Abimana Alzafran: Usia 2-4 Hari

, , 5 comments
Keputusan mbakku dan suaminya untuk memilih bersalin di sebuah Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) di Jakarta Selatan adalah karena mendapatkan beberapa referensi yang terpercaya dari teman-temannya yang sudah pernah melahirkan di sana juga. Dari bertukar kabar dengan ibuk dan aku selama kehamilannya, sepertinya kami juga setuju-setuju saja, dan pilihannya memang bagus.

Jarak Tangsel - Jaksel memang cukup jauh. Naik taksi sekitar 1 jam, belum lagi kalau macet. Beruntung ada tol yang menghubungkan keduanya. Keinginan mbakku untuk melahirkan di malam hari, atau paling tidak perginya ke RS di malam hari, dikabulkan Tuhan. Ketuban mbakku pecah dini. Persalinan yang direncanakan tanggal 18 September, akhirnya maju 10 hari, menjadi tanggal 8 September 2014.


Tengah malam ketika terbangun, rasanya mbakku ingin pipis. Eh lha kok yang keluar cairannya berbeda. Tidak ada rasa sakit, mules, ataupun kontraksi. Mbakku dan masku hanya merasa, itulah saatnya ke rumah sakit. Segera!

Jam 12 malam mereka menuju ke RSIA di Jaksel..... dan jalanan lempeng. Tentu bebas macet. Apa yang sempat mereka bawa? Hanya sekenanya memasukkan baju-baju bayi, popok, selimut, dan ala kadarnya. Wong mereka rencananya masih akan membeli beberapa baju lagi keesokan harinya, kok. Menunggu aku dan ibuk yang terbang dari Surabaya besoknya, Senin. Persiapan belum lengkap, eh si jabang bayi sudah gak sabar pengen keluar.


Sebetulnya aku sudah ditelpon masku jam 01.00 dini hari, bahwa mbak sudah masuk RSIA. Diperiksa, katanya bukaan 1. HPku yang memang hampir selalu menyala kapanpun, berdering. Tergeragap, karena aku tidak terbiasa menerima telepon tengah malam. Usia kehamilan yang sudah mendekati 40 minggu memang membuatku ikut deg-deg ser. "Ada apa ini, mas telpon malam-malam?" batinku dengan cemas.

Seusai menerima telepon dari masku, aku nyaris tidak bisa tidur hingga pagi. Aku merapalkan dzikir apapun yang terlintas di kepala. Ibuk sengaja tidak aku bangunkan, agar tidak semakin panik. Aku juga sudah pasrah, misal keesokan harinya tidak sempat menunggui mbakku bersalin, mengingat flight kami masih jam 09.20 esok paginya. Tapi lama-lama karena ngantuk, aku tertidur kembali. Dasar!

Di bandara, aku terus berkirim kabar dengan masku mengenai kemajuan pembukaan mbakku. Ibuku tetap belum tahu. Sampai subuh, katanya masih pembukaan 1. Dan H-1 jam menjelang flight kami, sudah pembukaan 4. "Ah, sudah saatnya memberi tahu ibuk", pikirku. Benar, aku menyambungkan telepon ibuku dengan mbakku yang sudah berada di IGD sejak tengah malam tadi. Sesuai dugaanku, ibuku terisak mendengar suara mbakku yang agak terengah menjelaskan bahwa ia sudah pembukaan 4. Minta didoakan, semoga lancar. Minta agar ibuk jangan bilang "Tunggu eyang ya, thole", tetapi bilang "Lahir saja, thole, jika memang kamu sudah pengen lahir. Semoga lancar...". Ibuk mengangguk sambil mendoakan secara langsung di telepon. Aku menelan ludah berkali-kali.


Sesampainya di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng, aku langsung menyalakan HP. Benar, mas mengabarkan bahwa mbak sudah bukaan 8. Alhamdulillah relatif cepat. Dalam waktu 1 jam, sudah tambah 4 pembukaan. Aku kabarkan ke ibuk, dan kami sepakat menerka bahwa berarti persalinannya pasti akan terjadi siang ini juga. Tidak lama lagi!

Kami bergegas mengambil koper dari bagage claim dan mencari taksi. Langsung menuju Jakarta Selatan, RSIA! Di jalan, ibuk tidak berhenti menangis. Sesenggukan. Aku yang paling tidak bisa melihat orang menangis, apalagi kami sekeluarga inti memang memiliki ikatan batin yang sangat erat, juga akhirnya meneteskan air mata. Aku berusaha menenangkan ibuk... sambil menenangkan diriku sendiri.

"Oalah nduk... sampeyan hamil, hamil dewe. Melahirkan, melahirkan dewe wong loro. Adoh saka omah bar nikah yo wong loro, saiki aku arep ngancani sampeyan pas nglairne ae kok ya ora pareng karo Gusti Allah. Sampeyan pancen diutus mandiri terus, ora ngrepotne wong liya...", kata ibuk sambil menerawang di dalam taksi. Tenggorokanku tercekat demi mendengar kalimat ibuk.

Ting tung. Whatsapp ku berbunyi lagi. Dari mas.
Ohhhh...!!! Rasanya hatiku anjlok melihat gambar yang dikirimkannya. Aku menunjukkan pada ibuk. Ibuk tambah tersedu lagi melihatnya.
Bayi kecil-mungil-Zafran sudah berada di atas dada ibunya. Rambutnya kriwul karena hanya dikeringkan seadanya, rambutnya lebat tumbuh hingga ke dahi dan pipinya, tubuhnya merah. Mbakku masih tampak kelelahan tapi bahagia.
"Lho, bu, kenapa kok nangis?", tanya sopir taksi bingung. Aku mengusap air mata yang berkali-kali meleleh.

How God created a little creature in this world.

 Begitu sampai di RSIA, kami langsung menghambur ke meja resepsionis. Menanyakan kamar atas nama Rahma. Aku juga menelepon masku, bahwa kami sudah di depan. Untung masku sabar dan mau mengalah, gantian masuk ke ruang persalinan dengan ibuku yang sudah tidak sabar melihat anak wedok dan cucu pertama lelakinya. "Masih dijahit, buk", kata masku. "Nggak papa, saya boleh masuk kan, mas?", desak ibuku. "Boleh."

Sementara aku harus rela gigit jari di ruang tunggu, karena masuknya harus satu per satu. Itupun harus memakai jas khusus yang disediakan di sana. Aku meminggirkan 2 koper besar kami sambil dilihati dengan heran oleh ibu-ibu resepsionis. Dia tidak tahu kami habis berperjalanan sejauh 1000 kilometer sesaat sebelumnya sambil menangis.

Setelah proses menjahit jalan lahir selesai, yang kata mbakku sakitnya melahirkan ditambah sakitnya dijahit itu ruaaarrrr biasaaaa sampai nggak bisa diomongin, aku pun ganti masuk. Nothing left to say.
Sejujurnya, sejak mbakku menikah, dan sebulan berikutnya hamil, dan tiba-tiba sekarang ada bayi kecil di dadanya, aku masih tidak percaya bahwa perempuan inilah yang dulu pernah tidur sekamar denganku selama 27 tahun, minus 1 tahun dimana ia pernah kuliah di UNS Solo sebelum pindah ke ITS Surabaya. Perempuan inilah yang mengerti betul kapan aku gembira, kapan aku sedih, yang memediasi ketika aku berselisih paham dengan ibuk, yang mengantarkanku ke dokter ketika aku sakit, yang membiayai kehidupanku sehari-hari setelah dia lulus kuliah, sedangkan aku belum, dan yang hafal betul dimana saja letak tahi lalat di tubuhku.
Aku mengelus-elus Zafran, amazing bahwa makhluk ini tercipta dan tumbuh dalam perut ibunya.

Senam nifas. Salah satu fasilitas di RSIA. Mbak yang pakai legging cokelat.
Aku terkena imbas banyak mendapatkan pelajaran penting dari lahirnya Zafran ini. Bagaimana tidak, setiap hari bergantian jadwal kunjungan ke kamar-kamar dari dokter spesialis, mulai dari dokter anak, dokter kandungan (dokter mbakku sejak hamil), dokter laktasi, dokter/ ahli gizi dan nutrisi, dan juga suster-suster yang siap dipanggil kapan saja. Apapun yang disampaikan dokter selama berinteraksi dengan mbakku, aku rekam baik-baik dalam otak. Yah, walaupun sekarang banyak yang lupa karena tidak segera dipraktikkan sendiri. #sabaaarrr. Sering juga aku sok-sok an ikut tanya jawab dan berkonsultasi dengan beliau-beliau ini.

Dan salah satu yang paling kuingat, di RSIA itu, aku sempat bertatap muka dengan aktor tampan Indonesia yang bernama depan sama dengan Zafran, yaitu Abimana Aryasatya. Belum tahu yang mana orangnya? Silakan googling! Hahaha. Yang jelas, dia pemain utama dalam film "99 Cahaya di Langit Eropa" dan "Haji Backpacker". Terakhir kemarin, dia bermain film "3 (Three)". Waktu itu aku yang masih ngefans dengan dia, agak salah tingkah juga. Aku sapa nggak ya... sapa nggak ya...
Dan akhirnya... nggak! Huh. Aku terlalu malu untuk sekedar say hi ataupun minta foto bareng, walaupun orang Jakarta juga cuek walau dimana-mana sering ketemu artis. Setelah kuceritakan ke Hida, temanku, dia langsung cek di akun Path akang Abimana Aryasatya. Ketemulah jawabannya. Abimana sang artis sedang mengantarkan istrinya untuk menjenguk anak temannya yang sedang sakit di sana. Hmmm, semudah itu ya, ngepoin orang jaman sekarang. Cukup nyalakan gadget!

Zafran pulang ke rumah digendong eyangnya.

5 comments:

  1. harusnya poto-poto tuh ya sama si mas artis... gimana sihhh, kan udah ada gadget, tinggal jepret jepret! hahaha *komennya salah focus*

    ReplyDelete
  2. luar biasa mbak kisahnya. Kalau ibu saya, dari 2 kali saya melahirkan, tidak boleh mendampingi di ruang persalinan krn kelihatan kurang tatag. yang mendampingi suami saya dari awal hingga akhir. alhamdulillah lancar

    selamat ya atas kelahiran zafran. namanya bagus!

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehe iya mbak. lebih baik yang mendampingi itu yang tatag ya.
      alhamdulillah, matur nuwun mbak :)

      Delete
  3. newbi maaf mampir gan,kalau agan berkenan untuk berkunjung ke blog saya yg sederhana,silahkan gan di tunggu di http://edwingemilang.blogspot.in/2015/10/persahabatan.html

    ReplyDelete