Backpacking ke Pantai Nggerangan (bag. 1)

, , 11 comments
Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 4 sore. Aku mulai gelisah dan satu kali ke toilet SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) di selatan alun-alun kota Kediri.

Seharusnya tempat ini sudah sangat ramai mengingat waktu janjian kami di lokasi ini adalah jam 4 tepat. Malah si ketua rombongan share di grup Whatsapp jam 3 sore, meminta kami segera merapat, karena jika tidak, maka akan ditinggal. Aku sampai di lokasi jam 15.55. Hanya 5 menit sebelum waktu janjian yang seharusnya.

Sesampainya di SPBU, yang kulihat hanya sekitar tujuh orang yang sudah hadir. Lebih tepatnya, yang kuperkirakan hadir, yang bisa dilihat dari sepeda motor berjejer di samping mushala dan beberapa tas ransel yang cukup gendut. Aku yang dibonceng oleh temanku, Yohana Maria (biasa disebut Jojon, tapi aku lebih senang menyebut Yohana) langsung bisa melihat bahwa dua teman kami lain yang kuajak, Ria Putri Lestari (Ria) dan Ardian Setya Gunawan (namanya bagus yah, padahal panggilannya Mbendhol atau Wawan) – sudah hadir juga. Bagus, mereka nggak telat!

Beberapa menit kemudian, satu per satu peserta mulai berdatangan. Kok aku tahu? Ya... setidaknya mereka sama-sama menenteng ransel atau backpack atau ada yang menyebut sebagai daypack, seperti kami. Rata-rata, setelah mereka memarkir motornya berjejeran dengan motor yang sudah ada, mereka turun dari motor dan menghampiri kami sambil bertanya, “Dari Backpacker Kediri? Mau ke Nggerangan?” Lalu kami menjawab, “Iya.” Kami pun berjabat tangan.
Ada juga yang bertanya, “Wah, yang kumpul kok masih sedikit?”, yang sangat ingin kujawab dengan, “Semua nunggu sampeyan datang dulu, bro, sis. Baru mereka mau datang”, tapi kuurungkan niatku.

Dalam masa penantian.
Jika sesuai dengan daftar nama terakhir yang ditulis di grup Whatsapp oleh ketua komunitas Backpacker Indonesia regional Kediri (BPI Kediri), harusnya yang ikut dalam backpacking ke Pantai Nggerangan, Tulungagung kali ini ada 35 orang. Dari 35 itu, memang ada yang mencegat di daerah Blitar dan Tulungagung. Artinya tidak semua berkumpul di SPBU selatan alun-alun Kediri tersebut. Tapi tetap saja, yang sudah datang masih bisa dihitung dengan jari.

***

Jam 16.30 WIB.
Sudah agak banyak yang datang, tapi sang ketua belum juga nongol. Peserta yang datang saling berkenalan dan ngobrol, yang baru aku tahu ternyata banyak juga “orang baru” yang sebelumnya belum bergabung di komunitas ini dan ingin ikut, seperti aku dan ketiga temanku.

Ada beberapa pesan masuk di grup. Ada yang tanya titik kumpul di SPBU sebelah mana, ada yang posisi di Blitar sudah akan meluncur ke titik pertemuan di jalan, dan lain-lain. Lalu aku menulis juga, “Hayooo... mas ketua ngareeeet! Hahahaha...” Mungkin tulisan itu tampak ceria, tapi sebenarnya dongkol. Hehe. Ternyata mas ketua masih mampir mengambil tenda atau apa gitu di sebuah tempat. Aku tahu sih dia memang wira-wiri, apalagi paginya sudah ke daerah Campurdarat duluan untuk memesankan konsumsi kami. Tapi telat tetaplah telat.

Briefing di SPBU. Kiri-kanan: mbuh, Joko, Fahmi, mbuh, Hari, mbuh, Ilham
Kiri-kanan: Yohana, Rahma, mbuh, mbuh, mbuh
Oya, Riris, temanku, juga menyempatkan diri mampir ke SPBU itu, karena tahu bahwa aku, Ria (teman sekelasnya SMP), Wawan (teman sekelasnya SMA), dan Yohana (teman kantornya) ikut dalam ekspedisi kali ini. Ekspedisi...

Teman sepermainan. Kiri-kanan: Wawan, Ria, Yohana
Ria, yang dari zaman baheula memang hobi mem-bully Riris, dan Riris yang dari dulu memang bisa banget dijadikan sasaran bullying oleh teman-temannya, mulai heboh sendiri. Sedangkan Wawan malah ngobrol dengan teman perempuan yang diajak Riris, karena mereka ternyata juga teman sekelas SMA. Oke, lengkaplah kembuletan hubungan pertemanan ini. Dan Yohana, lebih banyak diam dan tertawa-tawa kecil saja. Aku? Tentu saja aku pro Ria untuk mem-bully Riris. Sampai di sini aku juga nggak tahu kenapa aku bangga melakukan hal ini ke Riris. Adik-adik yang baca, jangan ditiru ya...

“Lheh, mbak Pet, nyapo iki Riris rene barang?”, Ria berkata kepadaku dan memulai olokannya kepada Riris.

“Ha mbuh. Padahal lho yo gak enek sing ngongkon dhek’e rene. Gak enek sing mengharap kehadirannya barang, lho!” timpaku.

“Ris, nyapo we rene?” tukas Ria.

“Heh, aku kan pengen melepas kepergian kalian. Kalian ra oleh ngono. Aku kan teman yang baik”, jawab Riris diplomatis yang menurut Ria yang ceplas-ceplos pasti sangat membosankan.

“Ora usah yo rapopo kok, Ris”, kata Ria. “Mbak Pet, paling no lek Riris melu, engko bakal ‘aduuuh kok gak adus sih, aduuuh kringeten aku, aduuuh nyamuk’e akeh men, aduuuh reged klambiku, tendo-ku, aku ra isa turu’. Ngono yo?” Ria semakin menjadi-jadi.

“Hahaha.... bangeeeet...", aku menimpali.

Riris itu sebenarnya orang yang mudah nrimo dengan keadaan, atau dengan kata lain, susah membela harga dirinya sendiri. Kadang ia tahu kalau sedang diolok-olok, tapi seringnya tidak. Keluguan wanita shalehah yang jomblo ini membuatnya mudah berada pada posisi terjepit. Jawabannya yang malu-malu atau kadang frontal, banter tapi ngepot, membuat orang yang mengoloknya mendapat kepuasan maksimal.

***

Jam 17.10 WIB.
Akhirnya kami mulai berangkat setelah ketua memastikan peserta yang kumpul di SPBU sesuai dengan daftar. Molor 1 jam 10 menit. Negoromu lho, mbak...mas...

Sebenarnya kegelisahanku akan molornya waktu berangkat sangat beralasan. Pertama, telat itu memang menyebalkan. Kedua, kami (dan aku yakin sebagian besar dari kami) sama sekali belum mengetahui medan yang akan ditempuh. Perkiraan waktu yang dibutuhkan dari Kediri kota ke lokasi adalah 2 jam. Jika normalnya antarkota Kediri-Tulungagung hanya 1 jam, berarti masih 1 jam lagi untuk menyusur jalan hingga mencapai pantai. Ketiga, perjalanan malam yang gelap tentu berbeda dengan perjalanan siang. Gelap, sedikit banyak akan menyulitkan kami untuk melihat sekitar, khususnya di daerah yang memang minim (atau bahkan nol) listrik. Tidak disebutkan dalam briefing, bagaimana jalur yang akan kami tempuh nanti. Sebenarnya aku tidak terlalu kepo akan hal ini, karena menurutku yang namanya backpacking juga harus ada sensasi dan tantangannya sendiri.

Berangkat jam 17.10, dan sampai jam 19.10. Oke, masih bisa diatasi dan sampai lokasi masih bisa beraktifitas sesuai rencana, pikirku. Bakar jagung, bermain, dan lain-lain.

***

Jam 18.30 WIB.
Kami sampai di daerah Campurdarat. Sesuai rencana, kami singgah untuk shalat dan makan malam di sebuah mushalla yang cukup ramai. Letaknya sudah agak membelok, yang artinya sudah sedikit lepas dari pusat kotanya. Sepertinya mushalla itu milih sebuah lembaga/ yayasan pendidikan Islam. Semacam pondok atau madrasah diniyah, aku kurang tahu pasti. Yang jelas, begitu masuk tempat wudhu, terdapat pemandangan khas pondok/ asrama. Baju yang habis dicuci bergantungan di hanger, dan alat-alat mandi memenuhi ruangan itu. Tapi yang aku salut, tempatnya cukup bersih. Wangi khas sabun batangan yang cukup menyengat.

Walau agak telat shalat maghrib-nya, kami bisa berjamaah. Aku kurang tahu pasti berapa kilometer jarak Kediri-pantai Nggerangan. Tapi aku men-jama’ qosor shalatnya. Biar lebih tenang, pikirku.

Selesai shalat dan entah menunggu apa, (maaf) pantatku yang rasanya sudah nggak karu-karuan langsung kuletakkan di serambi masjid. Saat gerakan duduk di antara 2 sujud saja, rasanya enak sekali kakiku, seperti ditarik otot-ototnya. Entah karena aku sudah menua atau apa, kakiku terasa njarem sekali. Posisi duduk di atas motor matic selama 1,5 jam membuat tulang ekorku juga cukup sakit. Padahal itu aku dibonceng temanku. Tapi memang katanya, posisi di belakang memang lebih membuat capek duduknya daripada posisi depan yang nyetir. Oke fix, berarti bukan karena aku menua.

Aku merebahkan badanku untuk meluruskan punggung yang sakitnya tuh di sana juga. Membawa ransel berisi baju dan 2 botol air mineral 1,5 liter-an membuat bahuku terasa sakit. Belum lagi rempongnya membawa 2 matras untuk alas tidur. Oke, sampai di sini kalian boleh menyebutku “bukan bekpeker sejati”. Ya iyalah. Masih jauh dari sebutan itu.

Aku menutupi badanku dengan jaket tebal yang tadi kupakai. Ingin rasanya segera melelapkan diri jika tak ingat Yohana pasti jauh lebih capek dibandingkan aku. Ia juga sesekali merebahkan diri di tangga masjid dan membuka-buka ponselnya. Sinyal masih aman!

Tik tok tik tok.... setengah jam berlalu dan belum ada tanda-tanda rombongan akan melanjutkan perjalanan. Aku mulai resah lagi, karena turun hujan rintik yang cukup tebal dan hari semakin malam. Jika dilihat dari lingkungannya, aku perkirakan letak pantai masih jauh dari mushalla itu. Setidaknya nanti kami masih akan melewati gunung atau bukit, baru bertemu pantai. Oh.

Ternyata sang ketua masih mengambil ransum makan malam kami di warung yang telah dipesan sebelumnya. Baiklaah... Mau tidak mau kami harus menunggu, atau akan lapar semalaman. Sang ketua datang dan sempat menawarkan apakah perlu makan sekarang atau tidak, walau aku sangat ingin makan saat itu juga, tapi lokasi sepertinya kurang pas. Di kelas-kelas, orang-orang mengaji, dan ada sekelompok bapak-bapak yang ngobrol di serambi mushalla. Akhirnya kami memutuskan untuk makan di lokasi saja nanti.

***

Jam 19.40 WIB.
Kami melanjutkan perjalanan melewati toko-toko kerajinan marmer yang memang khas industri lokal Tulungagung. Melewatinya serasa nostalgia, bahwa sudah begitu lamanya aku tidak berkunjung ke Tulungagung dan melewati daerah situ. Mungkin waktu aku masih kecil yang aku ingat, dimana aku memasuki beberapa toko marmer itu, memegang-megang hampir semua benda yang ada di sana, merasakan dinginnya marmer yang telah dipahat dan dipoles halus licin, serta terkagum-kagum bagaimana bisa sebuah batu berubah menjadi sebentuk telur yang lucu... dan terasa berat ketika diangkat.

Suasana bertambah gelap dan semakin gelap ketika kami memasuki hutan-hutan. Jelas saja, sepertinya tidak ada yang cukup peduli memasang LPJ (Lampu Penerang Jalan) di sepanjang jalur hutan, bahkan ketika jalur itu banyak sekali yang melewati. Mungkin pemerintah lupa (??) bahwa di ujung jalan itu juga masih ada ribuan penduduk yang bermukim, yang artinya jalan itu adalah jalan penting yang menghubungkan antara kota dan desa.

Awalnya, jalan beraspal itu sangat halus, sehingga kami masih bisa ngebut. Kecepatan rata-rata antara 40-50 km/ jam. Tidak berbeda jauh dengan ketika kami masih di kota. Tapi makin lama, jalan naik-turun. Wajar: gunung. Yang tidak wajar adalah ketika semakin lama aspal berlubang semakin banyak. Bayangkan, jalan naik dan turun sambil melewati aspal berlubang. Kancut tenan!

Mungkin ada yang pengalaman mengakses jalan dari atau ke Malang melewati Pujon? Jalan berliku dan naik turun, kan? Kiri jurang, kanan harus waspada jika ada kendaraan besar yang berpapasan. Nah yang ini, jalan berliku, naik, turun, kiri sedikit jurang, ditambah gelap, hujan, jalan licin, becek maksimal. Banyak lubang yang tergenang air. Oya, aspal berlubang ini makin lama sudah makin seperti makadam (jalan berbatu), saking aspalnya sudah mengelupas entah kemana, karena apa, dan sejak kapan. Sebut saja mudahnya: aspal bobrok!

Motor salah satu peserta (yang berboncengan dengan teman lain) ndilalah mogok di tengah jalan. Rem belakangnya bermasalah, sehingga tidak dapat di-start. Tidak bisa jalan. Yak, ini merupakan salah satu resiko terbesar dalam perjalanan: motor mogok. Tidak ada yang menginformasikan kepada kami jarak pantai masih berapa kilometer lagi. Entah jauh, entah dekat, tidak ada yang ribut membahasnya. Tapi tetap yakin bahwa sisa perjalanan tidak mungkin ditempuh dengan berjalan kaki. Iya, sebelumnya sudah diberitahukan oleh sang ketua bahwa kami tidak akan melakukan trekking (berjalan kaki) sama sekali. Jadi hingga mencapai pantai, tetap mengendarai motor. Jadi, fokusnya sekarang adalah bagaimana cara agar motor teman itu bisa berjalan kembali.

***

Jam 20.40 WIB.
Hujan turun membasahi rupa-rupa kami yang sudah cukup kelelahan. Yang membonceng lelah karena harus 101% fokus pada kondisi jalan yang sama sekali tidak bersahabat, yang harus siap sedia memegang gas dan rem (untuk motor matic) dan gas, rem, serta perpindahan gigi motor (untuk motor manual). Yang dibonceng juga lelah, karena pantat, kaki, punggung harus menahan beban ransel dan goncangan motor, fokus agar tidak terjatuh saat jalanan licin dan bergelombang maksimal, dan empati terhadap yang membonceng, siapa tahu dia terlalu berat menahan bobot tubuh kita dan malah menyulitkannya ketika jalanan menanjak atau menurun curam. #ehm

Kami sempat berhenti di depan rumah-rumah warga. Ada yang di atas, ada juga yang di bawah jalan yang kami lalui. Motor dua orang peserta ketinggalan, yang diduga salah jalan karena sempat ada persimpangan. Mau tidak mau, kami harus menunggu. Iya lah. Aku saja membayangkan bagaimana rasanya jika tersesat, salah jalan, kondisi gelap gulita, hujan, lalu ternyata tidak ada satu warga pun yang dapat ditemui untuk ditanya arah yang benar. Ini juga resiko ketika berangkat secara konvoi atau bersamaan. Harus saling tunggu, toleransi. Apalagi yang diduga tersesat tadi adalah motor cewek. Whew!

Di tengah penantian teman yang tersesat, teman kami, Wawan, ikut mengusulkan solusi blablabla entah apa kepada rombongan. Lalu Ria menyeletuk, “Mbak Pet, deloken Wawan. Deloken, deloken, lak sok ngatasi. Hahaha...”
“Ho oh kuwi. Yo wajar lah, dek’e biasa dadi mandor ning proyekan, biasa mrintah-mrintah karo ngatur wong. Hihihi...”, aku ikut tertawa kecil.
Tibake Wawan yo enek gunane dijak yo”, sambung Ria.
“Hihihi... ngawur kowe!
Di saat teman-teman lelaki sibuk mencari solusi, aku, Ria, dan Yohana malah menggosip nggak jelas. Dasar wanita!

(...bersambung...)

11 comments:

  1. 'aaduuuh aku melu ngakak😂😂😂'

    ReplyDelete
    Replies
    1. sori mbak, komenmu nanggung.
      *jik tetep di-bully*

      Delete
  2. Aku gak ngerti kalian ngomong apa, Kasian ya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. les bahasa jawa dulu, kang.
      *lempar kamus Sansekerta*

      Delete
  3. Sepertinya aku tokoh antagonis..haahahaah

    ReplyDelete
    Replies
    1. ternyata kalian membicarakan ku di belakang ku...next trip bogor how??

      Delete
    2. @ria: embeeeer cyiiiiin

      @wawan: ada apa di bogor? hiking? semoga boyok saya tidak encok ya, pak.

      Delete
  4. koq aku seng mandor proyekk..yo ria kuwi loh seng mandor proyek saiki..hahaa
    tp critane rung tutug..seolah mari mangan ra ngombe iki ceguk'en

    ReplyDelete
    Replies
    1. ngenteni mood apik ngge ngrampungne critane, bro. hahaha...

      Delete
  5. Udah agak deket tuh sama rumah dinasku dulu di dsn sidem

    ReplyDelete
    Replies
    1. mas Ridhooooo... long time no seeee...
      nice to see you again hereeeee... #halah

      oiya ya, dulu sampeyan lak pernah di Tulungagung. hihi

      Delete