Catatan 13 Ramadhan 1438 H: JANGAN MEMINTA OLEH-OLEH (2)

, , No Comments
Ini adalah lanjutan dari tulisan berjudul sama sebelumnya, tentang mengapa alasanku tidak selalu membawa oleh-oleh ketika pergi. Tentang bagaimana situasi, kondisi, pikiran, dan perasaan memengaruhi pengambilan keputusan diri untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dan tentang, hidup kita yang tidak perlu selalu membahagiakan orang lain, jika membuatnya tidak sedih saja sudah cukup.

DIKIBULI TUKANG OJEK
Dari Pelabuhan Balohan-Sabang, aku dan dua temanku yang baru aku kenal dari Malaysia dan Padang, langsung mencari moda transportasi yang dapat mengantar kami kemana-mana secara fleksibel. Ojek ternyata yang paling memungkinkan.

Hal menjengkelkan dimulai ketika tukang ojek yang kunaiki awalnya meminta tarif 70 ribu untuk keliling seharian di Sabang, mengantar mencari penginapan, hingga besoknya dijemput kembali dari penginapan ke pelabuhan. Karena esok paginya jam 08.00 aku harus sudah kembali ke Banda Aceh untuk terbang pulang ke Surabaya. Muter-muternya sih enak, hanya terasa panas nyelekit semakin siang. Aku yang cuma memakai sandal jepit, sudah pasrah jika nanti punggung kaki, tangan, dan wajah gosong.

Namun ketika sudah sampai di Pantai Iboih yang mana berjajar penginapan, snorkeling and diving agencies, warung makan, dan pantai bening di sepanjang jalan, pak ojek mulai berulah. Kan aku bilang minta ditemani cari penginapan paling murah, di bawah 100 ribu/malam. Fasilitas minim tidak masalah, kamar mandi di luar tidak masalah, pakai kipas angin dan kamar sempit juga oke. Demi menghemat biaya tentunya. Eh, dia ngeyel menurunkan aku di tempat dia kongkalikong dengan pemilik penginapan setempat. Sebetulnya kalau dipikir secara jernih, wajar saja begitu. Dengan mengantar penumpang ke penginapan langganan, pak ojek mendapatkan komisi sejumlah tertentu dari pemilik karena dianggap sudah mempromosikan penginapan tersebut. Setelah balik kanan-kiri sambil dongkol, akhirnya aku menyerah dengan harga kamar 150 ribu/ malam. Dua kali lipat jauh lebih mahal daripada yang aku anggarkan.

Master Bungalow. Tempatku menginap di Sabang. Paling capek saat mengangkat koper berat melalui tangga sempit di sisi kiri bangunan itu menuju lantai 2. Sumber: google
Selasar lantai 2. Dimana aku menjumpai para penginap lain gegoleran tidur malam di selasar ini pakai tikar. Mungkin untuk menghemat duit kali ya, daripada membuka satu kamar lagi. Sedangkan teman mereka cewek-cewek bebarengan menginap di dalam kamar. Tampak seperti serombongan muda-mudi yang berlibur bersama. Untung daerah pantai ini cukup hangat ketika malam. Sumber: google.
Kamar seharga 150 ribu/malam. Jika untuk sendiri, kamar ini tergolong luas. Longgar untuk meletakkan barang-barang dan sholat. Tapi sayang, kamarku yang jendelanya menghadap ke belakang, tidak cukup baik aliran udaranya, jadi agak pengap dan gerah. Sumber: google
Aku minta harga antara 70-80 ribu/ malam sebetulnya juga tidak ngawur karena aku sudah selancar di internet untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya. Namun alasannya waktu itu cukup logis, yaitu saat aku ke sana hari Sabtu siang, merupakan liburan akhir pekan yang panjang. Yaitu Sabtu-Minggu-Senin. Sehingga hampir semua penginapan penuh.

Tidak sampai di situ. Pak ojek juga meminta bayaran lebih kepadaku. Memang sih, uangnya baru akan aku berikan esok hari ketika aku dijemput. Dijelaskan dengan logika yang aku sengaja bolak-balik, untuk ngeyel bahwa yang dia sampaikan tidak masuk akal dan mengingkari perjanjian di awal, sampai suara dia yang keras ikut meninggi, akhirnya aku terpaksa menyerah (lagi). Tarif 70 ribu menjadi 150 ribu. Dua kali lipat lebih dari perjanjian awal. Sebetulnya bukan hanya punya atau tidak punya uang, tapi aku tidak suka orang yang tidak fair di awal. Bilang murah, ternyata “nggepuk” di belakang. Lha sudah jelas-jelas aku beri gambaran rute yang akan dikunjungi, artinya sejak awal kan dia bisa mengira-ngira itu seberapa jauh, butuh bensin berapa, berapa jam perjalanan, dan tarifnya berapa. Jika kemudian tiba-tiba dia minta bayaran lebih, itu sangat amat menjengkelkan.

Mungkin kalian bayangkan mengeluarkan uang ekstra 150 ribu (tambahan anggaran ojek dan penginapan) itu termasuk sedikit. Tapi jangan salah, 150 ribu itu bisa untuk makan 5 kali ketika bepergian. Atau beli tiket kapal Banda Aceh-Sabang PP. Atau urunan 1x snorkeling ke tengah laut bebarengan. Intinya, anggaran harus diperhitungkan secermat mungkin. Karena kalau sampai kehabisan duit dan tidak mungkin minta orang rumah mengirimi uang, hanya satu jalan yang bisa dilakukan: pulang!

Bisa bayangkan, dalam kondisi emosi naik turun begitu, apakah aku masih bernafsu membeli oleh-oleh? Tentu tidak. Dan sekali lagi, tidak semua orang yang bepergian tujuannya membeli oleh-oleh :)

TERSENGAT UBUR-UBUR API
Ini kali pertama pengalamanku disengat ubur-ubur. Itu loh, hewan yang menggemaskan, transparan, tubuh lunak, dan berekor panjang yang tampak anggun jika berenang. Sebetulnya ada jenis ubur-ubur yang tidak menyengat juga, tapi kok ya rezekiku, di Pantai Iboih jam 5-6 sore sedang banyak-banyaknya ubur-ubur itu. Sampai di garis pantai terluar juga. Kata pasutri tempat aku menyewa peralatan snorkeling lengkap seharga 40 ribu, bulan-bulan itu memang ubur-ubur sedang banyak di pantai.

Jenis ubur-ubur ada banyak. Intinya, dia cantik tapi mengerikan!
Setelah tersengat beberapa kali di tangan dan kaki yang memang tidak berpelindung, dengan rasa seketika yang membuat kaget karena campuran antara panas, perih, dan sedikit gatal, maka aku memutuskan untuk menyudahi snorkeling. Oleh agen, tangan dan kakiku ditaburi dan sedikit digosok dengan gula pasir kasar. Katanya untuk menetralisir racun. Aku yang belum berpengalaman soal pergulaan, manut saja. Ketika berbilas, ternyata masih terasa sangat perih. Memang tidak tampak luka dari luar sama sekali, hanya agak bengkak, merah, dan temperatur kulit meningkat.

Tangan bergula
Malamnya, aku jalan kaki sendirian di pulau kecil paling ujung barat Indonesia ini dengan perasaan tak menentu. Ada bahagia yang membuncah, ada syukur yang melimpah, juga ada ketakutan akan keselamatan jiwaku karena aku tak mengenal seorang pun di sana.

Aku berjalan untuk mencari makan malam. Jam sudah menunjukkan pukul 8 lewat. Ada beberapa orang yang masih hilir mudik menikmati malam, turis domestik maupun mancanegara. Di warung tempatku makan yang rasa masakannya seperti makanan padang, rupanya aku pengunjung terakhir. Makan dengan ditatap ibu-ibu penjual seolah berkata, “Ayo cepatlah selesaikan makan, aku sudah ngantuk!”.

Aku juga ke dermaga kecil untuk untuk melihat beberapa bulu babi, ikan bertubuh panjang, serta semacam teripang yang jelas terlihat dari atas saking jernihnya air. Sebetulnya aku ingin sedikit mendaki ke atas, melihat beberapa penginapan yang aku cari di internet, juga rekomendasi Nina Van Poll. Jika sendirian, aku disarankan ke Iboih Inn karena kadang ada pertunjukan musik akustik gratis di sana. “You can chilling out there!”, kata Nina. Tapi aku urung. Selain belum cukup berani untuk ke atas sendiri melewati anak tangga banyak, aku juga agak tidak enak badan.

Sesampai kembali ke penginapan, aku rebahan sejenak di kursi biru depan penginapan sambil menikmati sate gurita yang lezat. Aku memandang sekeliling yang gelap, menyimak beberapa tembang lawas dan country yang dimainkan beberapa pemusik dari penginapan sebelah. Mendengarkan desir air pantai, merasakan tangan dan suhu badanku yang menghangat karena tersengat ubur-ubur, serta berpikir berulang kali, “Apa yang sedang aku lakukan di sini? Apa sebenarnya yang aku cari? Berkelana sendirian di pulau asing. Bahagiakah aku? Pengalaman apa saja yang sudah aku dapat?” Dan pikiran lain yang berkecamuk dalam kantuk. Kemudian semuanya bermuara pada kesimpulan firman Tuhan, “Sesungguhnya Kami memberimu nikmat yang sangat banyak. Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?”

Lalu aku tersenyum dengan puas dan kembali ke kamar untuk istirahat. Aku merasa cukup dalam perjalananku. Aku tidak berpikir hal lain di luar petualangan ini. Apalagi berpikir membeli oleh-oleh.

Sabang, 45 menit naik kapal cepat dari Banda Aceh. Pulau paling barat Indonesia, diabadikan dalam lagu nasional "Dari Sabang sampai Merauke".
Akhir kata, terima kasih kepada yang tidak meminta oleh-oleh kepadaku ketika aku bepergian. Terima kasih juga kepada yang meminta oleh-oleh tapi tidak aku penuhi. Karena kalianlah, tulisan ini ada sebagai responnya.

0 komentar:

Post a Comment