Data Palsu dan Keharusan Menikah

, , 14 comments
“Bu Is...!! Bu Is...!!” seru seseorang tergopoh-gopoh datang ke rumah.

Ibuk yang kebetulan berada di ruang tamu langsung menyahut, “Hei, enek opo, Nah?”

“Bu Is, bu Is...” Seseorang yang bernama mbak Minah (bukan nama sebenarnya) ini terdengar masih mengatur nafas. “Ngaten, bu Is...”

“Enek opo? Wis lungguho sik”, sahut ibu berusaha menenangkan.

“Pak Dar wonten, bu Is?” tanya mbak Nah terburu-buru. Pak Dar adalah adik ibuk yang sering berkunjung ke rumah kami.

“Yah mene yo kerjo, no. Ngantor. Nyapo?” jawab ibuk.

Duh, bu Is. Kula badhe nyuwun tulung.


“Nyuwun tulung apa?” timpal ibuk menjadi ikut tidak sabar.

“Atik (bukan nama sebenarnya), bu Is...”

“Atik? Nyapo anakmu kuwi?

“Atik badhe kawin, bu Is...” suara mbak Nah makin parau.

Aku yang sedari tadi berada di kamar, bersantai-santai sambil membaca novel, langsung menghentikan aktivitasku. Aku letakkan novel ke sisi tempat tidur dan berusaha menajamkan pendengaran. Aku berusaha mencuri dengar ke arah ruang tamu yang letaknya berdekatan dengan kamar.

Mengapa mbak Nah yang anaknya mau menikah justru terlihat kacau dan khawatir seperti itu? Bukankah menikah adalah keinginanku keinginan setiap gadis yang merindukan hadirnya seorang imam dalam keluarganya, yang dapat membimbingnya sehingga mampu mengaruhi bahtera rumah tang....... Ahhhhh.....

LHOH, LHA NYAPO ATIK MBOK KAWINNE SAIKI?” di tengah kesibukanku berpikir, ibuk tiba-tiba berseru karena kaget mendengar berita tersebut. Aku juga kaget. Lebih karena mendengar seruan ibuku.

Nggih, bu Is... Pokokipun KEDAH kawin sak menika”, jawab mbak Nah masih dengan kacaunya.

Pira umure Atik?” Ibuk adalah orang yang tidak terbiasa menyembunyikan apa yang menggantung dalam pikirannya. Semua diungkapkan, tetapi tetap memperhatikan siapa lawan bicara dan apa yang sedang dibicarakannya.

Sekawan welas, bu Is...”

Bocah jik umur pat belas taun nyapo kok arep mbok nikahne saiki?!” Ibuk menjadi ikut menegang, seolah Atik juga adalah anaknya yang tak rela diperlakukan tanpa sebab yang jelas.

Pokokipun KEDAH, bu Is... KEDAH dikawinne sak menika”, ulang mbak Nah menekankan bahwa perkataannya adalah serius.

Aku sontak bangkit dari pembaringan. Aku baru ingat, Atik sekarang memang usianya baru empat belas tahun. Putus sekolah setamat SD, yang konon katanya ayahnya yang tukang becak dan ibunya, mbak Nah, yang berjualan onde-onde di pasar, tidak mempunyai biaya untuk menyekolahkan Atik ke jenjang SMP.

Ironisnya, Atik yang putus sekolah justru dituruti ketika meminta sebuah sepeda motor. Tentu saja kredit. Pacaran kesana-kemari dibonceng sepeda motor yang dikendarai pacarnya, adalah hal yang cukup sering dilaporkan anak-anak sekitar kepadaku. Menemukan mereka berdua pacaran di alun-alun kota berduaan, bukanlah hal yang sulit. Tentu saja itu juga laporan dari anak-anak.

Anak-anak SD yang sering berkumpul di rumahku, khususnya yang perempuan, memiliki bakat menggosip yang cukup hebat. Aku kerap melarang keras mereka membincangkan sesuatu yang belum tentu kebenarannya. Walaupun setiap kali mereka bercerita, seolah-olah yakin 100% dengan apa yang sedang dikatakan, sampai bersumpah-sumpah. Kembali aku juga menegaskan, bersumpah atas nama Tuhan adalah hanya untuk hal-hal yang bermanfaat. Bukan untuk menggosipkan keburukan orang lain.

Terus maksudmu piye arep nggoleki pak Dar?”, sambung ibuk.

“Pak Dar kan kerjone teng bagian surat-surat to, bu Is. Kula badhe nyuwun tulung, mbok pripun carane ben Atik saged ngajokne surat nikah teng pak modin”, jawab mbak Nah pelan.

Maksude, kowe arep malsokne data anakmu? Pengen diakoni lek anakmu wis cukup umur ngge nikah??? Pengen ditulis anakmu umure pitu las taun?” suara ibuk kembali agak menegang mendengar ide yang sama sekali tidak idealis itu. Memalsukan data.

Nggih, maksud kula ngaten. Pokokipun saged lolos permohonan nikah menika, bu Is...”

Ibuk terdiam beberapa detik. Aku menunggu percakapan selanjutnya dari dalam kamar. Aku sengaja tidak ikut menemui ibuk dan mbak Nah di ruang tamu agar mbak Nah tidak semakin kagok atau sungkan bahwa ternyata ada orang lain yang mendengarkan.

Tampak sekali ibuk sangat menahan keingintahuannya mengenai alasan mbak Nah ingin segera menikahkan anaknya, Atik, yang sekarang masih berusia 14 tahun. Biasanya jika sedang mood atau memang perlu menggali lebih dalam, ibuk akan mengeluarkan jurus kepo-nya, yang jauh lebih kepo daripada aku. Aku tunggu, ternyata ibuk juga enggan menelisik lebih jauh. Ide untuk memalsukan data melalui omku yang bekerja di Dispendukcapil (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil) juga sepertinya sudah terbaca jelas dalam pikiran ibuk, tetapi tidak ibuk ungkapkan.

Ngene, Nah. Iki pak Dar ora enek ning kene. Biasane mulih kantor sore. Kowe rene a neh dewe engko sore. Omongno karepmu”, jawab ibuk diplomatis.

Nggih sampun, bu Is. Kula pamit rumiyin menawi ngaten. Matur suwun.

Yo.”

***

Paska perbincangan itu, aku hanya mengambil nafas dalam-dalam. Terlalu ribet memikirkannya. Memikirkan garis hidup orang lain. Aku sempat ke Surabaya, lalu kembali lagi ke Kediri dan tiba-tiba ingin tahu bagaimana kelanjutan peristiwa tersebut. Ibuk bilang, Atik akhirnya sudah jadi menikah dengan entah siapa itu lelaki yang sempat membuat mbak Nah kacau memikirkan umur Atik yang masih belia dan harus “direbut” dari tangannya. Ada perayaan sederhana di rumah mbak Nah atas pernikahan itu. Dan ternyata mbak Nah tidak jadi meminta tolong omku untuk memalsukan data anaknya. Entah bagaimana caranya, beres.

Atik, bukanlah tergolong wanita dari sebuah suku yang lazim menikah di usia belia, belasan tahun, atau yang bahkan sebelum berusia 10 tahun sudah dijodohkan oleh para orangtua mereka. Lingkungan kami tidak mempunyai tradisi untuk menikahkan anak-anaknya di usia yang bisa dibilang baru saja puber.

Walaupun secara normal wanita telah mendapatkan menstruasi pada usia 11 atau 12 tahun (atau sebelum itu pada beberapa gadis), yang artinya ia sudah memiliki alat reproduksi yang aktif, tapi...ayolah... menikah bukan sekedar ketika kamu bisa hamil dan memiliki anak. Kedewasaan, kematangan berpikir, kemampuan mengambil keputusan, dan rasa tanggung jawab atas keseluruhan hidupmu dan keluarga kecilmu, itu juga penting.

Orangtua yang memaksakan diri membelikan anaknya sepeda motor ketika si anak belum genap berusia 17 tahun (yang artinya mustahil memiliki SIM C resmi), itu juga hal lain yang patut disayangkan. Mungkin kalau dulu aku meminta ibuk membelikanku motor saat SMP, bokongku sudah ditendang sampai Gunung Kelud. Beli motor pakai uang siapa? PNS gaji pas-pasan. Pas untuk makan dan pas untuk bayar SPP serta buku-buku anaknya saja. Sekolah, sekolah, sekolah, itu nomor satu.

***

Ingatanku melayang pada seorang ibu lain yang pernah berbincang denganku. Sebut saja namanya Bu Mar. Bu Mar secara terang-terangan mengatakan bahwa anak lelakinya “terpaksa” menikahi seorang wanita karena wanita itu “tidak sengaja” dihamili anaknya. Bu Mar memang tipe orang yang ceplas-ceplos dan tidak sungkan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku sempat mengunjungi rumah mereka dan menggendong cucu Bu Mar, anak dari anaknya yang MBA (married by accident) itu.

Bayi mungil yang kulitnya bersih dan menyenangkan itu bergerak-gerak lucu dalam gendonganku. Ayah dari bayi itu adalah sopir angkut barang di Surabaya, sedangkan ibunya masih berstatus sebagai mahasiswa tingkat awal. Si ayah ngekos di Surabaya, dan di situlah pertama kali bertemu dengan si ibu.

Karena ke-kepo-anku yang teramat sangat dan entah bagaimana memilih kalimat yang paling tepat, aku spontan bertanya, “Lajeng, bu, si Antok kaliyan Tumini (bukan nama sebenarnya) menika ‘pacaran’ipun dhateng pundi, kok ndilalah akhire hamil? Kan Antok ngekos? Mosok pacaran teng kamar kosan?”

Ho oh, mbak Pety. Lha ning endi neh? Mestine yo ning kosan kuwi.

Aku tersenyum kecut.

Di rumah itu, tampak benar bagaimana interaksi yang terbangun antara Antok – Tumini – bayi – bapak dan ibu mertua. Semuanya tampak canggung. Tumini yang terpaksa cuti dari kuliahnya tampak sangat kurang terampil mengurus bayi. Tipe gadis yang masih senang berhura-hura, dandan, dan sibuk sendiri dengan ponselnya. Antok sebenarnya tampak sangat sayang kepada anaknya. Lekoh dalam menggendong, memasukkan dot ke mulut anaknya, dan mengajak bercanda. Tapi si ibu mertua tampaknya kurang menunjukkan keramahan kepada Antok entah karena apa. Dan si bapak mertua memilih menunjukkan sikap cuek.

***

Pernikahan yang tidak direncanakan matang-matang. Pernikahan yang terjadi karena sebuah "keharusan" semata, untuk menyelamatkan si jabang bayi dari memiliki akta kelahiran tanpa nama ayah. Menyelamatkan nama baik keluarga dari cibiran warga dan corengan di muka. Menyelamatkan si anak dari tidak jelasnya nasab dari ayah dan segala hukum yang melekat padanya kelak. Ya Salaam...

14 comments:

  1. Aku sedih bacanya, piro perasaanmu jal?

    ReplyDelete
  2. Kadang aku mikir, sebagian orang kok gampang banget yah nikah, bahkan dipaksain nikah...

    Hahah y sudahlah yah, mari kita tutup komen ini dengan doa minta jodo, berdoa mulai...

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya kang, pernah juga berpikiran seperti itu. hahaha
      berdoaaa....selesai!

      Delete
  3. Replies
    1. bocah iki keweden maca, trus bak'e mung komen ngene. duh :((

      Delete
  4. Keharusan menikah juga bukan hanya karna kecelakaan. Tapi juga karna usia. Lagi2 karna faktor anak. Klo menikah di atas usia 30, bagaimana punya anak dan masa depan anak. Tidak sebatas akan cibiran orang yang trlalu kepo, tapi juga faktor internal ato diri sendiri jd pertimbangan harus menikah pada usia tertentu. Faktor kecelakaan terutama memank menjadi alasan yang (dipaksakan) logis dalam memaksakan pernikahan. Tapi sekali lagi, bukan hanya pernikahan yang harus dipikirkan scr matang. Tapi juga sebelum terjadinya pernikahan juga lbh dimatangkan. #ikutdoamintajodoh

    ReplyDelete
  5. spt'ny membekali diri dgn ilmu memang sangat penting, ilmu agama khusus'nya dan ilmu pengetahuan pada umum'nya...:)

    ReplyDelete
  6. Nyuwun sewu Pet, Om-ipun pean sing nyambut damel teng Dispendukcapil asmanipun "Dar" sinten nggih?

    mbok bilih ngantor teng Dispendukcapil Kota, pasti kenal kalihan bapak ibuk kulo :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. oya? bapak ibumu opo mutasi nyang Dispendukcapil? tak japri ae asmane omku.

      Delete
  7. menikah adalah pilihan bukan keterpaksaan #me

    ReplyDelete
    Replies
    1. menikah adalah sunah Rasul. dan barang siapa yang tidak menyukai sunah Rasul, maka bukan termasuk golongan Rasulullah.
      *demikian kutipan hadist yang pernah saya baca, mbak* xixixi

      Delete