Selasa, 14 Maret 2017.
Selepas shalat Dhuhur jam 14.00 WIT, perut saya keroncongan.
Sebetulnya sudah ngantuk dan lelah dengan senam jantung soal penginapan yang ternyata terletak di Lorong Arab, sebuah gang sempit yang tidak
kearab-araban sama sekali di Ambon, Maluku. Namun waktu menuju senja masih
panjang. Rugi rasanya jika hanya dihabiskan untuk tidur di penginapan.
Dengan menahan rasa kantuk dan membulatkan tekad, saya
menyiapkan tas punggung. Laptop dan dompet ditinggal di dalam koper, di
tengah-tengah tumpukan baju, menggembok, dan menyimpan kuncinya baik-baik. KTP
selalu saya bawa, dengan asumsi jika terjadi apa-apa, misal kecelakaan atau
meninggal, orang akan dengan mudah mengenali identitas saya. Tidak perlu protes
soal ini, karena seperti itulah yang saya pikirkan setiap kali bepergian.
Bersiap untuk hal terburuk sekalipun. Saya hanya membawa uang receh beberapa
puluh ribu karena memang tidak berencana beli-beli, hanya ingin jalan kaki dan
menikmati Ambon sore sendirian.
Saya mengganti sepatu kerja dengan sandal jepit seharga Rp 13.000,- di toko kecil ujung Lorong Arab, di daerah Waihaong.
Saya mencari-cari makanan halal apa yang sekiranya ada di sekitar sana. Mie
ayam cukup menggoda untuk mampir ke kedai yang sepi, di sebelah Masjid Raya
Al-Fattah. Harganya Rp 15.000,- dan masih cocok untuk kantong.
Benteng
Victoria yang Menipu
Setelah kenyang, saya membuka google map dan melacak
keberadaan Benteng Victoria yang dijanjikan mbak resepsionis sangat dekat
dengan hotel. Ternyata benar, hanya 3 menit berjalan kaki dari tempat saya
makan. Saya kembali ke Lorong Arab yang sebelah selatan, dan memanglah benar
bahwa di Indonesia masih buruk soal fasilitas untuk para pejalan kakinya.
Trotoar dipenuhi orang-orang yang menjajakan dagangan atau sekedar menggeret
kursi untuk duduk santai sambil mengobrol dengan temannya. Di tepi jalan yang
sempit, mobil-mobil pengunjung/ tamu/ pembeli berparkir paralel dari ujung ke
ujung. Saya terpaksa harus berkali-kali melihat ke belakang karena khawatir
terserempet kendaraan yang lewat. Tampak ada lebih dari sepuluh penginapan di
sana. Beberapa namanya pernah saya baca di internet selama proses pencarian
penginapan kemarin. Saya asumsikan, mereka adalah penginapan murah yang memang
dikhususkan untuk tamu yang tidak terlalu mencari fasilitas mewah. Hanya
sekedar numpang tidur. Bahkan saya bertemu dengan backpacker dari Batam yang juga menginap di Lorong Arab dengan
harga kamar Rp 80.000,-/malam. Haha kalah jauh saya kalau soal berani-beranian
tidak nyaman begitu.
Saya yang terbiasa berjalan agak cepat, terus mengikuti
arahan dari google map. Sampai di persimpangan, saya bingung ini petanya
mengarah kemana. Tampak sudah dekat betul, tapi saya tidak melihat ada
tanda-tanda, plang, atau tulisan benteng apapun di sana. Berbekal nekat, saya
belok kiri. Agak jauh, kok malah melenceng dari peta. Bahkan sampai mentok lagi
ke pelabuhan. Saya tanya mbak-mbak yang sedang parkir di SPBU dimana letak
Benteng Victoria, dia hanya menggeleng. Keanehan pertama terjadi. Oke, saya
memutuskan untuk berbalik arah dan mengikuti peta lagi. Saya tanya ke mas-mas
penjaga toko, tapi cukup dongkol karena mendapat jawaban serupa. Ketika petunjuk
di map sudah dekat, ternyata saya kembali ke titik awal ketika saya bingung
tadi. Oh, saya jadi bisa mengimajinasikan bentuk daerah itu. Dimana penginapan
saya, dimana pelabuhan, dan dimana perempatan sumber nyasar tadi. Bentuknya
kotak saja.
Akhirnya saya memutuskan belok kiri, tapi mentok juga.
Bapak-bapak bilang dekat SPBU khusus marinir. Sudah ketemu SPBU nya, tapi kok
ya cuma seperti itu, tidak tampak benteng sama sekali. Belok kiri sekali lagi
untuk mencari orang yang bisa ditanyai, ada ibu-ibu yang mengangkat bahunya
ketika saya tanya. “Ibu asli orang sini?” tanya saya jengkel. Padahal google
map saya jelas-jelas sudah membunyikan “You
are arrived!” Tiga orang saya temui dan tidak ada jawaban yang memuaskan.
Akhirnya saya bertemu dengan anggota TNI dan dia bilang masuk bentengnya dari
depan. Saya berputar sekali lagi, mencari mana depan yang dimaksud si bapak.
Melewati ATM BRI, belok kiri, ada pos penjagaan di sana. Saya mengatakan ingin
mengunjungi benteng Victoria, mereka ganti bertanya saya siapa dan ada
keperluan apa. Lhah!
Sebetulnya malas sekali menjelaskan saya dari blablabla,
untuk tujuan blablabla ke Ambon, dan seterusnya. Tapi daripada nanti dibedhil senjata laras panjang di pundak
mereka, terpaksalah saya beramah-tamah dalam kondisi kaki setengah mau copot
seperti itu. Saya hanya mengatakan berasal dari Jawa dan ingin cari tempat
wisata, googling, nemulah nama Benteng Victoria, dan ingin melihatnya.
Sesederhana itu. Bapak penjaga piket bilang, saya masih harus jalan lurus,
nanti ada pos piket lagi di dalam. Kok aneh ya? Ke dalam, berarti saya masuk ke
kompleks TNI dong? Karena penasaran, jalan lagilah saya. Di pos dalam, ditanya
ulang saya ini siapa, dari mana, mau apa ke benteng. “Wartawan, ya?” tebaknya.
“Bukaaaaaan! Saya cuma orang biasa pak, mau jalan-jalan aja, mau lihat benteng
yang terkenal di internet itu loh!”
Ternyata oh ternyata, lokasi Benteng Victoria memang di
dalam kompleks TNI dan harus ada surat izin dari pos piket sebelah entahlah
mana lagi. Kecuali saya berombongan, akan lebih mudah memintakan surat izinnya.
Dulu memang pernah dibuka untuk umum, tapi sekarang tidak. Seperti menjadi
lokasi yang dilindungi ketat. Saya yang melihat jam sudah semakin sore,
tidak sudi untuk jalan ke pos selanjutnya hanya untuk ditanya hal serupa dan
dioper-oper lagi demi mendapatkan surat izin masuk benteng.
Jadi, apakah saya merekomendasikan Benteng Victoria untuk
dikunjungi selama di Ambon? TENTU TIDAK! Kecuali Anda datang berombongan,
dengan tujuan tertentu yang “jelas”, memiliki surat izin dari pos piket yang
resmi, atau memberitahukan akan kunjungan Anda beberapa hari sebelumnya,
bolehlah mencoba keberuntungan ke sana. Jadi kalau ingin lihat gambar bentengnya
seperti apa, cari di internet sendiri ya, hehehe.
Taman
Pattimura (Pattimura Park), Lokasi
Pahlawan Nasional Thomas Matulessy Digantung
Berjarak seperseberangan jalan dari Kompleks TNI yang bikin
sewot, ada Taman Pattimura yang terkenal. Saya yang tidak suka sejarah, seolah
baru tersadar kembali bahwa Pattimura alias Thomas Matulessy adalah pahlawan
yang berasal dari Ambon, Maluku. Dan tersadar untuk ke dua kalinya, bahwa
Pattimura meninggal dengan cara digantung pada tahun 1817, kemudian konon
jenazahnya ditenggelamkan di lautan. Tidak ada makam Pattimura di Ambon.
Tamannya luas, dengan pohon-pohon besar di sekelilingnya.
Ada dua lapangan basket yang biasa dibuat olahraga para pemuda Ambon, tepat di
depan patung yang berdiri menjulang kokoh seolah menyebarkan semangat untuk
terus berjuang sampai akhir hayat ini. Di bawah patung, ada relief yang
menceritakan perjuangan Pattimura zaman dahulu.
|
Lapangan Pattimura |
Yang paling bikin
merinding, di prasastinya yang dibuat pada 15 Mei 2008 dan ditandatangani oleh
Walikota Ambon pada saat itu, Drs. M. J. Papilaja, MS, tertulis seperti ini:
“Pattimura Park (Taman
Pattimura) ini adalah apresiasi penghargaan atas semangat kejuangan Kapitan
Pattimura dan kawan-kawan, agar kita selalu mengingat pesan terakhir Kapitan
Pattimura sebelum menaiki tiang gantungan pada tahun 1817 di tempat ini, bahwa “Beta akan mati..., tapi nanti akan bangkit
Pattimura-Pattimura muda yang akan meneruskan beta punya perjuangan...”
|
Relief yang menceritakan Pahlawan Pattimura digantung |
Wow! Saya menarik nafas panjang. Perjuangan yang gigih dan
impian yang optimis. Tidak mengenal takut, dan lebih memilih mati daripada
harus menyerah pada penjajah Belanda. Hati rasanya gerimis.
(bersambung)