(Tak Pernah Ada) Pernikahan Ke-dua

, , 13 comments
Assalamu'alaikum
Posting ini merupakan lanjutan dari posting sebelumnya yang berjudul Ungkapan Sederhana buat Ibuku.

**
Beberapa lama setelah bapakku meninggal
Sekitar sepuluh tahun yang lalu
Dua orang lelaki berkunjung ke rumah kami, malam hari
Aku tahu mereka, mereka berdua adalah teman-teman kantor ibuku
Mereka baik, kadang membelikan aku dan mbakku makanan
Atau buah tangan lainnya :)

Mereka sudah beberapa kali main ke rumah kami
Aku sih oke-oke saja
Mereka baik, tak pernah bicara yang tidak sopan, tak pernah kurang ajar kepada ibuku, mbakku, maupun aku, yang notabene perempuan semua di rumah itu
Belakangan aku tahu bahwa salah satu dari mereka adalah “mantan teman dekat” ibuku
Jauh sebelum ibuku menikah dengan bapakku


Suatu malam,
Seperti biasa aku dan mbakku jarang menemani ibuku dan kedua temannya mengobrol
Kami lebih sering menonton TV atau belajar di ruangan lain
Atau juga tidur kalau sudah mengantuk :)
Kami anggap aman-aman saja ibuku bersama mereka berdua

Tiba-tiba ibuku memanggilku dan mbakku
Salah satu dari bapak itu, yaitu yang “mantan teman dekat” ibuku, sebut saja Pak A, bertanya, “Dek, boleh gak kalau misalnya ibuk menikah lagi?”
Aku dan mbakku mengernyitkan dahi,
Berusaha mencerna “perkataan orang dewasa” yang belum sepenuhnya kami pahami apa maksudnya
“Mmm…”, kami berdua menggumam tanpa memberikan penjelasan

“Gini lho dek. Maksudnya Pak A ini, kan ibuk sekarang sudah sendirian, boleh kan kalau misalnya menikah lagi?” terang bapak yang satunya
“Gak tau!” jawabku, lantas langsung pergi meninggalkan ruang tamu
Sedangkan mbakku masih disana, entah mereka ngomongin apa
**
Hari lain,
Ketika mereka berdua datang lagi ke rumah kami,
Ibuku kembali memanggilku dan mbakku
Kali ini, ibuku sendiri yang bertanya kepada kami berdua dengan tatapan serius, “Ndhuk, kalau misalnya ibuk menikah lagi, boleh nggak?”
“Sama siapa?” tanyaku ketus
Mbakku menyenggol lenganku, berharap aku bisa berbicara lebih sopan
Entahlah, aku jauh lebih emosional dibandingkan mbakku
“Boleh dulu atau enggak?” tanya ibuku lagi
“Terserah!” kataku, lantas segera pergi meninggalkan ruang tamu
Ibuku dan kedua tamunya menghela nafas panjang
Aku tidak peduli

Hari lain lagi, tanpa kedua tamu lelaki itu
Ibuku menjelaskan kepada kami berdua, “Ndhuk, kemarin itu Pak A menawari ibuk untuk menikah dengannya”
“Hah?” aku dan mbakku saling menatap tak percaya
“Menikah lagi? Berarti aku punya bapak baru? Aku punya kakak dan adik tiri? Aku harus tinggal bersama orang asing itu?” tanyaku nyerocos
Mbakku membungkam mulutku, aku berontak
“Apa aku harus memanggilnya “bapak”, seperti aku memanggil bapak dulu, Buk? Aku harus pura-pura sopan dengan memakai bahasa krama inggil kepadanya? Harus menyediakan minuman buat dia, dan membiarkan dia tidur di kamar Ibuk?” lanjutku penuh emosi
“Dek!” akhirnya mbakku membentakku. Aku diam
Ibuku menghela nafas. Aku juga. Sambil terengah-engah setelah bicara panjang lebar.

“Buk, memangnya dengan punya suami lagi, ibuk merasa bahagia ya?
Memangnya itu yang ibuk cari saat ini? Suami baru?” tanya mbakku dengan halus
Ibuku terdiam
**
Malam berikutnya, di rumah kami
Ibuku menjawab tawaran temannya itu,
“Maaf Pak, bukannya saya tidak menghormati tawaran dan niat baik Bapak. Tapi saya pikir-pikir lagi, benar seperti kata anak sulung saya, mungkin bukan suami baru yang saya inginkan saat ini. Saya tidak merasa sedang kekurangan kasih sayang dari seorang laki-laki.
Saya memang sangat sedih bapaknya anak-anak sudah tidak ada lagi, yang itu artinya saya harus berjuang membesarkan anak-anak saya sendiri, perempuan semua lagi. Mendidik anak perempuan tidak lebih ringan daripada mendidik anak laki-laki.
Saya mungkin memang membutuhkan suami baru, kalau dipikir secara logika. Anak-anak saya masih harus sekolah paling tidak sampai lulus SMA, saya masih bertanggung jawab menikahkan mereka dengan lelaki yang baik, dan seterusnya. Saya tahu ini berat. Tapi bukan berarti saya tidak bisa melakukannya sendirian.”

Aku dan mbakku mendengarkan dari balik dinding
Kemudian, lanjut ibuku “Saya punya Allah, Pak. Saya sudah punya kekasih hati. Dia tidak pernah meninggalkan saya. Dia selalu mendengarkan keluh kesah saya. Dia tidak pernah mengabaikan permohonan saya. Dia yang memberi saya ujian dan kesulitan, dan saya yakin hanya Dia jugalah yang bisa mengeluarkan saya dari kesulitan itu.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak dan tanpa maksud merusak hubungan persahabatan kita, maka saya rasa Bapak mengerti bagaimana maksud saya.”

Bapak itu menarik nafas panjang
Setelah ngobrol beberapa saat, kedua tamu itu pulang
Yah, mereka hampir selalu kemana-mana berdua
Dan mereka berdua adalah sahabat baik ibuku
“Yes!” kataku memekik pelan
Mbakku menoyor kepalaku. Biarin.
**
Seiring bertambahnya umurku, aku baru menyadari mungkin tingginya emosiku tentang “boleh atau tidak, perlu atau tidaknya ibuku menikah lagi” agak-agak salah ya…
Aku baru bisa berpikir dengan jernih setelah beberapa saat, bahwa mungkin saja ibuku kesepian jika tidak ada partner ngobrol, mungkin ibuku perlu imam baru (ah, kata-kata ini cukup menggelikan), atau mungkin jauh di dalam hati, ibuku memang ingin menikah lagi, membentuk hubungan baru dengan orang baru
Tiba-tiba aku menyesal telah menghalangi niat baik lelaki itu untuk menikah dengan ibuku
Ah, bukankah setiap orang punya hak untuk menikah dengan orang yang baik?
Ah, bukankah mereka tidak berniat untuk berzina dengan hina dina, tetapi mereka akan MENIKAH?

Akhirnya kuberanikan diri mengatakan kepada ibuku,
“Buk, apa sebenarnya ibuk pengen menikah lagi?” tanyaku serius, siap dengan segala jawabannya, termasuk jika akhirnya ibuku memang ingin menikah lagi, aku tidak akan menghalanginya.
“Ndhuk, ibuk sudah punya Allah. Ibuk juga punya kalian berdua (anak-anaknya-red). Ibuk sudah gak pengen apa-apa lagi selain mengasuh sampeyan sampe gede nanti, sampe selesai semua sekolahnya, sampe berumah tangga. Di dalam hati ibuk yang paling dalam, ibuk merasa sudah cukup dengan semuanya. Ibuk gak bisa membagi hati dan cinta ibuk kepada lelaki lain. Ibuk lebih memilih mencintai kalian berdua saja, sepenuhnya. Ibuk sudah gak bisa lagi seneng-seneng jalan-jalan berdua dengan suami baru ibuk nanti, sementara anak-anak ibuk lebih membutuhkan kebahagiaan itu.”

Tapi tak bisa kuhindari, aku berkaca-kaca demi mendengar penjelasannya
Kami berpelukan lama sekali
Tak ada lagi yang perlu dijelaskan
Akhirnya, hingga detik ini, tak pernah ada pernikahan ke-dua ibuku

Ibuk, mungkin ibuk bukanlah wanita tercantik di dunia
Tapi bagiku, engkau wanita paling cantik, di hatiku, di hidupku, selamanya :)

Wassalamu'alaikum

13 comments:

  1. selamat hari ibu :)
    salam buat ibukmu mbak pet :)

    ReplyDelete
  2. makasih mas Joko :)
    insya Allah saya sampaikan nanti :)
    salam juga buat ibu & ayahmu, juga adek2mu yah...
    sing rajin lek golek duwit, mas, hehehehe

    ReplyDelete
  3. Mbok yo bahasanya di agak, di nggenahkan... nggak kasian yang baca keselek ta?

    ReplyDelete
  4. @dek andil: mosok gak nggenah to dek?
    di bagian mananya?
    padahal ini aku buat sesimpel mungkin lho,
    kalo dibandingkan dg blogmu yg selalu kata2nya berfrase indah & pake metamorfosa (*aku lali artine iki opo*), blogku jauh lebih simpel, hehe
    suwun masukannya, saya tunggu jawabannya :D
    salam metaalll!!!

    ReplyDelete
  5. Jarang jarang lho mbak ada ibu yang memang ngga ingin menikah lagi,... ibu yang bijaksana lebih memilih sendiri ketimbang harus mengajak orang ktiga dikeluarganya.

    ReplyDelete
  6. Tersentuh saya membaca ini, serasa fiksi padahal (mestinya) bukan. Setap orang punya pilihan, tapi memang sih pilihan itu tak mudah. Renungan sang anak pascapenolakan ibunda itu ohhh....

    Nice post! Boleh saya twitkan bahkan Facebook-kan kan?

    ReplyDelete
  7. @mas Kaget: sebenernya masalah menikah lagi itu total adalah pilihan masing2 individu, mas.
    Dan beberapa ibu temen saya juga memilih untuk tidak melakukan re-married :D
    dan ibu yg bijaksana adalah yg bisa membagi cintanya secara adil kepada suami & anak2nya, tak lupa pertama kali kepada Tuhannya :D
    makasih sudah mampir, salam kenal mas...

    @Paman Tyo: boleh boleh boleh Pamaaaann... Mangga kersa, boleh disebarkan lewat FB maupun Twitter kok (*dengan amat sangat senang hati*)
    yaa... non fiksi yang setelah saya menulis & membacanya beberapa kali lagi, jadi terlihat seperti fiksi, hehe
    makasih udah mampir (lagi) Paman...
    life is about making a choice :D

    ReplyDelete
  8. like this, aku belum pernah dengar cerita ini langsung darimu.... mengharukan *menarik nafas panjang...:)

    ReplyDelete
  9. @mbak Icha: iya mbak, emang sepertinya aku belum pernah cerita ke siapa2 sedetail ini, hehe
    makasih sudah mampir yah :D

    ReplyDelete
  10. wah bagus neh tulisannya...menginspirasi, tidak membosankan, dan mengalir. Senang deh bisa masuk blog ini..salam kenal yaa...

    ReplyDelete
  11. salam kenal juga Mas/ Pak Bayu Hernawan...
    terima kasih, alhamdulillah kalo suka :D
    makasih juga sudah blogwalking yah & silahkan mampir lagi lain waktu... :D

    ReplyDelete
  12. wah, sisi lain seorang pety yang baru terungkap ,hehe.terkadang masalah hati itu begitu rumit ya ;)
    semoga Ibunya selalu dalam Rahman&RahimNya :)

    ReplyDelete
  13. @Agung: mungkin sisi lain ibuku, Gung. Kalo aku sisi lainnya mungkin ya begitu2 aja, halaahh...
    betul, terlihat rumit karena wanita mempertimbangkan "sangat banyak" hal sebelum memutuskan sesuatu (dalam hal ini mempertimbangkan perasaan anak2nya).
    Amin, makasih doanya, semoga ibumu juga berkelimpahan rahmat dari Allah :D

    ReplyDelete