Asalamu'alaikum
Tepatnya tanggal 15 Februari 2013 kemarin, sekitar jam 4 sore, aku mengalami sebuah insidenkecil yang membuatku harus masuk ke IGD (Instalasi Gawat Darurat).
Ceritanya nih, waktu itu kami sekeluarga sedang dalam perjalanan pulang dari Purworejo, Jawa Tengah, menuju Surabaya. Kami menghadiri pernikahan sepupuku tercinta, dek Gema (@gmasakti) dengan istrinya, dek Wiwit (@misswiwiet). Dari Purworejo menuju Surabaya, kami melewati Yogyakarta alias Jogja, dan sempat membeli Bakpia Kurnia Sari (menurut tanteku, yang katanya temannya, bakpia ini lebih enak daripada bakpia-bakpia lainnya). Entah apa iya apa enggak, menurutku bakpia yang masih empuk dan nggak basi itu enak semua *dikeplak*. Tapi emang rasanya agak beda sih ya. Waktu itu kami beli yang rasa keju dan kumbu hitam (kayaknya semacam kacang hitam gitu lah ya). Letak toko Bakpia Kurnia Sari ini ada di daerah Ring Road Utara, di kompleks ruko yang ada School of Rock-nya Ahmad Dhani. Sempet muter-muter balik karena bingung dengan arahan dari telepon teman tanteku. Fufufuuu...
Oke fokus, jadi ini cerita tentang bakpia atau tentang insidennya sih?!?!
Sekitar jam 15.30, mobil rombongan kami yang menuju Surabaya (rombongan lain ada yang menuju Kediri dan Malang) berhenti di salah 1 SPBU di Surakarta alias Solo. Kami shalat Ashar (jama' dengan Dhuhur), lalu dua tanteku ada ganti baju, biar lebih santai. Karena sebelumnya pada pake batik dan kebaya. Kebetulan sih aku pake gamis yang lebar (dan gak bawa baju ganti, karena aku berangkatnya dari Malang, udah kehabisan baju), jadi aku gak ikutan ganti #halah. Dua tanteku setelah ganti baju, perlu memasukkan kebayanya ke tas besarnya yang diletakkan di bagasi. Karena mobilnya adalah Xenia, tau donk kalau bagasinya gak lebar. Adanya hanya space memanjang ke samping dan ke atas. Karena penuh, untuk menutup bagasinya, perlu bantuan orang di kursi belakang untuk memegangi beberapa tas tersebut, agar tidak jatuh berserakan saat bagasi akan ditutup. Eh bisa kebayang kan ya? Takutnya mbulet nih cerita, hehe.
Tanteku yang memegang dua tas besar kami dari jok belakang, kemudian ada om-ku yang menutup bagasi dari luar belakang. Aku juga lagi di luar, di sebelah om-ku. Percobaan pertama menutup bagasi, kok kurang rapet. Nah diulangi lagi deh. Bagasi dibuka. Tanteku udah gak megangin tas lagi tangannya. Otomatis aku yang bener-benerin tas-tas itu biar cukup untuk ditutup nanti.
JENGGG JENGGG JENGGG!!!
Disinilah ujian hidupku bermula! Deziggg!!!
Ketika tanganku masih di dalem bagasi sebelah kiri, om-ku ternyata gak tau kalau tanganku masih nangkring disana. Dengan sepenuh hati, beliau menutup pintu bagasi dengan lebih keras daripada percobaan pertama tadi. Jedaarrr!!!! Eh salah, kok bunyi petir?
Braaakkkk!!!!
Punggung tanganku dengan suksesnya kejepit pintu bagasi. Sebagai wanita yang dewasa dan gak suka ber-drama *ditoyor*, aku seketika cuma bisa megap-megap sambil sebisa mungkin menengok ke om-ku sambil bilang, "Ta...ta...tangan...tanganku. I...iniii... Kej...kej...kejepit!"
"Hah?? Kok bisa??" seru om-ku sambil buru-buru membuka kembali pintu bagasi yang menyebabkan beberapa tas jatuh lagi.
Aku gak bisa nangis, aku gak bisa teriak. Aku refleks langsung jongkok di bawah. Tanganku seketika rasanya cenut-cenut. Aku cuma bisa mendesis, "sssh...sshh..", sambil menenggelamkan wajah ke ketekku. Nggak bisa nangis. Waktu itu aku masih pake high heels lagi. Padahal aku orang yang gak betahan kalo pake hak tinggi. Huhuhu...
Tante-tanteku langsung nyamperin aku. Aku cuma bisa cerita sedikit sambil menunjukkan tanganku. Lukanya cuma 2 sentimeter, darahnya juga beku disitu, gak ngalir keluar-keluar. Sekitarnya agak sedikit bengkak. Sebelum berdiri, aku nengok ke belakang, ternyata dua mas-mas petugas SPBU lagi ngeliatin aku dengan tatapan iba. Agak tengsin juga. Setelah berdiri, tanteku ngasih minyak oles, merknya Bokashi. Hehehe pada familiar nggak ya kalian sama minyak ini? Kalo ibuku sih di rumah udah lama pake minyak itu, untuk berbagai penggunaan bisa.
Ya sudahlah, itu pertolongan pertama. Adanya cuma itu. Nah, justru waktu dioles itu, aku mulai nangis deh. Pertama, karena rasa sakitnya semakin hebat, yang kedua, aku sambil nelangsa yang cukup dalam #ta'elaaah. Kenapa? Soalnya waktu itu kan Jumat, nah Selasa minggu depannya itu, aku mau ada psikotes, yang mana semuanya nulis pake tangan (bukan komputer). Sebagai orang yang tidak kidal dan tanganku yang aktif adalah tangan kanan, wajar kan kalau aku merasa: "Ya Tuhan, bagaimana aku bisa nulis kalau kondisi tanganku seperti ini? Berapa lama tanganku akan sembuh dan normal seperti sedia kala?" <-- drama="" p="" sedikit="" ternyata.="">
Kekhawatiranku justru karena luka luarnya tidak terlalu tampak, tapi terasa sakit sekali, aku menduga ada luka dalam. Entah retak atau malah patah tulang. Hiks hiks...
Akhirnya kami sepakat untuk membawaku ke rumah sakit terdekat dari SPBU tersebut dan minta di-rontgen. Aku sih iya-iya aja, karena khawatir juga ada sesuatu yang gak ketahuan dan malah berakibat fatal. Di RS pertama yang kami lewati, mobil terlanjur ambil lajur kanan dan nggak mungkin menikung langsung ke kiri jalan. Akhirnya kami lurus. Air mataku sudah kering #tsah. Syukurlah hanya beberapa ratus meter dari situ, ada RS. Setelah kami memasuki gerbangnya, ternyata tulisannya RS Ortopedi Prof. DR. R. Soeharso Surakarta. Wah, pas bener nemu RS orthopedi. Rasa senengnya kayak lagi menemukan jodoh *dilempar upil*
Udah deh, langsung menuju IGD (Instalasi Gawat Darurat), aku disuruh duduk di kursi roda di salah satu bilik IGD nya, sementara tante-tanteku mendaftarkanku di resepsionis. Sempet salah nama sih waktu tanteku mendaftarkan. Depannya bener "Fatma", tapi belakangnya "Purisari", yang mana itu nama mbakku. Ya maklum lah, hehe.
Aku bilang ke susternya, "Eh nggak usah pake kursi roda mbak, saya bisa jalan kok. Nih, kan yang sakit tangan saya", yang kemudian dijawab susternya, "Udah nggak papa mbak, ayo sini".
Mungkin udah prosedur IGD kali ya, kalo ada pasien dateng, kalo nggak dibawa ke ruang dalam pake kursi roda, ya pake tempat tidur beroda. Eh jadi kepikiran, harusnya kemarin kan aku minta pake kasur beroda aja ya, biar bisa tiduran *kemudian disuntik rabies*.
Yawislah, karena aku juga udah capek jalan pake hak tinggi itu (nggak bawa sandal lagi bo'), aku didorong susternya menuju ke dalam, ke salah 1 bilik (yang lain lagi). Sempet heran, kenapa gak ada kasurnya? Kan akuh pengen diperiksa sambil tiduran. Yaelaaah. Waktu menunjukkan jam 16.45-an saat aku masuk ke bilik itu. Nggak lama kemudian, ada suster yang tanya-tanya, bagaimana kejadiannya, kapan, sudah dikasih pertolongan pertama apa. Kemudian ganti suster cowok (eh suster cowok istilahnya apaan?), dan tanya kurang lebih hal yang sama. Gak lama kemudian, datang dokter cowok, mestinya sih dokter spesialis tulang ya, pake jas putih (yang dulu waktu aku kecil pengen banget pakenya -curcol-), dan pake sandal jepit. Ah entahlah, kok ya pake sandal jepit to pak dokter, kan kesannya kurang menghargai para pasien yang datang. Heuheu. Dokter itu (lagi-lagi) menanyakan hal yang kurang lebih sama. Aku menjawab bahwa punggung tanganku kejepit pintu bagasi, kejadiannya baru sekitar 10 menit yang lalu, dan hanya diberi obat oles.
Sambil dipegang-pegang tanganku, dia menekan-nekan punggung tanganku. "Yang ini sakit? Kalau ini? Jari-jarinya bisa digerakkan? Coba ini ditekuk! Kalau gini sakit nggak? Oke, masih bisa ditekuk ya jari-jarinya walau nggak bisa menggenggam?", dan seterusnya. Jadi waktu itu, yang terasa paling sakit adalah atas pergelangan tangan kananku. Sedangkan di sekitarnya, sampai seperempat lengan bawahku, prediksiku adalah karena efek sakit yang menyebar dari sumber sakit itu.
Kemudian kami sepakat untuk melakukan rontgen. Aku dibawa ke ruangan sebelah. Sudah ada ibu-ibu administrator disitu. Ini hasilnya (maap jelek, aku memfotonya dengan menerawang di balik jendela, hehe).
Waktu ada dua pose untuk foto tanganku *yakali sebutannya begitu*. Pertama, talapak tangan membuka biasa. Kedua, jari jempol dan telunjuk disatukan. Dan sampe sekarang aku nggak tau apa alasannya begitu. Mungkin buat melihat dari sisi sampingnya dikit kali ya. Iya-in aja lah.
Sebagai orang yang kepo dan sotoy, aku melihat bagaimana proses admin tersebut memindai foto di komputer, kemudian membuka sebuah program entah apa, yang kalau awamnya tuh kayak Photosop gitu, dipas-pasin, trus langsung di-print. Melihat gak ada sesuatu yang janggal, aku langsung tanya, "Bu, itu nggak papa kan ya tangan saya?". Si admin menjawab, "Iyaaa nggak papa kok". Syukurlah. Aku lega.
Setelah keluar ruang rontgen, si dokter yang pake sandal jepit tadi melihat hasil rontgen-nya di bilik sebelah yang ada lampu dan alat lain entah apa. Setelah diterawang, dokter juga sepakat bahwa tidak ada retak maupun patah di daerah itu. Menurut susternya, kalau misal ada retak aja, biasanya daerah tersebut langsung bengkak. Sedangkan bengkakku hanya sedikit. Kesimpulannya, otot-ototku di punggung tangan hanya mengalami memar. Dan itu wajar, karena terkena benturan atau tekanan yang keras dari luar.
Dokter menuliskan resep, yaitu obat anti nyeri aja. Aku pikir bakal dikasih obat luar apa gitu, ternyata enggak. Satu lagi obatnya namanya Ranitidin, itu diminum sebelum makan. Kata saudaraku yang pernah minum juga, ternyata itu istilahnya untuk menetralisisr atau mencegah terjadinya efek obat terhadap lambung. Rasanya memang agak mint gitu sih, hampir mirip Promag. Tolong dibenerin ya kalo info ini salah mengenai fungsi obatnya. Selain itu juga beli perban juga, eh apa sih namanya untuk perban berwarna coklat kayak di bawah ini? Fungsinya agar tanganku nggak banyak gerak dulu. Tapi katanya boleh dilepas-lepas, artinya nggak harus dipake selama berapa hari berturut-turut gitu. Oya, satu hal yang sampe sekarang belum aku lakukan adalah mengompres tanganku pake handuk dingin, hehe. Soalnya di jalan juga bakal ribet kalo pake ngompres segala *ah alesan*.
Dan sampe sekarang sih kondisinya masih belum pulih 100%. Ketika rasa sakitnya sudah jauh menurun, aku hentikan minum obatnya, belum sampai habis. Eh gak papa kan ya resep dokter nggak dihabiskan? Soalnya pikirku, itu kan bukan antibiotik, jadi gak papa gitu gak dihabiskan.
Oya, alhamdulillah hari Selasa depannya itu, aku udah bisa nulis dengan normal. Cuma kalau ditekan di bagian atas pergelangan itu, masih agak sakit. Sempet juga agak kebas rasa, jadi agak gak kerasa kalau disentuh kulitnya. Sekarang pun, kayak masih ada semacam benjolan gitu (gak keliatan dari luar, tapi kalau diraba terasa), yang aku asumsikan sebagai otot yang masih memar/ bengkak. Mungkin maksimal 1 bulan lagi lah ya, semoga udah bener-bener bisa normal seperti sedia kala. Amiinn. Mohon doanya ya... :*
Pesan moralnya sih cuma satu: Berhati-hatilah ketika akan menutup pintu bagasi mobil, atau pintu-pintu lainnya :p
Wassalamu'alaikum
-->
Tepatnya tanggal 15 Februari 2013 kemarin, sekitar jam 4 sore, aku mengalami sebuah insiden
Ceritanya nih, waktu itu kami sekeluarga sedang dalam perjalanan pulang dari Purworejo, Jawa Tengah, menuju Surabaya. Kami menghadiri pernikahan sepupuku tercinta, dek Gema (@gmasakti) dengan istrinya, dek Wiwit (@misswiwiet). Dari Purworejo menuju Surabaya, kami melewati Yogyakarta alias Jogja, dan sempat membeli Bakpia Kurnia Sari (menurut tanteku, yang katanya temannya, bakpia ini lebih enak daripada bakpia-bakpia lainnya). Entah apa iya apa enggak, menurutku bakpia yang masih empuk dan nggak basi itu enak semua *dikeplak*. Tapi emang rasanya agak beda sih ya. Waktu itu kami beli yang rasa keju dan kumbu hitam (kayaknya semacam kacang hitam gitu lah ya). Letak toko Bakpia Kurnia Sari ini ada di daerah Ring Road Utara, di kompleks ruko yang ada School of Rock-nya Ahmad Dhani. Sempet muter-muter balik karena bingung dengan arahan dari telepon teman tanteku. Fufufuuu...
Oke fokus, jadi ini cerita tentang bakpia atau tentang insidennya sih?!?!
Sekitar jam 15.30, mobil rombongan kami yang menuju Surabaya (rombongan lain ada yang menuju Kediri dan Malang) berhenti di salah 1 SPBU di Surakarta alias Solo. Kami shalat Ashar (jama' dengan Dhuhur), lalu dua tanteku ada ganti baju, biar lebih santai. Karena sebelumnya pada pake batik dan kebaya. Kebetulan sih aku pake gamis yang lebar (dan gak bawa baju ganti, karena aku berangkatnya dari Malang, udah kehabisan baju), jadi aku gak ikutan ganti #halah. Dua tanteku setelah ganti baju, perlu memasukkan kebayanya ke tas besarnya yang diletakkan di bagasi. Karena mobilnya adalah Xenia, tau donk kalau bagasinya gak lebar. Adanya hanya space memanjang ke samping dan ke atas. Karena penuh, untuk menutup bagasinya, perlu bantuan orang di kursi belakang untuk memegangi beberapa tas tersebut, agar tidak jatuh berserakan saat bagasi akan ditutup. Eh bisa kebayang kan ya? Takutnya mbulet nih cerita, hehe.
Tanteku yang memegang dua tas besar kami dari jok belakang, kemudian ada om-ku yang menutup bagasi dari luar belakang. Aku juga lagi di luar, di sebelah om-ku. Percobaan pertama menutup bagasi, kok kurang rapet. Nah diulangi lagi deh. Bagasi dibuka. Tanteku udah gak megangin tas lagi tangannya. Otomatis aku yang bener-benerin tas-tas itu biar cukup untuk ditutup nanti.
JENGGG JENGGG JENGGG!!!
Disinilah ujian hidupku bermula! Deziggg!!!
Ketika tanganku masih di dalem bagasi sebelah kiri, om-ku ternyata gak tau kalau tanganku masih nangkring disana. Dengan sepenuh hati, beliau menutup pintu bagasi dengan lebih keras daripada percobaan pertama tadi. Jedaarrr!!!! Eh salah, kok bunyi petir?
Braaakkkk!!!!
Punggung tanganku dengan suksesnya kejepit pintu bagasi. Sebagai wanita yang dewasa dan gak suka ber-drama *ditoyor*, aku seketika cuma bisa megap-megap sambil sebisa mungkin menengok ke om-ku sambil bilang, "Ta...ta...tangan...tanganku. I...iniii... Kej...kej...kejepit!"
"Hah?? Kok bisa??" seru om-ku sambil buru-buru membuka kembali pintu bagasi yang menyebabkan beberapa tas jatuh lagi.
Aku gak bisa nangis, aku gak bisa teriak. Aku refleks langsung jongkok di bawah. Tanganku seketika rasanya cenut-cenut. Aku cuma bisa mendesis, "sssh...sshh..", sambil menenggelamkan wajah ke ketekku. Nggak bisa nangis. Waktu itu aku masih pake high heels lagi. Padahal aku orang yang gak betahan kalo pake hak tinggi. Huhuhu...
Tante-tanteku langsung nyamperin aku. Aku cuma bisa cerita sedikit sambil menunjukkan tanganku. Lukanya cuma 2 sentimeter, darahnya juga beku disitu, gak ngalir keluar-keluar. Sekitarnya agak sedikit bengkak. Sebelum berdiri, aku nengok ke belakang, ternyata dua mas-mas petugas SPBU lagi ngeliatin aku dengan tatapan iba. Agak tengsin juga. Setelah berdiri, tanteku ngasih minyak oles, merknya Bokashi. Hehehe pada familiar nggak ya kalian sama minyak ini? Kalo ibuku sih di rumah udah lama pake minyak itu, untuk berbagai penggunaan bisa.
Ya sudahlah, itu pertolongan pertama. Adanya cuma itu. Nah, justru waktu dioles itu, aku mulai nangis deh. Pertama, karena rasa sakitnya semakin hebat, yang kedua, aku sambil nelangsa yang cukup dalam #ta'elaaah. Kenapa? Soalnya waktu itu kan Jumat, nah Selasa minggu depannya itu, aku mau ada psikotes, yang mana semuanya nulis pake tangan (bukan komputer). Sebagai orang yang tidak kidal dan tanganku yang aktif adalah tangan kanan, wajar kan kalau aku merasa: "Ya Tuhan, bagaimana aku bisa nulis kalau kondisi tanganku seperti ini? Berapa lama tanganku akan sembuh dan normal seperti sedia kala?" <-- drama="" p="" sedikit="" ternyata.="">
Kekhawatiranku justru karena luka luarnya tidak terlalu tampak, tapi terasa sakit sekali, aku menduga ada luka dalam. Entah retak atau malah patah tulang. Hiks hiks...
Akhirnya kami sepakat untuk membawaku ke rumah sakit terdekat dari SPBU tersebut dan minta di-rontgen. Aku sih iya-iya aja, karena khawatir juga ada sesuatu yang gak ketahuan dan malah berakibat fatal. Di RS pertama yang kami lewati, mobil terlanjur ambil lajur kanan dan nggak mungkin menikung langsung ke kiri jalan. Akhirnya kami lurus. Air mataku sudah kering #tsah. Syukurlah hanya beberapa ratus meter dari situ, ada RS. Setelah kami memasuki gerbangnya, ternyata tulisannya RS Ortopedi Prof. DR. R. Soeharso Surakarta. Wah, pas bener nemu RS orthopedi. Rasa senengnya kayak lagi menemukan jodoh *dilempar upil*
Udah deh, langsung menuju IGD (Instalasi Gawat Darurat), aku disuruh duduk di kursi roda di salah satu bilik IGD nya, sementara tante-tanteku mendaftarkanku di resepsionis. Sempet salah nama sih waktu tanteku mendaftarkan. Depannya bener "Fatma", tapi belakangnya "Purisari", yang mana itu nama mbakku. Ya maklum lah, hehe.
Aku bilang ke susternya, "Eh nggak usah pake kursi roda mbak, saya bisa jalan kok. Nih, kan yang sakit tangan saya", yang kemudian dijawab susternya, "Udah nggak papa mbak, ayo sini".
Mungkin udah prosedur IGD kali ya, kalo ada pasien dateng, kalo nggak dibawa ke ruang dalam pake kursi roda, ya pake tempat tidur beroda. Eh jadi kepikiran, harusnya kemarin kan aku minta pake kasur beroda aja ya, biar bisa tiduran *kemudian disuntik rabies*.
Yawislah, karena aku juga udah capek jalan pake hak tinggi itu (nggak bawa sandal lagi bo'), aku didorong susternya menuju ke dalam, ke salah 1 bilik (yang lain lagi). Sempet heran, kenapa gak ada kasurnya? Kan akuh pengen diperiksa sambil tiduran. Yaelaaah. Waktu menunjukkan jam 16.45-an saat aku masuk ke bilik itu. Nggak lama kemudian, ada suster yang tanya-tanya, bagaimana kejadiannya, kapan, sudah dikasih pertolongan pertama apa. Kemudian ganti suster cowok (eh suster cowok istilahnya apaan?), dan tanya kurang lebih hal yang sama. Gak lama kemudian, datang dokter cowok, mestinya sih dokter spesialis tulang ya, pake jas putih (yang dulu waktu aku kecil pengen banget pakenya -curcol-), dan pake sandal jepit. Ah entahlah, kok ya pake sandal jepit to pak dokter, kan kesannya kurang menghargai para pasien yang datang. Heuheu. Dokter itu (lagi-lagi) menanyakan hal yang kurang lebih sama. Aku menjawab bahwa punggung tanganku kejepit pintu bagasi, kejadiannya baru sekitar 10 menit yang lalu, dan hanya diberi obat oles.
Sambil dipegang-pegang tanganku, dia menekan-nekan punggung tanganku. "Yang ini sakit? Kalau ini? Jari-jarinya bisa digerakkan? Coba ini ditekuk! Kalau gini sakit nggak? Oke, masih bisa ditekuk ya jari-jarinya walau nggak bisa menggenggam?", dan seterusnya. Jadi waktu itu, yang terasa paling sakit adalah atas pergelangan tangan kananku. Sedangkan di sekitarnya, sampai seperempat lengan bawahku, prediksiku adalah karena efek sakit yang menyebar dari sumber sakit itu.
Kemudian kami sepakat untuk melakukan rontgen. Aku dibawa ke ruangan sebelah. Sudah ada ibu-ibu administrator disitu. Ini hasilnya (maap jelek, aku memfotonya dengan menerawang di balik jendela, hehe).
Waktu ada dua pose untuk foto tanganku *yakali sebutannya begitu*. Pertama, talapak tangan membuka biasa. Kedua, jari jempol dan telunjuk disatukan. Dan sampe sekarang aku nggak tau apa alasannya begitu. Mungkin buat melihat dari sisi sampingnya dikit kali ya. Iya-in aja lah.
Sebagai orang yang kepo dan sotoy, aku melihat bagaimana proses admin tersebut memindai foto di komputer, kemudian membuka sebuah program entah apa, yang kalau awamnya tuh kayak Photosop gitu, dipas-pasin, trus langsung di-print. Melihat gak ada sesuatu yang janggal, aku langsung tanya, "Bu, itu nggak papa kan ya tangan saya?". Si admin menjawab, "Iyaaa nggak papa kok". Syukurlah. Aku lega.
Setelah keluar ruang rontgen, si dokter yang pake sandal jepit tadi melihat hasil rontgen-nya di bilik sebelah yang ada lampu dan alat lain entah apa. Setelah diterawang, dokter juga sepakat bahwa tidak ada retak maupun patah di daerah itu. Menurut susternya, kalau misal ada retak aja, biasanya daerah tersebut langsung bengkak. Sedangkan bengkakku hanya sedikit. Kesimpulannya, otot-ototku di punggung tangan hanya mengalami memar. Dan itu wajar, karena terkena benturan atau tekanan yang keras dari luar.
Dokter menuliskan resep, yaitu obat anti nyeri aja. Aku pikir bakal dikasih obat luar apa gitu, ternyata enggak. Satu lagi obatnya namanya Ranitidin, itu diminum sebelum makan. Kata saudaraku yang pernah minum juga, ternyata itu istilahnya untuk menetralisisr atau mencegah terjadinya efek obat terhadap lambung. Rasanya memang agak mint gitu sih, hampir mirip Promag. Tolong dibenerin ya kalo info ini salah mengenai fungsi obatnya. Selain itu juga beli perban juga, eh apa sih namanya untuk perban berwarna coklat kayak di bawah ini? Fungsinya agar tanganku nggak banyak gerak dulu. Tapi katanya boleh dilepas-lepas, artinya nggak harus dipake selama berapa hari berturut-turut gitu. Oya, satu hal yang sampe sekarang belum aku lakukan adalah mengompres tanganku pake handuk dingin, hehe. Soalnya di jalan juga bakal ribet kalo pake ngompres segala *ah alesan*.
Dan sampe sekarang sih kondisinya masih belum pulih 100%. Ketika rasa sakitnya sudah jauh menurun, aku hentikan minum obatnya, belum sampai habis. Eh gak papa kan ya resep dokter nggak dihabiskan? Soalnya pikirku, itu kan bukan antibiotik, jadi gak papa gitu gak dihabiskan.
Oya, alhamdulillah hari Selasa depannya itu, aku udah bisa nulis dengan normal. Cuma kalau ditekan di bagian atas pergelangan itu, masih agak sakit. Sempet juga agak kebas rasa, jadi agak gak kerasa kalau disentuh kulitnya. Sekarang pun, kayak masih ada semacam benjolan gitu (gak keliatan dari luar, tapi kalau diraba terasa), yang aku asumsikan sebagai otot yang masih memar/ bengkak. Mungkin maksimal 1 bulan lagi lah ya, semoga udah bener-bener bisa normal seperti sedia kala. Amiinn. Mohon doanya ya... :*
Pesan moralnya sih cuma satu: Berhati-hatilah ketika akan menutup pintu bagasi mobil, atau pintu-pintu lainnya :p
Wassalamu'alaikum
pasti rasane waktu kejepit: cetar membahana.. hehe..
ReplyDeletewuih sakit sampe tinggi ke awang-awang. Lebih tinggi daripada jambul Syahrini jaman dulu...
Deleteaduh >.< kebayang deh nyerinya tangan itu gimana..
ReplyDeletedalam bayangan mbak Leni, sakitnya kayak apa tuh? :p
Deletewah wah wah pelanggaran berat itu yang nutup pintu bagasi mobilnya :d
ReplyDeletejadi inget jaman SD kelas 1 jentik-ku pernah kejepit pintu sekolahan. haduh sakitnya mintak ampun, sampe cemet, untungnya ndak papa. dan temanku yang menjepitkan tanganku itu ndak berani sekolah selama seminggu, beraninya setelah ortunya datang ke rumahku minta maaf hehehehe... lucu ya :)
waduh, sampe cemet iku lak tulangnya remuk mas -_-
Deletetapi alhamdulillah ya gak papa..
ntar pas anaknya mas Budiono kelas 1 SD aja, suruh gantian balas dendam ke temennya #lho
Sakitnya pasti terpampang nyata :D
ReplyDeleteiyah, cucok deh pokoknya :p
DeleteMakanya aku gak bisa bayangin kalo sampe orang kecelakaan, retak di tempurung lutut itu rasa sakitnya kayak gimana :( :p
wadoh dik petyyy dik pety... koq ya ono-ono wae kejadiannya. untung ga retak ya tulangnya... kesian si om pasti berasa dosa.. (lho koq malah om-nya yg dikasihani hihihi). semoga cepat sembuh seperti sedia kala dan bisa dipakai nutup pintu bagasi mobil, dengan tangan si om sekarang yg kudu dijepit *pembalasan* xixixi ;-p
ReplyDeleteamiiin makasih mbak Nay :*
Deletesebagai wanita berbudi luhur, saya nggak pernah punya pikiran untuk balas dendam ke siapa-siapa mbak #dikeplak :)))
pas ngebaca pintu ditutup dengan kekuatan lebih dari biasanya.. dan tanganmu masih disana... merinding bacanya... semoga cepat sembuh ya.... hati hati lain kali... :)
ReplyDeletelah, saya jadi ikutan merinding lagi mas :))
Deleteamiiin, makasih mas Applaus...
weleh..weleh....
ReplyDeleteuntung masih dapet keberuntungan :D
iya, untungnya ada Pak Untung. Alhamdulillah ya :)
Deletewihhhh.. ngeri juga ya mbakkkk...
ReplyDeletesemoga cepet sembuh mbak... ^^
Hehe begitulah.. Amiin... Makasih dek :)
DeleteSemoga kehamilanmu sehat selalu ya :*
wahhh mbak,, itu gpp kan.. pintu bagasinya.. mudah2an gpp yah.. :")
ReplyDeleteya menurut looo??? :p
DeleteMemang Bakpia Kurnia Sari lebih enak daripada bakpia bernomor (25, 45, 75. 55) pusatnya di JL Glagah Sari Jogja satu blok dari JL Taman Siswa. Tapi katanya ada lagi merek bakpia lain yg juga enak (aku lupa apa namany) nanti kalau inget tak kasih tau. Cobain rasa coklat & kejunya hmmmmmm..Yummmy. oh iya GWS ya :-D
ReplyDeleteiya maaass..
Deletepas ke Jogja kemarin itu, akhirnya kami diantar mbak Uli sama mbak Ikha ke jl. Glagah itu kalo gak salah ;) Aku beli yang keju sama kacang hijau.
Muucih, udah okeh lagi kok tanganku, hehe