Janji yang Terhutang

, , 10 comments
“Oke, jadi pilihan pertama nanti mau kuliah dimana, dek?”
“Tentu UI, mbak! Universitas Indonesiaahh!”
“Bagus. Lalu ke dua? Ke tiga?”
Adik sepupuku yang saat itu duduk di bangku kelas 3 SMA (atau kelas XII) lalu menyebutkan beberapa jurusan dan universitas lain sebagai alternatif untuk kuliah. Sejatinya aku sudah lupa apa saja itu, saking kurang familiarnya nama jurusannya di telingaku. Biasa, tipe-tipe anak muda antimainstream.


Kami berkirim kabar melalui Whatsapp.

“Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan?” tantangku kepadanya.
“Siapa takut? Apa itu, mbak?” balas DR (baca: de-er), panggilan sepupuku yang bernama asli Berlian Triatma.
“Sampeyan belajar yang sungguh-sungguh, dan kalau berhasil masuk kuliah ke jurusan pilihan pertama di jalur SNMPTN umum alias jalur yang paling murah, merakyat, nasionalis, dan proletar, aku akan mbayari sampeyan traveling ke Indonesia bagian manapun yang sampeyan pengen!”
“Hah, serius?!” agaknya dia juga kaget dan terlampau senang.
“Serius pol. Insya Allah.”
“Okeh. Challenge accepted!”
Noted!”

Whatsapp berikutnya kami malah ngobrol soal jalan-jalan. Dia sebetulnya pengen banget ke Raja Ampat, yang mana harus terpaksa kubilang bahwa mungkin belum bisa kali ini kalau ke Raja Ampat. Duitnya terlalu besar, hahaha. Ada yang bilang sih bisa mencapai 10 juta rupiah untuk mencapai sana. Benarkah? Bahkan menurut buku yang kubaca, Trinity (traveler, blogger) dan teman-temannya rela merogoh kocek 200 juta rupiah untuk menyewa cruise selama di Raja Ampat. Cruise, beberapa hari, dengan fasilitas menjanjikan, tentu saja mahal. Tapi memang overall, orang-orang bilang ke Raja Ampat itu mahal!

Aku bilang, kenapa tidak sekalian pengen ke luar negeri? Tiket pesawat ke luar negeri ketika sedang promo bahkan bisa jauh lebih murah daripada tiket domestik ke wilayah-wilayah Indonesia. Tapi DR bilang, dia ingin menjelajahi Indonesia, dan bukan naik pesawat!

Wow, aku kaget. Sebagai seorang yang sudah memasuki masa dewasa (setengah tua), rasanya aku tak mampu membayangkan jika bepergian jarak jauh tidak menggunakan pesawat. Segala kelebihan moda pesawat (waktu tempuh, kenyamanan, pemandangan langit), sepertinya sudah membuaiku. Apalagi aku sudah setahunan tidak pernah naik bus, kereta, atau angkot. Tapi ternyata berbeda dengan jiwa-jiwa muda yang sedang menggelora seperti DR ini.

“Justru kenikmatan traveling itu saat di perjalanannya, mbak. Okelah jika melihat objek wisata tetaplah sesuatu yang menarik, tapi bukankah tujuan perjalanan adalah saat-saat meresapi ber”jalan” itu sendiri? Tidak buru-buru, tidak juga berlambat-lambat. Di jalan kita bisa menikmati banyak hal, merenungi setiap detik hidup kita, dan mencari makna akan apa yang sebenarnya kita tuju”, balas DR mantab.

Benar juga, ya? Mungkin selama ini sebenarnya aku masih gamang untuk merasakan ketidaknyamanan lagi, misal dengan menaiki bus tanpa AC, mencium bau muntah penumpang sebelah, aroma minyak angin yang semerbak membuat mual, berdesakan dengan puluhan penumpang di kereta ataupun bus jika dalam kondisi penuh, ataupun berada di bawah ketiak bapak-bapak yang sungguh aduhai rupa dan baunya. Padahal ketika dulu aku masih kuliah dan berada di Surabaya, selama 6 tahun, aku baik-baik saja mengalami itu semua. Oke, antara baik-baik saja dan terpaksa memang beda tipis.

Selepas kuliah dan sering diajak rekan jalan-jalan sambil kerja ke luar pulau, kenyamanan hidupku mulai pelan-pelan terbentuk. Kemana-mana naik pesawat, makan terjamin, tidur di hotel (walau hotel dengan beragam bintang, dan pernah juga di wisma). Aku sering terpikir spontan, bahwa sebetulnya aku masih bisa survive kok dengan gaya hidup yang lebih sederhana daripada itu. Pergi naik kendaraan darat (lagi), atau naik kapal laut mungkin, naik feri, kapal kayu, tidur di wisma yang lebih sederhana (walaupun kalau sprei dan kamar mandinya kotor, aku juga enggan sih, hehe), makan makanan murah yang penting bergizi, dan lain-lain.

Dalam lamunan, karena telah khatam 7 seri buku The Naked Traveler karya Trinity, aku sering membayangkan. Bagaimana seandainya aku benar-benar menjadi backpacker (dan bukan koper-er yang kemana-mana menenteng koper seperti selama ini aku pergi), menjelajah keliling dunia bersama seorang teman dan bukan berombongan ramai-ramai, tidur di hostel yang sekamar isi empat hingga delapan traveler dari berbagai penjuru dunia, lalu merasakan segala kesenangan sekaligus penderitaan selama perjalanan, makan seadanya demi mengirit budget, tersasar, tidak bisa bahasa setempat, dan seterusnya. Sepertinya ngeri-ngeri sedap.

Okay DR, keep my promise!” pungkasku serius.
Surely I will!” jawab DR tak kalah serius.
Let it be our secret till its time to share?
Let it be our secret. Just two of us.
Remember, ONLY IF YOU’RE ACCEPTED AT YOUR FIRST CHOICE AT SNMPTN. Not the second nor the other choices. What’s that?” ulangku memastikan dia benar-benar mengerti apa itu belajar, berjuang, dan berdoa. Fokusku simpel, itu adalah jalur masuk PTN yang termurah.
Yes. ANTROPOLOGY, UNIVERSITAS INDONESIA!”
Go get your dream. I will pray for you, too.

***

Bulan berganti, dan sepertinya Tuhan memerintahkan malaikat untuk menagih janjiku pada DR. Dengan segala macam ujian masuk kuliah yang ia ikuti, akhirnya ia diterima, persis di jurusan dan kampus idamannya. Antropologi UI!


Dengan semangat 45, ia memberitakan soal lulusannya kepadaku melalui Whatsapp. Aku sempat terkejut juga, bahwa memang pilihannya pas dan sesuai target. Seperti yang kalian tahu, memilih jurusan kuliah itu susah-susah gampang. Mempertimbangkan antara minat pribadi, prospek lulusan dalam dunia kerja, restu orangtua, biaya, jarak dengan rumah, dan kejelian dalam melihat seberapa besar kemampuan kita – seberapa besar peluang yang ada – yang biasanya dinyatakan dalam angka passing grade.

Kata pertama yang kuucap tentu “alhamdulillah”.
Kata kedua, “Jiambu! Dari mana aku dapat duit buat mbiayai DR keliling Indonesia? Mampus!”

Tapi tentu demi memenuhi janji yang terhutang, aku bilang, “Insya Allah. Bukan sekarang ya dek, insya Allah nanti kalau kamu libur kuliah”. Jawaban diplomatis. Toh tak lama setelah kabar itu, ia harus segera ke Jakarta untuk daftar ulang dan ospek. Ahay!

Untungnya, aku selalu menyertakan pertimbangan-pertimbangan logis sebelum mengambil keputusan. Mengapa tawaran ini kuberikan kepada DR, dan bukan kepada sepupu atau siapapun orang lain sebelumnya? Karena kok ndilalah, momen DR lulus SMA dan masuk kuliah ini ketika posisiku sudah bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Tidak berlebih, dan cukup, jika memang yakin Allah Maha Mencukupkan. Dalam psikologi, reward haruslah sesuatu yang memiliki value bagi calon penerima. Dan sekiranya, aku tahu bahwa traveling memiliki value yang tinggi di mata DR. Cocok.

***

“Kalau boleh tahu, akan dipakai untuk apa mbak dananya nanti?” kata customer service cantik sebuah bank.
“Traveling, mbak!” kataku sok pede.
“Oya? Kemana mbak?” sahut CS.
“Ke luar negeri”, jawabku, lagi-lagi sok pede.
Dalam hati, “Ini utang janji gue ke sepupu gue, mbak. Ah, elu pasti nggak paham.”

Aku membuka Tabungan Rencana di bank yang biasa kugunakan fasilitasnya. Aku merencanakan akan menabung berapa rupiah setiap bulan, akan di-debet otomatis dari rekeningku setiap tanggal berapa, dan dananya akan dicairkan atau di-kredit otomatis ke rekeningku kembali tanggal dan tahun berapa. Tanda tangan, beres satu urusan.


***

Aku nggak bisa bilang dananya sebesar berapa, DR. Tapi yang jelas, tahun 2014, dengan dana sekian, temanku berhasil backpacking ke Singapura – Malaysia – Singapura selama 5 hari 4 malam. Tentu dengan hunting promo tiket pesawat setahun sebelumnya, hunting hostel murah, dan mengirit ini itu. Tapi bukankah itu letak tantangannya?

Ah, tapi sampeyan pengen ke Indonesia aja ya? Naik sepur? Naik bus? Sah-sah aja.
Tapi, bukannya lebih enak ke luar negeri sekalian ya? Bikin paspor murah kok, cuma 250-300 ribu an.
Kalau bisa sih jangan ke Singapura dan Malaysia yang mainstream, walau aku belum pernah kesana juga, hehe. Ke Filipina kek, Vietnam kek, Laos kek, Kamboja kek, Brunei Darussalam kek. Bebas visa semua. #kompor

Selamat merencanakan perjalanan dengan baik, DR. Masih ada waktu 1 tahun ke depan jangka waktu menabungku. Semoga sudah bisa menentukan kemana, itinerary yang lengkap, jadwal libur kuliah, belajar hunting dan booking hostel murah, dan kalau memang ke luar negeri, jangan lupa bikin paspor kalau sedang pulang kampung ke Malang.
Aku manut, pokoke aku melu! :)))

Pokoke nyuwun donga dek, muga-muga mbakmu iki sehat terus, rejekine lancar lan barokah. Barokah kuwi jare urip ayem tentrem, mesthi krasa cukup sakabehe. Yen duit dingge tuku bensin, isa ngeterne nyang panggonan sing apik. Yen dingge mangan, isa marai sehat. Yen dingge tuku buku, ilmune isa manfaat kangge umat. Aamiin.

10 comments:

  1. Keren Mbak Pety...
    Sangat menginspirasi..
    Sangat menginspirasi untuk bayar hutangku yg masih ada, maksudnya. Hahaha..

    ReplyDelete
    Replies
    1. hambok ndang kono dibayar, haha...
      aku ra ruh lek kono duwe utang lho yo

      Delete
  2. HAHAHAHA sampeyan gak berhutang apa-apa kok, Mbak. Semuanya sudah dibayar lunas sama Gusti Allah. Konsekuensi menjadi mahasiswa Antropologi itu harus siap jalan-jalan keliling Indonesia, bahkan nanti ada satu semester khusus untuk penelitian di daerah-daerah.

    Aku jadi ingat setelah bapak nggak ada, Pak Mim pernah janji kalau rata-rata ujian nasionalku 9 bakal dikasih satu juta buat jalan-jalan. Dan kesampaian :)))
    Tapi bagiku, hadiah bukanlah yang aku cari. Yang membuatku bahagia adalah bagaimana saudara-saudaraku menginginkan aku berhasil, sampai-sampai menjanjikan sesuatu agar aku terus termotivasi. Itu adalah bentuk perhatian dan semangat.

    Untung ini bukan janji politik, sehingga ditepati atau tidak aku akan selalu jadi simpatisan dan pendukungmu. Dan iya, aku yakin Mbak Pety uangnya akan banyak, hidupnya akan sejahtera, dan sehat selalu. Kenapa begitu ? karena kudoakan begitu :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. aamiin... dan seperti kata ibu Malang, kita saling mendoakan, saling menyemangati, bukan karena ada balas budi, tapi karena cinta.
      orangtua-anak, sesama saudara, semua saling cinta. insya Allah sampai surga.

      tapi yang ini gue ciyus boy, mari jalan-jalan berdua keliling dunia di 2017! haha... aamiin ya Allah.

      Delete
  3. “Justru kenikmatan traveling itu saat di perjalanannya, mbak. Okelah jika melihat objek wisata tetaplah sesuatu yang menarik, tapi bukankah tujuan perjalanan adalah saat-saat meresapi ber”jalan” itu sendiri? Tidak buru-buru, tidak juga berlambat-lambat. Di jalan kita bisa menikmati banyak hal, merenungi setiap detik hidup kita, dan mencari makna akan apa yang sebenarnya kita tuju”, balas DR mantab.

    DR filosofis sekali. Cocok masuk Fisipol UI. Selamat ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. hai mas Galiiiiiihhh... lama tak bersua di blog yaaa, hehe.
      iyo mas, filosofis, seneng omong, pinter argumen, makane pengen cocok banget di Fisip mas, haha...

      Delete
  4. Wahh aku setuju sama keponakannya, ngetrip itu esensinya ada di jalannya, banyak yang bisa "dilihat" dari sana, tiap kelas dan jenis moda transportasi beda-beda rasanya.. harus dicobain Mbak..

    btw kok aku gak bisa komen pake akun WPku yah...

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha iyaa.. kan kamu pernah pergi bandung-surabaya naik kereta ya? trus ke malang, muter-muter sendiri sewa sepeda motor? yahuuuud.
      iya nih, aku perlu jalan-jalan darat lagi mestinya ya, biar awet muda.

      WP mu udah usang kali kang, hihi..

      Delete
  5. waduh jian tenan, menurutku ini sebuah pengorbanan yang luar biasa, bukan untuk diri sendiri tapi untuk kesuksesan orang di luar diri sendiri.. luar biasa dan salut, semoga rejeki melimpah barokah.. aamiin..

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehe idene mak sliwer, mas.
      aamiin aamiin ya Robbal 'aalamiin :) matur nuwun donganipun

      Delete