ketika aku menjadi batu, dan tetanggaku menjadi rumput di sekitar jemari kakiku.
aku terbujur kaku.
lelah menanti hujan yang sudah-sudah yang membuat lubang di tengah tubuhku musim lalu.
gundah menanti surya yang membuat hitamku menjadi abu.
kutengok kanan-kiri. sama saja.
semua mengeluh tentang panas dingin, hujan kemarau, yang sebetulnya sudah dihafali betul lagunya.
batu-batu yang tak bisa bergerak walau sejengkal. bukan takdirnya, hiburku pada diri sendiri.
padahal dalam hati aku berharap ada pengembara yang tak sengaja terantuk kakinya padaku dan menendangku jauh-jauh dari tempat dudukku.
atau anak kucing sebelah yang memainkan diriku dan menggeser sedikit saja tubuhku.
pantatku sudah panas.
walau para pohon, rumput, putri malu, dan semak-semak juga sama sepertiku yang tak bisa kemana-mana, setidaknya mereka masih bisa mengolok dengan menggoyang-goyangkan daunnya ketika angin berhembus.
sering aku berpikir, kenapa aku tercipta menjadi batu.
mengapa Tuhan memilih menciptakan tanah lempung itu menjadi manusia, sedangkan aku yang entah dari apa menjadi batu?
baiklah. aku juga tak tahu pohon sebelah yang senang menggodaku dan capung yang sering mampir di atasku ini terbuat dari apa. tapi mereka masih bisa bernafas. mereka bisa tumbuh dari kecil menjadi besar. dari pendek menjadi tinggi.
dan batu? bernafas tidak, tumbuh pun tidak.
melati pernah menanyaiku, kenapa aku selalu iri.
aku jauh lebih kuat dari mereka semua, katanya. batu hanya bisa dibelah oleh kapak.
"oh, tapi aku bisa hancur juga hanya oleh air!", timpalku.
"aku tahu apa yang membuatmu hanya menjadi batu hitam dekil di ujung akar tunggang beringin ini selama 40 tahun!", sahut melati percaya diri.
"apa?"
"apa?"
"iya, apa?", aku tak sabar menanti.
"kamu tidak pernah merencanakan bahagia. bahkan kamu tidak ingin bahagia ketika sedang bahagia."
aku terbujur kaku.
lelah menanti hujan yang sudah-sudah yang membuat lubang di tengah tubuhku musim lalu.
gundah menanti surya yang membuat hitamku menjadi abu.
kutengok kanan-kiri. sama saja.
semua mengeluh tentang panas dingin, hujan kemarau, yang sebetulnya sudah dihafali betul lagunya.
batu-batu yang tak bisa bergerak walau sejengkal. bukan takdirnya, hiburku pada diri sendiri.
padahal dalam hati aku berharap ada pengembara yang tak sengaja terantuk kakinya padaku dan menendangku jauh-jauh dari tempat dudukku.
atau anak kucing sebelah yang memainkan diriku dan menggeser sedikit saja tubuhku.
pantatku sudah panas.
walau para pohon, rumput, putri malu, dan semak-semak juga sama sepertiku yang tak bisa kemana-mana, setidaknya mereka masih bisa mengolok dengan menggoyang-goyangkan daunnya ketika angin berhembus.
sering aku berpikir, kenapa aku tercipta menjadi batu.
mengapa Tuhan memilih menciptakan tanah lempung itu menjadi manusia, sedangkan aku yang entah dari apa menjadi batu?
baiklah. aku juga tak tahu pohon sebelah yang senang menggodaku dan capung yang sering mampir di atasku ini terbuat dari apa. tapi mereka masih bisa bernafas. mereka bisa tumbuh dari kecil menjadi besar. dari pendek menjadi tinggi.
dan batu? bernafas tidak, tumbuh pun tidak.
melati pernah menanyaiku, kenapa aku selalu iri.
aku jauh lebih kuat dari mereka semua, katanya. batu hanya bisa dibelah oleh kapak.
"oh, tapi aku bisa hancur juga hanya oleh air!", timpalku.
"aku tahu apa yang membuatmu hanya menjadi batu hitam dekil di ujung akar tunggang beringin ini selama 40 tahun!", sahut melati percaya diri.
"apa?"
"apa?"
"iya, apa?", aku tak sabar menanti.
"kamu tidak pernah merencanakan bahagia. bahkan kamu tidak ingin bahagia ketika sedang bahagia."
Dikdik was here *coretcorettembok*
ReplyDelete*sentil* *cat lagi temboknya*
Delete