Jujur, perasaan saya campur aduk saat membayangkan akan
jalan-jalan sendirian satu setengah hari berikutnya di pulau yang baru kali pertama saya injak, tanpa saudara tanpa teman. Mules-mules sedap.
Sejak semalam
sebelumnya, saya sudah sibuk selancar di internet penginapan murah di Ambon
Kota, yang berjarak sekitar 30 menit perjalanan darat dari Teluk Ambon tempat kami
menginap saat itu. Saya yang tidak terbiasa menggunakan aplikasi tertentu untuk
mencari penginapan, sepenuhnya mengandalkan arahan dari google. Di laman
pertama memang dipenuhi oleh situs ternama seperti pegipegi.com, traveloka.com,
agoda.com, dan trivago.co.id. Mereka memang mengkhususkan diri untuk mencari,
membandingkan, serta memesan tiket pesawat maupun hotel secara daring (online). Saya masuk ke situs-situs
tersebut hanya untuk mengetahui harga penginapan serta review dari para pengunjungnya. Penting untuk melihat kondisi
kamarnya juga. Enggan saja dapat hotel murah tapi ternyata malah tidak bisa
tidur nyenyak setelah lelah seharian beraktivitas.
Prinsipnya, saya mencari harga penginapan di bawah Rp
200.000,-/malam. Tidak ada penganggaran khusus ketika merencanakan extend alias memperpanjang waktu
bepergian di sana. Yang jelas, harus berhemat sedapat mungkin. Jika ada harga
yang memenuhi budget, saya akan
mencari alamat dan nomor teleponnya. Termasuk juga melihat melalui google map,
dimana letak penginapannya dan dekat dengan lokasi wisata apa saja. Akan lebih
bagus jika bisa dijangkau dengan jalan kaki.
Saya menelepon beberapa penginapan
murah. Beberapa mengangkat telepon dan beberapa tidak. Ada yang sudah cocok
dengan lokasi dan kamarnya, ternyata harganya masih Rp 275.000,-/malam. Tentu
itu terlalu mahal buat kantong. Akhirnya saya deal memesan Golden Inn seharga Rp 175.000,-/malam. Dan ternyata,
harga termurah tersebut ada di lantai... enam! Tanpa lift! Wajib memastikan
bahwa akan ada room boy yang akan
membantu mengangkat koper saya seberat 10 kilogram setinggi enam lantai. Yah,
walaupun tidak ada, toh akan tetap terpaksa mengangkat koper sendirian demi
menghemat pengeluaran.
Pesan penginapan beres.
Saya dan teman-teman menyempatkan untuk singgah di toko besi putih, yang merupakan kerajinan khas Ambon. Selepas dari sana, saya diantar ke Golden Inn, calon penginapan yang saya pesan melalui telepon. Rupanya di
Ambon pun banyak jalan satu arah, sehingga jika tampak dari toko tersebut ke
penginapan hanya beberapa menit perjalanan menurut google map, menjadi
berputar-putar dan agak lama. “Lorong Arab”, begitu pesan mbak resepsionis
penginapan untuk memudahkan mencari daerahnya. Wow, terbetik di imajinasi,
Lorong Arab adalah sederet kompleks tempat para ras Arab tinggal dan
berwirausaha. Juga kuliner-kuliner Arab dan segala hal yang berbau sakral
karena kearab-arabannya.
Kami melalui perempatan Tugu Trikora, lalu jalan-jalan
padat kendaraan, Masjid Al-Fatah, dan... pelabuhan! Tertulis jelas Port of Ambon
di sana. Saya mulai cemas karena google map masih menunjukkan jalan menuju
gang-gang sempit penuh para lelaki yang menggotong barang ini itu, toko kayu
gelondongan, toko kelontong kecil-kecil, mas-mas yang berkumpul duduk di depan
toko sambil mengobrol santai, truk yang menurunkan dan memuat barang, dan para
lelaki bertelanjang dada. Teman saya lima orang bergantian mengatakan sesuatu
yang sangat tidak ingin didengar saat itu, seperti:
“Lho mbak, ini daerah apa?”,
“Beneran mbak, penginapannya di sini?”,
“Mana ya, kok belum sampai-sampai?”,
“Ati-ati lho mbak, ini wilayah pelabuhan?”,
“Jangan keluar sendirian kalau
malam lho mbak. Pokoknya maksimal jam 9 malam harus sudah di penginapan lagi!”,
“Yakin mbak, mau nginap di sini?”
Aaarrgghhh...
Pelabuhan Ambon |
Sebelum mereka cemas, sebenarnya saya sudah cemas sendirian
sejak semalam. Tapi tolong lah, jangan menambah kecemasan lagi berkali-kali
lipat.
Akhirnya sampai juga kami di Golden Inn. Saya sendiri pun
tidak menyangka bahwa Lorong Arab itu benar-benar menyerupai lorong beberapa
lajur... tapi tanpa ada Arab-arabnya sama sekali! Konon memang dahulu wilayah
itu dihuni oleh ras Arab beserta keturunannya. Sepertinya mirip wilayah
Ampel-nya Surabaya. Tapi sekarang tidak lagi. Sudah bercampur baur dengan
segala suku bangsa.
Saya menurunkan koper di depan penginapan yang lebih mirip
ruko tujuh lantai dengan pintu besi yang cara membukanya digeser ke kanan dan
kiri. Tarik nafas panjang, buang nafas, sambil berdoa bahwa semuanya akan
baik-baik saja. Namun, ketika mata tertumbuk pada rak minuman di belakang
resepsionis yang berjejer bir bintang dan minuman beralkohol, saya tidak tahu
apakah akan baik-baik saja satu setengah hari ke depan atau tidak. Dengan
senyum yang terpaksa dimanis-maniskan, saya melongok ke dalam mobil dan
mengatakan kepada teman-teman bahwa memang ini penginapannya, sudah browsing, yakin aman, dan akan
mempercayai intuisi yang datang. Jika merasa tidak aman, mencurigai sesuatu,
atau melihat potensi bahaya, tentu akan segera ambil tindakan.
Setelah teman-teman pergi, saya dengan sok percaya diri
menuju resepsionis. Mengatakan bahwa tadi pagi sudah menelepon dan booking kamar di lantai enam. Mencoba
berlagak jadi traveler berpengalaman yang pemberani, padahal kaki dan hati
sudah keder lebih dulu. Setelah membayar kamar, tiba-tiba ada telepon oleh
salah seorang teman yang mengantar tadi, ibu-ibu. “Mbak Fatma, ini lho di dekat
tugu ada penginapan yang lebih bagus. Jangan disana ah, ngeri!” Saya
menjelaskan, ini penginapannya juga sudah bagus kok, bersih. Si ibu masih bersikeras,
“Iya, tapi itu tadi lho, jalannya sempit, banyak orang laki-lakinya,saya
khawatir ah Mbak! Pindah saja sudah, pindah Mbak!”
Aaarrrggghhh...
Berusaha mengabaikan kekhawatiran si ibu, saya bertekad
untuk tetap menginap di sini saja. Untuk naik ke lantai enam, ada mas-mas staf
hotel yang membantu membawakan koper. Saya memberinya tips atau uang lelah
sekedarnya, dan dia menolak dengan malu-malu. Biasanya di hotel besar pun, room boy hampir tidak pernah menolak
tips dari tamu. Ini masnya kok menolak dan cara memandang saya agak berbeda.
Saya jadi parno sendiri.
Penampakan kamar Golden Inn. Bersih dan nyaman kok. Karena bangunan baru. |
Kamar mandinya juga bersih dan modern. Cuma saya parno bayangin ada kamera tersembunyi yang siap ngintip :( |
Aaarrrggghhh...
Hari yang bikin deg-degan!
Jatah sarapan dari penginapan. Agak tidak manusiawi untuk perut. Sesuap langsung habis. |
Makan malam cuma mampu beli indomie goreng telor ceplok 15 ribu. Nyesek tapi tetep nikmat. |
(bersambung)