Analisis Praktik Evaluasi Pelatihan Menggunakan Model Kirkpatrick

, , 9 comments
Assalamu'alaikum

Hai bloggers, izinkan kali ini aku membagikan sesuatu yang lebih serius ya (gak diizinkan juga gak papa, hehe). Semoga bahasanya dapat dimengerti dengan mudah oleh semuanya :) Amiinn...

Program pelatihan yang dijalankan oleh perusahaan tentu tidak dapat dikatakan berhasil atau gagal ketika tidak dievaluasi. Apakah sejumlah "investasi" yang dikeluarkan oleh organisasi untuk memberangkatkan karyawannya ke pelatihan itu berguna/ tidak, "kembali" ke perusahaan berupa profit/ tidak, sekali lagi, harus melalui proses evaluasi.
Pendekatan evaluasi pelatihan yang paling populer di organisasi saat ini adalah model 4-level dari Donald Kirkpatrick (1976). Kirkpatrick (1976, 1994) menggambarkan 4 level hasil dari sebuah pelatihan: reaction, learning, behavior, dan result.
Model 4-level evaluasi pelatihan menurut Kirkpatrick
  1. Reaction. Pada level ini, yang dinilai adalah reaksi trainee terhadap program pelatihan itu sendiri. Kirkpatrick (1959) pada dasarnya menyebut reaksi sebagai seberapa senang trainee terhadap program tertentu. Umumnya, pengukurannya dilakukan langsung untuk menilai respon afektif terhadap kualitas pelatihan, misalnya kepuasan terhadap instruktur atau relevansi materi pelatihan dengan pekerjaannya sehari-hari.
  2. Learning. Merupakan indikator peningkatan pengetahuan, keterampilan, atau sikap yang didapatkan trainee setelah mengikuti pelatihan.
  3. Behavior. Level ini untuk mengetahui apakah peningkatan pengetahuan, keterampilan, atau sikap (knowledge, skill, attitude/ KSA) yang didapatkan dalam pelatihan diterapkan ke dalam pekerjaan atau memberikan hasil yang luar biasa pada kinerja individu.
  4. Result. Pengukuran pada level ini dimaksudkan untuk menyediakan informasi mengenai pengaruh pelatihan terhadap tujuan dan sasaran organisasi dalam skala yang lebih luas. Pada praktiknya saat ini, fokus pengukurannya pada aspek finansial organisasi.
Popularitas model evaluasi 4-level Kirkpatrick
Model Kirkpatrick ini telah menjadi model evaluasi pelatihan untuk organisasi profit selama lebih dari 30 tahun. Popularitas ini dapat ditelusuri dari beberapa faktor berikut:
  1. Model ini menjawab kebutuhan para profesional training untuk memahami evaluasi pelatihan dalam sebuah cara yang sistematis (Shelton & Alliger, 1993). Model ini membahas hasil-hasil pelatihan dan berbagai macam informasi untuk menilai apakah sebuah pelatihan telah mencapai sasarannya.
  2. Kirkpatrick menyatakan dengan tegas bahwa level 4 (result) merupakan informasi yang paling bernilai dan deskriptif yang dapat diperoleh dalam pelatihan. Profesional training dalam organisasi berfokus pada orientasi profit yang kompetitif. Model 4-level ini juga menyediakan sarana bagi para trainer dalam organisasi untuk "menyatakan" kontribusi apa yang telah mereka berikan dalam bisnis perusahaan. Selain itu, jika terbukti berhasil, maka “fungsi pelatihan” akan menjadi partner bisnis dan sebagai kontributor aktif terhadap keberhasilan organisasi.
  3. Model ini menyederhanakan proses yang kompleks dalam mengevaluasi pelatihan. Caranya adalah (a) model ini menggambarkan panduan yang “terus-terang” mengenai apa yang ditanyakan dan kriteria apa yang ingin diukur, (b) model ini mengurangi perminataan terhadap pengukuran-pengukuran lain dalam evaluasi pelatihan. Karena model ini hanya mengukur hasil (outcome) dari pelatihan, maka tidak penting lagi untuk menggunakan pre-tes atau mengukur kinerja setelah pelatihan sebagai penentu efektifitas pelatihan. Selain itu, model ini dapat mengurangi sebagian besar variabel evaluator pelatihan ataupun hubungan kompleks antarfaktor yang berinteraksi dalam proses pelatihan.
Meskipun model ini membantu untuk fokus pada hasil (outcomes) dari pelatihan semata (Newstorm, 1995), tetapi pengukuran hasil tunggal tidak cukup mencerminkan kompleksitas dalam program pelatihan, sehingga penting untuk melakukan berbagai pengukuran untuk melihat efektifitas pelatihan.

Keterbatasan model 4-level Kirkpatrick
  1. Model yang tidak lengkap. Model 4-level ini terlalu menyederhanakan dalam memandang efektifitas pelatihan, tanpa mempertimbangkan pengaruh individual atau kontekstual. Penelitian yang lebih luas selama lebih dari 20 tahun menyatakan bahwa adanya pengaruh organisasi, individual, desain pelatihan, dan penyampaian materi terhadap efektifitas pelatihan sebelum, selama, dan setelah pelatihan.
  2. Asumsi mengenai hubungan sebab-akibat. Model ini mengasumsikan bahwa hubungan antar 4 level adalah rantai sebab-akibat, dimana reaksi positif akan menghasilkan pembelajaran yang lebih banyak, lalu menghasilkan transfer training ke dalam pekerjaan yang lebih besar, dan terakhir memberikan hasil yang lebih positif terhadap organisasi. Namun, penelitian selanjutnya gagal membuktikan hubungan semacam itu, dimana hanya ada sedikit bukti yang menyebutkan adanya korelasi antar pengukuran pada keempat level yang berbeda atau sedikit bukti adanya hubungan sebab akibat yang linear.
  3. Pentingnya informasi. Model ini mengasumsikan level evaluasi yang lebih tinggi memberikan data yang lebih informatif daripada level sebelumnya (Alliger & Janak, 1989). Hal ini memberi pemahaman kepada evaluator bahwa mengevaluasi pada level result akan memberikan informasi yang paling bermanfaat untuk melihat efektifitas pelatihan. Kenyataannya, data yang dihasilkan pada hubungan ini (selain hubungannya lemah) juga tidak memadai untuk dijadikan dasar atas asumsi tersebut.

Nah, oleh karenanya, saat ini berkembang beberapa model evaluasi pelatihan lain yang telah diterapkan di beberapa negara. Kalau Tuhan mengizinkan (hehe), insya Allah kapan-kapan aku share ya :)

Referensi:
Bates, R. (2004). A critical analysis of evaluation practice: The Kirkpatrick model and the principle of beneficence. Evaluation and program planning, 27 (2004): 341-347.

nb1: Sumber gambar dari sini.
nb2: Untuk keperluan sumber literatur ilmiah/ pengerjaan tugas kuliah, sebaiknya langsung cek jurnal yang dicantumkan pada "Referensi" di atas ya :) Soalnya kalo sumbernya dari blog/ alamat sembarangan, gak valid, malah biasanya disebut sebagai sumber dari WEWE GOMBEL - dari alamat www(dot)com yang gak jelas :)

Wa'alaikumsalam

9 comments:

  1. Yang aku tau sih kalo trainingnya mengenai hal hal teknis / hardskill (berkaitan dengan cara melakukan pekerjaan dengan lebih baik, resultnya keliatan sampai sekarang. tapi kalo training motivasi/soft skill paling paling cuma bertahan 2 minggu hehehe.... kalo saya jadi bisnis owner rugi rasanya memberikan training softskill mending saya wajibkan mereka ikut pengajian rutin di Al Falah atau Al Hikmah yang gratis :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. yup, karena kalo Kompetensi Bidang (misalnya istilahnya begitu), letaknya bisa jadi paling atas dr model kompetensi perusahaan, yang langsung berhubungan dengan pekerjaan riil karyawan sehari2. Mengenai RESULT, memang harus dilakukan penelitian lanjutan, apa benar ada peningkatan produktivitas, penurunan turnover, bahkan profit finansial perusahaan.
      Sedangkan Kom.Inti & Peran ada di bawah, cara meningkatkannya gak harus dengan training, bisa pake konseling, monitoring, dll.
      Eh mau donk pengajian, apalagi ustadz-nya Pak Ridho, wkwk

      Delete
    2. Pengalaman saya sebagai seorang trainer yg lebih melekat memang yang bernuansa praktis, jadi result nya masih kelihatan sesuai kebutuhan di lapangan sehingga bisa menenmpati long term memory. Sayangnya tidak banyak lembaga pelatihan yang melakukan evaluasi pasca pelatihan atau melakukan pelatihan dengan berdasar pada training need assessment (pelatihan jadi kegiatan rutinitas, bukan berdasar kebutuhan). dengan demikian penerapannyapun tidak optimal, sehingga kesannya resultnya juga tidak optimal atau malah nol, peserta mengikuti juga kurang serius etc etc

      Delete
    3. yak betul, training yang praktis sesuai kebutuhan teknis karyawan biasanya yang paling cepat dirasakan manfaatnya.
      Terima kasih komennya, senang ada trainer yang mampir disini :) Salam kenal Pak Chairul...

      Delete
  2. Kalau training sih jarang saya mendapatkan trainer yang sesuai ekspektasi, jadi kebanyakan jadi liburan terselubung, istirahat dari kerjaan kantor hehehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. naaaah ini dia pengakuan dosanya :p
      iya, beberapa karyawan yang pernah saya tanya juga kadang ikut pelatihan jadi "sekedar ikut" aja, bahkan ada yang gak sesuai dengan kebutuhan pekerjaan sebenarnya :)

      Delete
  3. nice :)
    saya senang mengikuti postingan anda
    postingan yang menarik .

    salam kenal yya dan sempatkan mampir ke
    website kami.

    ReplyDelete
  4. wah.. tulisan bagus nih bu trainer.. ijin copas ya.. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. amin...
      monggo mas. Pada dasarnya ini saya ambil dari sebuah jurnal. Dan jauh lebih baik kalo mengintisarikannya dari banyak jurnal, sehingga penulisannya lebih komprehensif. Ini juga kalo saya baca2 lagi, beberapa kalimatnya perlu diperbaiki agar orang semakin mudah memahaminya.
      Mari belajar bersama :)

      Delete