Cinta Itu Kita, Rossa (eps.2)

, , 6 comments
lanjutan dari Cinta Itu Kita, Rossa (eps.1)

Esoknya, mereka berpapasan di lift kantor. Kebetulan hanya mereka berdua di dalamnya. Sebenarnya Rossa selalu risih ketika harus berduaan dengan lelaki yang bukan keluarga atau kerabatnya. Tapi ia juga sadar tak mungkin memaksa satpam di depan lift ikut masuk bersama mereka.

“Hai”, Satria menyapa duluan.
“Hai”
How was your night? Sleep tight?” Tanya Satria serius.
“Halah, sarapan gombal nih pagi-pagi”, Rossa mencibir.
“Lho, aku kan tanya beneran, jangan dikira gombal donk!” Satria protes.
Jalan lift masih agak lama. Ruangan Rossa ada di lantai 8, sedangkan Satria di lantai 9.
“Eh, emang kenapa kamu dikasih nama “Rossa” sama orang tuamu?”

 “Hmm… entahlah. Mungkin karena “Rossa” menggambarkan sesosok bunga mawar. Ia indah, banyak disukai orang, lambang cinta, tetapi sebenarnya ia rapuh. Sangat rapuh. Karena itu ia perlu banyak duri di tangkainya, agar terlindung dari segala mara bahaya”, Rossa nyerocos asal.Memang benar Rossa, kamu indah, cantik, cerdas, banyak disukai orang. Tapi, tunggu dulu. Rapuh? Bagian mananya yang rapuh? Bukannya kau setegar karang dan sedingin es? Atau aku saja yang belum tahu?
“Kalau Satria, apa artinya?” Rossa membuyarkan lamunan Satria.
“Hmm… apa ya? Mungkin dulu papa mamaku sedang tergila-gila pada Ksatria Baja Hitam waktu aku lahir. Hahaha…”
“Haha…”, mau tak mau Rossa tergelak juga dengan lelucon yang dibuat Satria.
“Kau lebih cantik kalau tersenyum dan tertawa begini, Rossa”, kata Satria datar dan menatap lurus-lurus ke arahnya.
I beg your pardon?”, Rossa pura-pura tidak dengar.
“Ah, tidak!”

Ting!
Rossa sudah sampai di lantai 8. Ia melangkah keluar.
“Sampai ketemu makan siang nanti ya!” seru Satria sebelum pintu lift tertutup.
“Ya, kalau ketemu sih!” balas Rossa.
Rossa berjalan pelan ke ruangannya. Ia bukannya tidak mendengar apa yang dikatakan Satria di dalam lift tadi. Terlalu jelas bahkan suaranya. Sekelebat adegan muncul di hadapannya kini. Saat seorang lelaki mengatakan padanya, “Kau lebih cantik kalau tersenyum, Sa”. Dulu. Dulu sekali.
Rossa mempercepat langkahnya.
***

“So, kenapa Mas suka banget bawain makanan Jepang buat aku begini?” Tanya Rossa di suatu malam berikutnya. Masih di teras yang sama dengan sebelumnya.
“Hah? Emm…anu. Eh, enggak, kebetulan aja aku lagi lewat di daerah rumah tantemu. Kan disitu ada restoran Jepangnya juga. Jadi sekalian aja mampir. Kan kebetulan juga pas kamu ada di rumah!” Satria salah tingkah menjelaskan. Sebenarnya ia juga tidak tahu kenapa ia ingin kembali menemui Rossa lagi dan lagi. Meski tanggapan Rossa selalu seperti biasanya. Dingin. Cuek. To the point.
“Tapi kamu tidak keberatan kan, kalau aku kesini?” Satria khawatir kalau Rossa sebenarnya ingin melemparnya keluar pagar setiap kali ia main ke tempatnya.
“Tidak”
“Rossa, kamu itu cantik, pintar, punya pekerjaan bagus. Tapi, kenapa sampai sekarang kamu belum punya pasangan?” Satria berkata pelan, takut Rossa tersinggung.
“Pacar, maksudmu?”
“Yah, semacam itu lah. Atau calon, mungkin?”

Pertanyaan itu melemparnya pada kejadian dua tahun yang lalu. Saat itu, Rossa sedang menempuh S2 nya. Ia mempunyai pacar yang bisa dibilang sempurna. Seseorang yang tampan dan dosen muda yang cerdas. Dengan tinggi badan 175 cm dan berat badan proporsional, siapa yang tak suka? Rambutnya yang lurus terpotong rapi dan selalu diberi gel, rahang yang kokoh dan tubuh bidang, Rossa pun jatuh cinta kepadanya. Rossa dikenalkan oleh sahabatnya kepada pemuda tampan itu. Hubungan mereka berjalan baik, bahkan sangat baik, selama satu tahun hingga sebuah kejadian itu. Kejadian yang mengubah seseorang yang paling dicintainya menjadi seseorang yang paling dibencinya di muka bumi ini.
Rossa mendapati pacarnya berselingkuh dengan wanita lain. Ia masih ingat betul bagaimana hancurnya kepercayaan yang telah dibangun selama setahun ini kepada pacarnya. Pacarnya mengatakan Rossa terlampau sibuk dengan kuliahnya, sehingga tidak punya banyak waktu untuknya. Setelah pertengkaran-pertengkaran sebelumnya, inilah puncaknya.

Bullshit dengan alasan itu, Mas!” Rossa meradang. “Bukan aku yang terlalu sibuk, tapi kau yang banyak menyembunyikan rahasia. Aku pikir kau sedang banyak kerjaan sehingga jarang menghubungi aku, ternyata kau malah asyik pacaran dengan wanita lain!” Rossa berapi-api tatkala pemuda itu memberi alasan palsu.
Mereka duduk berhadapan, dan Rossa ingin sekali menonjok wajah pemuda di depannya itu kalau tidak ingat bahwa ia adalah perempuan yang bagaimanapun juga harus menjaga harga dirinya.

“Seharusnya kau juga tidak pernah menjadi dosen!”
“Hei Sa, jangan pernah bawa-bawa pekerjaanku sebagai dosen!” sergah pacarnya tak terima.
“Oh begitu? Kenapa? Coba pikir Mas! Tidak seharusnya kau mendidik puluhan mahasiswamu seperti ini sebelum kau mampu mendidik perilakumu sendiri! Didik dulu juga hawa nafsumu yang tidak bisa melihat sedikit saja perempuan cantik lain! Kurang apa aku? Selama berhubungan denganmu, aku tak pernah punya teman dekat lelaki lain. Aku selalu bilang padamu kalau aku sedang ada kegiatan di luar kota hanya agar kamu tidak khawatir kepadaku. Bahkan aku juga selalu menceritakan yang baik-baik tentang dirimu kepada orang tuaku.”
“Oke oke. Aku mengaku salah. Lalu, apa maumu sekarang, Sa?”
“Mauku??? Apa kau pikir setelah apa yang kau lakukan padaku, aku masih berselera untuk bertahan dengan player seperti kamu, Mas? Think it hardly!” jawab Rossa ketus sambil menunjuk pelipis kanannya.
“Oke kalau memang itu maumu. Mulai saat ini, hubungan kita berakhir”, jawab pemuda itu berat.

Ia tahu, sebenarnya Rossa-nya lah yang paling baik kepada dirinya. Sementara perempuan lain, sebatas pengalihan perhatiannya saja pada kebosanan yang tak mampu ia atasi sendiri. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia tahu betul, Rossa tak bisa dilarang. Rossa tak bisa dicegah ketika sudah mengambil keputusan. Rossa tak pernah mencabut kembali perkataan yang sudah diucapkannya. Rossa-nya keras kepala.
“Oke. Aku bisa bersyukur sekarang”, kata Rossa lega.

Setelah itu, mereka tak pernah bertemu lagi. Ya, Rossa bersyukur dengan menangis semalaman. Ia bersyukur dengan tidak menyentuh makanan dua hari ke depannya. Ia bersyukur dengan membengkalaikan tugas-tugasnya yang sudah mendekati deadline pengumpulan. Ia bersyukur dengan tidak membalas semua SMS dan telepon masuk. Dan ia bersyukur dalam janjinya, bahwa ia tak akan lagi mudah menjalin hubungan dengan pria lain, sebelum ia mengetahui seluk-beluk pria itu, baik dan buruknya.
Ia Rossa. Ia sekuntum mawar. Ia keras kepala. Dan RAPUH.

“Hei, kau mendengarku?” Satria bertanya sambil melambai-lambaikan tangannya di depan muka Rossa. Lamunan Rossa buyar seketika.

(bersambung...)

6 comments:

  1. nunggu episode 3 :D ini galih mbaaaaaaaaak :D

    ReplyDelete
  2. To be continued... :)

    ReplyDelete
  3. memang tdk ada yang kebetulan sih tapi saya nemu blog ini sewaktu jalan-jalan sore..
    ceritanya membuat penasaran.. siap menunggu.

    ReplyDelete
  4. @Neng Naning: hihi okee...

    @Lutfa: hooh, insya Allah...

    @Fitri 'A: iya, tidak ada yang kebetulan memang. Tapi kebetulan saya sekarang sedang bingung enaknya kelanjutan ceritanya gimana, haha

    ReplyDelete
  5. aq cinta indonesia pety..heheheheh

    ReplyDelete
  6. @mbak Dephi: haha, yowis, silahkan menulis cerita yg judulnya "Cinta itu Indonesia, Dephi" :p

    ReplyDelete