Mencari Obat Pencahar di Thailand

, , 4 comments
9-12 Januari 2014.

Nanda, gadis teman seperjalananku, bilang lagi sembelit alias susah buang air besar selama di Thailand. Duh, aku bisa bayangkan gimana rasanya di perut. Pasti ngganjel, dan jadinya nggak sehat. Trip kami rutenya dari Bangkok, ke Pattaya, lalu kembali ke Bangkok. Selama 4 hari 3 malam.

Lalu kami kali ke duanya mencoba melewati pasar malam di jalanan depan hotel. Hotelnya memang terletak agak masuk, seperti sebuah gang tapi besar. Hotel bintang 3. Lumayan bagus. Walau pemandangan dari balkon ya sebatas gedung-gedung bertingkat dan perumahan. Mirip di Jakarta. Hei, ada yang mengira luar negeri itu beneran kayak di luar negeri? Bangkok itu kayak Jakarta! #halah #serius


Kayak pasar malem di kampung Anda, pemirsah?? :)
Toko sepatu-sandal. Harganya mirip di Indonesia, 60-120rb an yang biasa
Kebanyakan tempura yang dijual ini dari daging babi (pork) atau kodok :)
Aku dan Nanda masuk satu per satu ke toko yang sekiranya menjual obat-obatan. Mulai dari Sevel (Seven Eleven) –iya, disana juga ada-, kemudian toko semacam Indomaret dan Alfamart, sampai ke supermarket besar yang ada di lantai dasar sebuah mall kecil. Demi obat pencahar!

Kali itu aku merasa menjadi orang paling bodoh sedunia dalam hal berkomunikasi pakai bahasa Inggris. Berasa jadi orang yang nggak terpelajar. Hadeuh! Lha gimana, mau jelasin tentang “sembelit, cari obat pencahar”, gitu aja, susahnya setengah mampus. Berkali-kali aku menyesal kenapa gak bawa kamus saku bahasa Inggris saat bepergian. Trus mikir lagi: masak harus sebegitunya sih? #mbulet

Sambil berjalan agak cepat, aku dan Nanda mencari tulisan “drug store” atau semacamnya. Untungnya, di Thailand masih disertakan tulisan latin biasa seperti tulisan di Indonesia ini. Akan bingung kuadrat kalau semua area publik hanya ditulis menggunakan huruf Thailand. Huruf Sansekerta bukan sih?

For your information, di Thailand itu orang-orangnya juga gak terlalu paham dan bisa berbicara bahasa Inggris. Selain bahasa Thai yang terdengar seperti campuran antara bahasa Mandarin, Jepang, dan Korea (padahal aku sendiri gak ngerti apa bedanya), para pedagang disana bisa bahasa Indonesia juga. Nah lo! Apa sebab? Karena ternyata tiap tahunnya buanyaaak banget turis Indonesia yang bepergian ke Thailand. Bagaimana dengan bahasa yang digunakan oleh orang pemerintahan, dokter, polisi? Nggak tau. Soalnya aku ketemunya cuma sama para pedagang aja. Hehe. Eh, guide perempuan kami juga bisa berbahasa Indonesia ding, walau bahasanya tetep aja bikin ngikik karena terdengar lucu :D

Kami memasuki toko pertama. Semacam Sevel. Kami mencari-cari obat pencahar di deretan obat. Bukan bermaksud sok tahu, tapi usaha dulu kan, siapa tau ada semacam Vegeta, Adem Sari, Dulcolax, Laxing, atau yang lainnya. #yamenurutlo???
Paling tidak kalau ada yang kemasannya mirip, kan bisa dibaca dulu di keterangan bungkusnya, siapa tau ada bahasa Inggrisnya. Dan usaha pertama ini....gagal!
Mau tidak mau kami bertanya langsung kepada pramuniaga yang ada.
Excuse me. Do you have.... a....”, kataku terbata, “aduh Nan, apaan sih bahasa Inggrisnya obat sembelit?”
Nanda tampak sama bingungnya denganku.
“Obat pencahar deh. Apaan?”
“Aduh mbak, gak ngerti juga”, jawabnya.
“Kita bilang obat sakit perut aja kali ya?”
“Ho oh wis.”
Mas-masnya bengong aja ngeliatin kami yang kasak-kusuk sendiri.

“Ugh. Do you have a stomachache medicine?
Kacau bener nih bahasa guweh. Duh. Tapi pantang malu lah, udah kepalang basah juga. Satu-satunya yang bikin aku tetep tenang adalah mengetahui bahwa mereka juga gak gape berbahasa Inggris. Malah lebih parah mereka.
What?”, tanya si mas nggak paham.
A...drug. For stomach!” intonasi suara kunaikkan dengan harapan akan memberikan efek AHA! kepadanya.
I don’t know.”
Yaaaah...

Aku membuat gerakan memegang-megang perut dan meringis seolah menahan sesuatu yang nggak bisa keluar dari perutku. Mereka (si mas-mas dan mbak kasir) tetep pasang muka datar. Aku punya ide untuk menjelaskan secara lebih deskriptif. Sip.
“Okay, Sir. Let me explain you. We have a problem. My friend CAN NOT GO TO THE TOILET these days. She has a...a...a...”, aku mulai kehilangan kosakata yang pas.
Mungkin si mas dan mbaknya mikir: ni turis ngapain gak bisa ke toilet? Di hotelnya nggak ada toilet? Nggak mungkin banget. Atau nggak bisa jalan ke toilet? Lha ini bisa jalan!

“Ahhh. Well, the situation is like this. She has a stomachache, but not caused by her foods or weather or anything else. She’s just...just... CAN NOT GO TO THE TOILET! Do you understand me?
Sorry, no.”
Aaaarrrrrgghhhh.
Pengen rasanya punya Alfalink yang langsung bisa searching apa sih bahasa Inggrisnya “sembelit” itu. Pernah denger sih yang namanya “konstipasi”. Tapi aku gak yakin dengan kosakata itu. Lagian aku taunya juga dari iklan di tipi tentang kata konstipasi itu. #kasian

Setelah berusaha dengan bahasa Inggris dicampur bahasa tarzan, dan setelah si mas dan mbak diskusi dalam bahasa Thailand yang entah ngomongin apa, si mas berkata,
“Oh....perut?”
YES! YES! YA! YA!”, pekikku dan Nanda berulang kali, bersamaan.
“Iya, perut. Bisa bahasa Indonesia?”, tanyaku sumringah dengan wajah berbinar cerah.
Mereka diam sambil memandangi kami.
“Oh, I mean, do you speak Indonesian?” tanyaku kecele.
“Sikit. Malaysia”, jawabnya.
“OOOOO...”, sambungku dan Nanda.
“Kerja? Malaysia?” mulai muncul kepoku.
“Ya. Sebentar.”
Okay. So, you have medicine we need?
Mereka geleng-geleng kepala.
Kami pun tertunduk lesu. Sia-sia sudah bermenit-menit yang kami lalui dengan perjuangan sekuat tenaga mencari obat pencahar. Tapi demi menghargai mereka yang mau berusaha mencari tahu apa kebutuhan kami sebagai pelanggannya, kami pun tersenyum.

Khapunkap”, ucap kami sambil keluar toko.
Terima kasih.

***

Aku dan Nanda berjalan lagi mencari toko yang lain. Ada yang masuk ke gang, ada yang di pinggir jalan besar. Semua nggak punya obat pencahar (atau kami yang kurang jelas dan terampil dalam menerangkan maksud kami). Kami akhirnya menuju sebuah mall kecil. Kami bertanya ke security yang berjaga di pintu masuk tentang dimana letak drug store pun, si security juga susah payah menjelaskannya. Dia menunjuk-nunjuk arah dan lantainya, dan kami pun membalas dengan bahasa tarzan juga.

Akhirnya, setelah turun lantai menggunakan lift, kami sampai di swalayan besar (macam Hypermart atau SuperIndo yang biasa ada di mall). Kami sempat terkaget-kaget karena 80% consumer goods yang dijual disana sama persis dengan di Indonesia. Mau cari apa aja juga ada. Kemasannya sama persis. Hanya saja mereka menulisnya dengan huruf dan bahasa Thailand. Cari shampoo Pantene? Ada. Sabun Lux, Dove, Sunsilk, Milo, teh instan Nestle, Pulpy Orange, Rinso, sabun cuci piring, chiki, segala rupa minuman botol, merknya sama persis. Aku perhatikan sih barang produksi dari perusahaan internasional macam Nestle dan Unilever, hampir semua sama dengan di Indonesia. Dan yang paling terkenal jajanannya (setidaknya temanku sampai nitip) adalah rumput laut gepeng yang asin alias nori, yang entah apa merknya itu, yang sama persis dengan yang sering kita jumpai di Indomaret kesayangan sejuta umat. Tapi disana harganya jauh lebih murah. Sekitar separonya.

"Hypermart"nya Thailand. Di dalam mall.
25.00 artinya harganya 25 Baht. 1 Baht gampangannya sekitar Rp 400,-
Apakah Anda melihat Pulpy Orange? Betul sekali :)
Emak-emak pasti tahu kalo ini kemasan Rinso cair. Hehe
Setelah (lagi-lagi) tidak menemukan kemasan yang mirip dengan Vegeta, Laxing, Dulcolax, Adem Sari (teteup), kami menyerah dan bertanya ke mbak-mbak pramuniaga. Aku dan Nanda sepakat bahwa pasti ada lah produk pencahar itu, hanya saja kami nggak tau apa merknya di sana.
Excuse me, Miss. Is there any drug store here?”, tanya Nanda.
Mbaknya pasang muka lempeng. Duh, dia nggak ngerti bahasa Inggris (lagi), kan?
Drug store. Medicine. We need it”, aku mencoba menambahkan.
What??”, mbaknya tetep nggak paham.
My friend having problem with her stomach. Would you like to help us, please?
Si mbak kemudian memanggil temannya yang kami yakin juga gak akan banyak membantu.

Tapi entah bagaimana, akhirnya mereka menunjukkan dimana letak deretan khusus obat.
“Which one is for...for...”. Arrrrgggghhh aku kehilangan kosakata lagi menjelaskan tentang susah BAB itu apa dalam bahasa Inggris.
Sekali lagi, dua kali, tiga kali, aku merasa jadi orang paling bodoh di dunia.
My friend CAN’T GO TO THE TOILET this three days. Do you understand what I mean?”, kata saya sambil mengelus-elus perut (lagi).

CAN’T GO TO THE TOILET = berasa ada gangguan di alat gerak yang tidak memungkinkan untuk berpindah dari suatu tempat ke toilet.

Padahal maksudnya kan “gue gak bisa BAB!”. Udah, gitu doang yang pengen aku katakan. Hih.

Akhirul kalam, mbak-mbaknya tetep nggak paham dan berkata nggak tau dan nggak ada obat yang kami cari. Yowis lah, kami jadinya beli teh instan dan sedikit makanan kecil disana. Begitu bayar di kasir, mbak kasirnya sama sekali nggak senyum loh. Ih, harusnya kalau mbaknya tahu kalo kami ini pendatang, paling tidak dia kan memberikan hospitality yang layak. Dia mencerminkan keramahan negaranya pula. Setelah berlalu, aku dan Nanda kasak-kusuk mengenai si kasir tadi. Dan kemudian menyadari bahwa pergi ke luar negeri juga bisa bikin tambah banyak dosa karena banyak ngomongin kejelekan orang lain. Huhuhu...

Kami mencoba mencari toko lain, tapi nggak nemu juga. Di “apotek” pun, entah memang tidak ada atau karena gap bahasa, kami tidak berhasil mendapatkannya. Nanda akhirnya memutuskan untuk beli buah saja. Secara disana di sepanjang trotoar buanyak penjual buah potong yang seger-seger. 1 bungkus seharga 20 Baht atau sekitar 8.000 rupiah. Gak terlalu murah dan gak terlalu mahal. Ada mangga yang warnanya kuning seger, melon, pepaya, nanas, pisang, dll.

1 bungkus seukuran ini 20 Baht alias Rp 8.000,-
Kebiasaan di Indonesia kan ya, kalau mau lihat dan “ngecek” produknya, kan mencet-mencet buahnya. Eh pas aku memencet salah 1 buah yang dikemas dalam styrofoam dan dibungkus plastik press bening, eh si ibu penjualnya dengan wajah jutek mengetuk-ngetukkan jarinya ke tulisan yang ada di sebelah buah tersebut. Karena gak langsung paham, aku tanya dengan songongnya, “What?”
Si ibu menunjuk kembali tulisan itu tanpa bilang sepatah kata pun. Tetap dengan muka kurang menyenangkan. Aku baca tulisan yang ditunjuknya: DO NOT SQUEEZE!
Ealaaah, si ibu jutek karena buahnya gak rela aku pencet-pencet yang nantinya bisa benyek dan jadi gak menarik dilihat. Dan mungkin juga jadi nggak laku.
Oke bu, sori dori mori yeeee. Kami buru-buru berlalu karena takut dia makin marah.

Akhirnya setelah hari terakhir trip kami di Thailand, Nanda sudah bisa GO TO THE TOILET peacefully and happily. Entah dengan cara apa. Yiey! Hahaha...

4 comments:

  1. Pesan moral dari cerita ini adalah jangan lupa bawa pecahar kalo ke thailand hahaha

    ReplyDelete
  2. constipation :-)... itu kata inggrisnya sembelit. padahal udah kepikiran kata konstipasi yah... tinggal ng-inggrisin tapi mungkin juga orang thailandnya ga ngerti constipation it apa artinya hihi...kesian temenmu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku wis mbedhek tulisan iki bakal diguyu karo mbak Nay :((
      duh, pengen isa casciscus koyok sampeyan mbak :D

      Delete