku tayamum)

Aku buru-buru mengangguk. Kubiarkan ibuk bertayamum dengan debu di tembok, atau kalau tangannya tidak sampai, ya “debu” di atas kasur. Kuambilkan jilbab, kupakaikan dengan hati-hati, karena kadang bergerak sedikit saja seluruh badan rasanya tidak nyaman dan pusing. Kadang pula di bawah punggungnya masih ada 2-3 botol air panas untuk menghangatkan badannya yang kedinginan, walau sudah memakai selimut tebal.

Aku hanya bisa menelan ludah melihat ibuk shalat dari luar kamar. Kadang tak terasa setetes dua tetes air mengalir dari sudut mataku, kemudian aku pergi.

Aku tahu, mungkin ada kalanya suatu saat nanti, walau aku tidak berharap, bahwa akulah yang akan membawakan sebuah kursi kosong ke masjid atau mushala untuk ibuk duduki. Mungkin kala nanti, ibuk sudah tidak sanggup lagi shalat dengan berdiri atau duduk di atas sajadah di lantai, melainkan harus duduk di kursi yang nyaman. Entah itu nanti ketika ibuk berusia 70, 80, atau 90 tahun.

Mungkin kala itu nanti aku sudah beranak banyak, lelaki dan perempuan. Dan aku akan mengajarkan anak-anakku untuk selalu bersikap hormat dan sabar menghadapi neneknya. Mungkin juga aku akan meminta kerelaan mereka untuk membagi waktu ibunya, antara mengurus mereka dan mengurus neneknya. Aku akan memahamkan mereka bahwa dari neneknya lah ibunya mewarisi sifat-sifat baik, dan membuat ibunya bisa menjadi wanita yang tegar dan kuat dalam menjalani hidup, sesulit apapun itu. Aku ingin anak-anakku bangga terhadap neneknya.

Apapun itu, kuharap sisa umurku dan ibuku, yang entah tinggal berapa lama lagi tak ada yang tahu, kami bisa selalu saling menemani, mengingatkan dalam kebaikan, dan menasihati dalam kesabaran. Aamiin...

4 comments:

  1. Amiin, amiin, ya robbal alamiin...

    ReplyDelete
  2. jadi penasaran sama kursi kosong itu, kira-kira siapa ya #salahfokus. ibu-ku tahun ini umurnya 61 dik Pety. udah mulai sering ngeluh ini itu juga mengenai kesehatan. tapi untunglah kadang-kadang masih suka nyepeda keliling kompleks, biar sehat katanya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. siapakah kira-kira? #halah
      weh kok sangar mbak, jik sepedahan? ibuku gak saged sepedahan mbak. gak duwe sepedah pisan. haha
      semoga ibunya mbak Nay sehat selalu ya mbak :*

      Delete